Agama menghasilkan parade perayaan, dan perayaan membutuhkan kegembiraan. Untuk itulah Sinterklas dibutuhkan.
Ada yang bilang jika Sinterklas adalah Santo Nicholas. Seorang uskup yang baik hati dan gemar memberi dari Lycia, provinsi Anatolia, bagian dari kerajaan Roma. Ensiklopedia sejuta umat, Wikipedia, juga mencatat sinkretisme Sinterklas dengan budaya local. Ada Santa dalam budaya Jerman, Belanda, Inggris, dan terutama: Amerika.
Karena jasa Amerika, Santa bisa mendunia. Pada tahun 1863 seorang kartunis Amerika bernama Thomas Nast menciptakan karikatur Sinterklas seperti yang kita kenal. Santa mengalami dekonstruksi imagi. Transformasi diri. Santa Claus digambarkan sebagai laki-laki tua tambun berjenggot putih dan berbaju merah. Dengan rusa dari kutub utara ia selalu datang membawa hadiah disaat natal. Menyebarkan kebahagiaan. Menyelundupkan hadiah dikaos kaki bagi anak-anak yang telah berbuat baik.
Saya tidak akan berbagi cerita tentang sejarah Sinterklas (sebenernya saya pingin membagikan duit :p). Karena saya lagi mengidap kanker (kantong kering), saya hanya akan sedikit bercerita tentang bagaimana seorang kakek tua dari kutub utara mampu menjadi pendorong stimulus perekonomian dunia.
Well, let’s call it: Santa-nomics.
Sinterklas dan Ekonomi
Ekonomi dunia pada bulan November dan Desember berhutang banyak kepada Sinterklas. Berkat Santa, terjadi transaksi miliaran dollar, dan ekonomi dapat tumbuh serta terus berjalan. Lebih dari 20% penjualan retail di Amerika terjadi pada bulan November dan Desember. Nilai pasar untuk penjualan online saja mencapai: $ 29.1 milliar untuk tahun 2009. Bahkan, penjualan ritel pada saat krisis 2008 saja mencapai $ 94,06 milliar.
Berapa rupiah? Yah sekitar Rp.874,758,000,000,000 (asumsi nilai tukar Rp. 9.300/$). Jumlah yang cukup untuk membeli dan memperbudak seluruh pejabat korup di Indonesia sampai 8 turunan. Padahal Produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya 2.667 trilyun rupiah (data BPS semester 1 2009). Jadi, belanja orang Amerika selama dua bulan disaat krisis hampir sama dengan 32% nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh 230 juta orang Indonesia! Luar binasa.
Semua kegairahan konsumsi pasar menjelang akhir tahun takkan terjadi tanpa bantuan Sinterklas. Ia mampu menjadi tipping point (meminjam istilah Malcolm Gladwell). Penyebar wabah “sedekah”. Role model tentang budaya memberi. Karena tidak bisa dipungkiri, kebiasaan berbagi hadiah ketika natal semakin diperkuat oleh dekonstruksi sosial dari Sinterklas. Ia mampu membudayakan kewajiban berbagi hadiah yang terstruktur dan berdampak sistemik.
(woi Mas, jangan sok pinter, pake bahasa sederhana)
-Oke…oke bos… jadi gampangnya:
Sinterklas, bersama kapitalisme dan dibantu kekuatan media, telah menghasilkan sebuah budaya ritual konsumsi yang “religius”. Proses konsumsi yang “hampir wajib” dilakukan dan dianggap sebagai sebuah pelengkap perayaan agama. Hampir sama dengan kebiasaan mudik, membeli baju baru, dan membuat ketupat bagi kaum muslim ketika hari raya lebaran.
Zaman dulu, kegiatan berbagi hadiah (lebih tepatnya: membeli hadiah) menjelang natal bukanlah budaya global. Tapi berkat Sinterklas, hampir semua anak yang merayakan natal berharap agar Santa rela mampir dan mewujudkan keinginan mereka. Bahkan setiap tahun diselenggarakan kompetisi: “letter for Santa”. Surat kepada Santa.
Carole S. Slotterback dari Universitas Scranton pernah mengadakan penelitian tentang “surat kepada Santa” ini. Ia menganalisa isi surat yang ditulis anak-anak dari tahun 1998 hingga 2002. Hasilnya? anak-anak rata2 hanya meminta mainan. Hanya 21% dari mereka yang berdoa bagi orang lain. Jumlah mainan yang mereka minta meningkat dari rata2 4,83 mainan tahun 1998 menjadi 6,28 mainan pada 2002. Harga “permintaan” mereka juga terus meningkat setiap tahun. Tahun 1998 biaya untuk mewujudkannya $32,09 dan pada 2002 harga permintaan mereka naik menjadi sekitar $ 157,87.
