Kamis, 21 April 2011

Woman Loves Money

Oleh: Titoeyt Cherry*

Ketika berjalan kaki sepulang kuliah malam dan menuju halte bus, aku berbincang dengan temanku yang berasal dari Brunei. Aku iseng sekadar tanya tentang Sultan Brunei dan kedua istrinya. Temanku malah balik nanya, istri yang ke-berapa. Dan, ternyata temanku menceritakan kalau istri Sultan Brunei hanya satu semenjak beliau menceraikan kedua istrinya yang kebetulan orang Malaysia. Kutanya alasan kenapa Sultan Brunei menceraikan keduanya, karena kedua istri mudanya suka uang, jawab temanku. Dengan singkat, aku malah menimpali, “Woman loves money...

Singkat cerita, Sultan Brunei itu menceraikan istrinya setelah kedua istri muda itu rupanya mengambil harta suaminya secara diam-diam padahal Sultan bisa memberikannya dengan cuma-cuma jika mereka meminta secara langsung. Ini ilustrasi pertama.

Ilustrasi kedua, di acara keluarga, aku berkumpul dengan saudara-saudaraku dan ketika itu tiba-tiba tanteku berceletuk kepada ayahku untuk minta dicarikan jodoh tetapi inginnya suami yang kaya. Latar belakang tanteku ia adalah wanita yang independen, sudah kerja lebih dari tujuh tahun di kantor akuntan publik tetapi rupanya meski sudah mandiri secara keuangan, calon suami yang kaya menjadi prioritas utamanya.

Ilustrasi ketiga, aku pernah membaca sebuah artikel kalo tidak salah dari Reader Digest Indonesia. Meski kini hidup di jaman modern, simbol kejantanan dan kebetinaan dari kaum adam dan kaum hawa masih berlaku. Dulu, di jaman purba, laki-laki yang kasar, kuat dan keras identik dengan kejantanan di mata perempuan. Mengapa hal ini penting? Karena kehidupan alam di bumi dulu begitu keras dan dengan hidup bersama laki-laki yang kuat dan keras wataknya, perempuan merasa terlindungi. Jaman modern kini berubah, kejantanan tidak identik dengan laki-laki yang berotot, macho atau perkasa bahkan penampilan bisa dikatakan nomor sekian jika di kantongnya banyak pundi-pundi bergemirincing. Sehingga, laki-laki yang banyak uang terlihat jantan di mata perempuan karena dunia modern kini cenderung terkorup oleh materialisme atau apa-apa dilihat dari uang.

Laki-laki yang membaca tulisan saya, mungkin langsung melotot, wah gawat kalo semua perempuan kayak begitu atau ada perempuan yang protes, saya nggak gitu tuh. Analogi perempuan suka uang itu seperti laki-laki suka perempuan cantik. Secara naluriah, laki-laki kalo liat perempuan cantik lupa kalo dia sudah punya pacar atau istri untuk beberapa detik dan menit begitu juga dengan perempuan secara naluriah suka dengan laki-laki yang punya banyak duit.

Hal ini mungkin terlihat sepele, tapi bisa jadi realitas dan fenomena sosial yang ada. Bagi perempuan yang lahir di keluarga menengah ke atas tentu tidak masalah ketika sang ayah mampu memenuhi kebutuhan belanja anak perempuan mereka. Bagi perempuan berpendidikan dan memiliki karir, mereka juga tidak mempermasalahkan ketika pasangan mereka, tidak kaya-kaya amat soalnya mereka sendiri mampu kok. Hanya saja, bagi mereka perempuan yang miskin, atau hidup berkekurangan dan tidak memiliki skill, maka satu-satunya cara adalah menjual diri.

Terkadang kemiskinan membuat orang kufur nikmat, kata pepatah. Jika melihat kasus tahun 2009-2010 tentang pelacuran remaja usia dini dengan iming-iming uang beberapa juta di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, itu sungguh hal yang miris. Tetapi, jangan salah juga terkadang perempuan yang merupakan pekerja kantoran demi mendapat kehidupan yang lebih baik mereka menghalalkan segala cara seperti selingkuh dengan atasan atau merebut suami orang. Ini realitas di kehidupan kota besar seperti di Jakarta. Hingga pernah saya mendengar teman mengatakan hidup di Jakarta terkadang hanya membuat hidup demi uang, berkeluarga dan berusaha mempertahankan agar pasangan tidak selingkuh.

Hal yang menginspirasi saya menulis tentang perempuan dan uang karena beberapa hari yang lalu saya menonton You Tube tentang pelacuran di balik jilbab di Iran. Menyedihkan ketika seorang ibu yang ditinggal suaminya harus melacurkan diri di tengah malam sambil membawa bayinya hanya demi menghidupi dirinya dan bayinya. Ketika kaum hawa seperti saya sedang asyik belajar entah master atau PhD, atau sedang asyik berkerja, ada sekolompok perempuan yang harus terseok-seok di ujung jalan menanti pelanggan hanya demi segenggam uang. Ini realita!

*) Penulis Ekonom Gila (profilnya belum dibuat :P)

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 Komentar:

  1. actually not the money, but the power of money.

    BalasHapus
  2. been reading, need indonesian dictionary to further understand... #___#
    S.I.R

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...