Oleh: Priyok Pamungkas*
Tak banyak orang tau, karena memang industri ini agak sedikit menutup diri. Jauh dari hingarbingar politik dan ekonomi nasional. Yang kebanyakan dimengerti oleh sebagian mahasiswa adalah para perusahaan asing itu mengambil kekayaan alam dari perut Indonesia, mengeruknya, bawa kabur ke negeri asalnya dan menyisakan sedikit untuk negara kita. Ya, tidak sepenuhnya benar sih. Mari kita melihat lagi secara lebih objektif apa benar “gambaran” yang dimiliki sebagian aktifis itu benar sepenuhnya atau tidak.
Saya beri gambaran sedikit dulu tentang investasi di dunia migas. Bisnis migas merupakan bisnis yang tidak murah. Sebagai informasi saja, harga sewa alat mengebor saja bisa mencapai ratusan ribu dollar per hari. Itu baru mengebor, dengan kemungkinan tidak dapat apa-apa. Belum fasilitas yang lain yang nilainya ratusan juta dollar amerika. Wajar saja kalau sumbangsih negeri ini terhadap investasi di dunia migas hanya kurang dari 6% (Maret 2011,detik.com). Bisa jebol APBN kita ngurus migas. Besarnya investasi yang dilakukan membuat perusahaan-perusahaan minyak menuntut expected return yang besar pula. Ya, bisnis lah.
Disinilah dimulainya dilema. Di satu sisi pemerintah kita tak punya kemampuan investasi di bidang migas, Pertamina pun terbatas. Selain itu, pemerintah dituntut untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas nasional yang terus meningkat. Memenuhi permintaan nasional berarti melipatgandakan produksi minyak dan gas yang kita miliki, yang artinya investasi besar-besaran, yang bemuara ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi itu semua sendirian. Karena keterbatasan dana yang dimiliki.
Oleh sebab itu, pemerintah mengambil jalan tengah dengan mengajak investor swasta (tidak hanya asing) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Investasi yang sangat besar, seperti yang disebutkan di atas, menuntut return yang besar. Kalau tidak, malas lah investasi tak menguntungkan. Sama saja kalau kita disuruh berbisnis, tapi laba yang kita peroleh ternyata jauh lebih rendah dari bunga bank. Ya mending modalnya dideposito aja deh, dapetnya lebih gede (ehm, di bank syariah ya). Dilema di atas memaksa pemerintah untuk memberikan pengumuman “Perhatian, yang mau minyak, yang mau minyak”.
Pemerintah kita adalah pemerintah yang moderat, kata lainnya cari aman. Takut kalau investor kabur, tapi juga takut kalau popularitas turun kalau tidak pro rakyat. Sehingga tidak akan berani menekan investor untuk memberi ”lebih” bagi kita, tapi juga belagak berani kalau sdh terkait popularitas. Akhirnya solusi jalan tengah dari kedua kepentingan tersebutlah yang diambil. Yaitu dengan memberikan hak mengelola dan mengeksploitasi suatu daerah dengan sebutan kontrak PSC (production sharing contract).
Selanjutnya apakah kita “menjual” harta kekayaan kita secara murah kepada pihak asing?
Ehm, begini. Saya punya penggambaran yang kira-kira mirip untuk pola kerja sama ini. Filosofi kerjasama ini mirip dengan petani di Indonesia hari ini. Sudah jamak di Indonesia, kalau petani tak punya lahan. Sehingga mereka menjadi buruh tani dengan mengerjakan tanah garapan milik orang lain (gurem). Nah, asumsikan pemilik tanah garapan adalah pemerintah kita dan petani penggarap adalah perusahaan-perusahaan minyak (BUMN,lokal, maupun asing). Mereka diberi kontrak selama beberapa tahun untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi ”tanah garapan” mereka. Dalam bahasa teknis, mereka adalah kontraktor kita dalam menggarap minyak dan gas kita.