Jadi bisa dibilang, Sinterklas adalah duta edukasi konsumsi bagi anak-anak usia dini.
Santa-nomics vs Satan-nomics
Meskipun di Indonesia penganut Kristen dan Katolik bukanlah mayoritas, tetap saja Sinterklas telah menjadi ikon global tentang belanja akhir tahun yang wajib dilakukan. Ia hadir dengan tangan terbuka menyambut pengunjung pusat perbelanjaan yang menawarkan diskon akhir tahun. Shop till you drop. Bahkan Michael Hall berkata:
“Santa Claus has been described as the world’s strongest brand.”
Hal inilah yang kemudian sering dikritik. Kapitalisme berkedok perayaan hari-hari besar agama. Hampir semua agama. Sesuatu yang divine berubah menjadi perayaan yang profan. Sayangnya, capital tidak mengenal agama dan moral. Dimana harta bisa tumbuh dan diakumulasi, ia akan hadir. Lagipula, apa yang salah dengan konsumsi merayakan hari raya suci?
Perekonomian membutuhkan stimulus konsumsi. Produsen membutuhkan konsumen. Penjual membutuhkan pembeli. Jika tingkat konsumsi lesu, pertanda turunnya kegairahan pasar, maka ada yang salah dengan perekonomian. Amerika sampai menjalankan quantitative easing untuk mendorong konsumsi dalam negeri. Obama menghabiskan 50 miliar dollar untuk stimulus ekonomi dalam infrastruktur. Menghasilkan 14,600 proyek dan menciptakan 2,7 juta lapangan kerja.
Idem ditto (podo wae/sama saja) untuk kasus Indonesia. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan target pertumbuhan ekonomi 2011 sebesar 6,3 persen akan didorong oleh peningkatan sektor konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 5,1 persen.
Agama memang membutuhkan perayaan. Tapi jika dilakukan dengan berlebihan, bisa-bisa kita justru menjadi pemuja setan. Larut dalam nafas hedonisme dan kesenangan, melupakan esensi dari sebuah peringatan.
Sinterklas datang membawa kebahagiaan dan semangat berbagi. Tulus memberi. Meskipun kapitalisme dan media massa membuatnya menjadi ikon konsumsi yang abadi. Tapi kita harus ingat pesan Kahlil Gibran dalam magnum opus-nya, Sang Nabi:
“Bila kau memberikan hartamu, tidaklah banyak arti pemberian itu. Bila kau memberikan dirimu, itulah pemberian sejati yang penuh arti”.
Mohon maaf, saya bukanlah pemeluk Kristen atau Katolik. Tapi bukankah tujuan lahirnya Yesus sebagai juru selamat adalah untuk memberi dan berbagi kasih sayang? Terutama bagi kaum papa dan teraniaya. Bukan untuk berpesta dan berbelanja hingga lupa dunia.
Daftar bacaan biar dikira orang pinter
Hall, C. Michael. 2008. Santa Claus, Place Branding and Competition. Fennia 186: 1, pp. 59–67.
Slotterback, Carol. 2006. Terrorism, Altruism, and Patriotism: An Examination of Children’s Letters to Santa Claus, 1998–2002. Social Summer Vol. 25, No. 2, pp. 144-153.
Tynan, Caroline and Sally McKechnie. 2006. Sacralising the Profane: Creating Meaning with Christmas Consumption in the UK. European Advances in Consumer Research Volume 7
The 2009 Retail Business Market Research Handbook
The 2010 Retail Business Market Research Handbook
sumber: http://blogyoga.wordpress.com/2010/12/25/santa-nomics/#more-286
mantap Gan! fenomena yg sama terjadi di perayaan agama lain kan.. materi menjadi simbol. yang senang adalah para produsen. kalau mau berpikir win-win solution, yang nggak apa-apa kita berbagi terhadap sesama dan berbagi (keuntungan) kepada para produsen. toh terkadang yang kena cipratannya juga adalah pedagang2 kecil. asalkan setiap individu memberi batas bagi dirinya sendiri, jangan konsumsi berlebihan. itu tidak baik bagi kantong Anda! :D
BalasHapusnatal dan paskah, kelahiran dan kebangkitan. yg harus dirayakan sih seharusnya paskah, tp tetep natal lbh heboh, krn year-end kali yaw...
BalasHapus