Oleh : Marisca Dwi Ariani
Pernah liat kucing yang hampir segede bayi? Orang-orang sering menamainya kucing garong, kucing yang suka nyuri ikan di meja makan, jahat, nakal, dan dibenci ibu-ibu. Yang namanya kucing garong walaupun diperlakukan baik sama majikannya, tetep aja suka nyari ribut. Entah memang sudah takdirnya jadi penjahat di dunia perkucingan ato bagaimana, sudah jadi rahasia umum kalo kucing garong itu selalu diidentikkan dengan hal-hal negatif.
Terdapat beberapa kesamaan perilaku “Si Kucing Garong” ini dengan manusia. Yak, yang saya maksudkan di sini adalah mereka yang termasuk kaum oportunis, berpura-pura manis, slalu butuh pengawasan, dan cenderung egois. Misalnya aja nih ada perampokan, entah itu merampok barang atau pun merampok hati, slalu kucing garong yang disebut sebagai tersangka. Teringat lagu kucing garong yang identik dengan playboy cap kucing, hingga kartun Tom and Jerry, dari situ lah munculnya ide tulisan ini.
Dengan “the power of kepepet”, saya hendak menyambung tulisan Kak Oliv pada tanggal 20 Juni mengenai konsep laba itu sendiri, di sini saya mencoba mengulas pengelolaan laba dari sisi seekor kucing garong gendut yang oportunis dan egois. Di dalam dunia manusia, kejadian ini disebut dengan manajemen laba. Jadi manajemen laba ini adalah kecurangan yang dilakukan oleh manajer perusahaan untuk menaikkan, menurunkan, meratakan, atau menggeser periode pencatatan biaya untuk tujuan-tujuan tertentu demi kepentingannya sebagai agent perusahaan.
Yak, awal mula terjadinya manajemen laba ini dapat dijelaskan dengan Teori Keagenan. Konflik keagenan itu sendiri biasanya terjadi karena pemilik perusahaan (principal) memiliki sejumlah keterbatasan dan tidak dapat berperan aktif dalam manajemen perusahaan. Akibatnya, pemilik perusahaan menyerahkan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan perusahaan kepada para manajer profesional (agents). Manajer mempunyai tugas untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya untuk dikelola dan akan mendapatkan kompensasi atas kinerjanya.
Dalam teori ini kita asumsikan baik pricipal maupun agent sama-sama egois, mereka berupaya untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Bagi pihak principal, mereka mengharapkan agar manajer mengelola sumberdaya yang dipercayakan kepadanya dengan baik demi menaikkan keuntungan principal itu sendiri. Sedangkan bagi agent, mereka berupaya untuk mencari cara untuk mendapatkan kompensasi sebesar-besarnya dengan mengelabuhi prinsipal maupun pihak eksternal perusahaan.
Selain perbedaan kepentingan, diantara principal dan agent terdapat perbedaan informasi perusahaan secara keseluruhan. Karena principal tidak secara aktif mengelola perusahaan, otomatis agent adalah pihak yang paling banyak memiliki informasi mengenai perusahaan. Hal ini lah yang sering disebut-sebut dengan istilah asimetri informasi.
Adanya konflik kepentingan serta asimetri informasi ini lah yang mendorong jiwa kucing garongnya seorang manajer untuk melakukan moral hazard, yaitu berupa tindakan manajemen laba.
Ada empat jenis manajemen laba :
1. Increasing :
Manajer akan menaikkan angka labanya demi mendapatkan kompensasi yang besar serta demi membuat kinerjanya tampak bagus. Hal ini juga dapat menarik para investor untuk berinvestasi karena angka laba merupakan hal yang sering dijadikan dasar pengambilan keputusan investor dalam menilai kondisi perusahaan sebelum mereka mengambil keputusan investasi.
2. Decreasing :
Manajer akan mengurangi angka labanya dalam modus penghindaran pajak. Selain itu, manajer menggunakan teknik decreasing ini dengan tujuan menghindari tuntutan kenaikan upah dan gaji dari karyawan apabila angka laba terlalu tinggi.
3. Smoothing :
Manajer akan membuat pergerakan angka labanya relatif stabil dari periode ke periode. Teknik smoothing dilakukan manajer dengan tujuan untuk menarik para investor, angka laba yang stabil dinilai lebih menggiurkan bagi investor karena tidak berisiko tinggi.
4.Big Bath :
Big Bath adalah suatu kondisi dimana manajer menggeser periode pengakuan biayanya, sehingga terkesan merugi pada suatu periode namun pada periode berikutnya mengalami kenaikan yang signifikan. Teknik ini bisa meningkatkan image positif di mata stakeholder maupun shareholder.
Masih bingung dengan big bath? Oke, saya beri contoh ini sebagai ilustrasinya :
Misalnya :
Pada ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa laporan yang melakukan bigbath ini menggambarkan seakan-akan manajer mampu menutup kerugian sebesar 200 pada tahun 2007 dengan menghasilkan keuntungan sebesar 600 pada tahun 2008.
Pada kenyataan sebenarnya perusahaan hanya mengalami kerugian sebesar 100 pada tahun 2007 dan dapat menutup kerugian tersebut dengan menghasilkan laba sebesar 400 pada tahun 2008.
Bagaimana pun bentuknya, manajemen laba adalah tindakan yang tidak etis oleh kaum profesional selevel manajer. Banyak terjadi perdebatan apakah ini bisa dikatakan bisa fraud atau bukan karena pada dasarnya ngga ada duit yang dirampok ama manajer. Dengan menimbang bahwa manajemen laba itu dibuat berdasarkan Standar Akuntansi yang berlaku, maka tidak bisa dikatakan bahwa hal ini termasuk fraud.
Ibarat kata, manajemen laba itu seperti wanita yang berpura-pura cantik dengan memakai bedak setebal 5cm, padahal aslinya jelek. Pertama kali lihat wanita itu pasti para lelaki bisa terpesona dibuatnya, mereka dibuatnya yakin dengan bedak 5cm yang ada dimuka. Apa pun jenisnya, bagaimana pun tingkahnya, yang namanya kucing-kucingan seperti ini adalah tindakan yang tidak baik. Tindakan seperti ini tidak mencerminkan keadaan sebenarnya dan berdampak pada salahnya pengambilan keputusan bisnis.
Oke, akhir kata saya cuman bisa memberi saran kepada para prinsipal, jangan pernah pilih manager yang mukanya mirip kucing.
meooongg...
BalasHapus