Nah sekarang beranjak ke bagian paling serunya, uang. Tak semudah petani gurem dan tuannya yang Dalam undang-undang kita (no 22/2001 klo nda salah), ada sistem bagi hasil dari hasil produksi minyak, besarannya berbeda-beda tiap kontrak, tapi rentangnya antara (pemerintah:perusahaan minyak) 65:35 sampai 85:15 dari profit. Terdengar manis bukan?Pemerintah seakan-akan menjadi porsi lebih besar. Tapi perhitungan belum berhenti sampai disitu. Bisa jadi pemerintah mendapat bagian yang sangat kecil, namun bisa juga pemerintah mendapat hasil yang sepadan (ga ngapa2in, dapet duit juga). Kok bisa? begini detailnya.
Lebih enak jelasinnya lewat gambar, asumsikan tabung yang di tengah adalah semua hasil minyak dan gas. Di awal perhitungan, pemerintah ingin memastikan dalam setiap operasi perusahaan minyak mendapatkan hasil. Itulah yang biasanya disebut FTP (First Tranche Petroleum) yang biasanya sebesar 20% dari total produksi. FTP ini kemudian dibagi sesuai porsi pemerintah dan kontraktor.
Selanjutnya, dalam mekanisme PSC di Indonesia ada yang namanya cost recovery. Bagi anda belum tahu, seluruh biaya operasional yang dikeluarkan oleh kontraktor mulai dari beli kentang goreng untuk lemburan karyawan sampai beli mesin turbin yang besarnya segede gaban, mulai dari pijet untuk karyawan sampai service mesin bisa ”direimburse” kepada pemerintah. Disinilah lokasi ”main mata” antara kontraktor dan pemerintah. Kontraktor bisa saja menyelipkan biaya-biaya yang tidak termasuk cost recovery dan pemerintah masih terbatas baik tenaga dan waktu untuk mengaudit cost recovery per item. Ada juga investment credit, ini merupakan insentif kepada kontraktor untuk kasus-kasus tertentu misalnya pengeboran di laut dalam yang investasinya jauh lebih besar lagi.
Nah, sisa dari pendapatan minyak dan gas setelah dikurangi poin-poin di atas lah yang kemudian dibagi hasil oleh pemerintah dan kontraktor. Itupun kalau ada sisa, karena bisa jadi penghasilan dari minyak dan gas tersebut sudah keburu habis saat membayar cost recovery kepada kontraktor. Ada 2 lagi pendapatan pemerintah, dari pajak dan DMO. Kalau pajak anda tahu sendiri lah, kalau DMO?DMO atau Domestic Market Obligation adalah kewajiban bagi kontraktor untuk menjual hasil produksi mereka ke dalam negeri (tergantung kontrak, rata-rata 20-25% dari sisa perhitungan) dengan harga tertentu, bisa sampai 10% dari harga pasar. Tapi karena ribet ngambilin itu minyak dari tiap-tiap field, terkadang pemerintah Cuma ambil mentahnya aja. Itu minyak dijual aja dengan harga pasar, nah selisih harganya itu yang disetorkan ke pemerintah.
Kalau dari gambar di atas, kelihatannya memang bagian kontraktor lebih banyak walaupun tidak mutlak. Faktor yang paling menentukan disini adalah bagian cost recovery dan pendapatan dari produksi minyak. Makin tinggi cost recovery, makin berkurang jatah kita dengan asumsi produksi tetap karena remaining produksinya menjadi kecil atau bahkan tak ada sisanya sama sekali (malah nombok cost recovery.hehe). Data BP MIGAS tahun 2007-2009 menunjukan peningkatan nilai cost recovery tanpa diiringi tercapainya target produksi. Yang artinya secara umum, “jatah” negara kita dari hasil migas menurun, walaupun mungkin tetap berada di level yang tinggi akibat meningkatnya harga minyak.
*)Mantan ketua BEM FEB UGM, sekarang sedang "belajar" disalah satu kontraktor migas Asing dari Paman Sam. Biografi yang rada bener nyusul
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...