Source Pict.: bisnis.com |
Oleh: Muh.Syarif Hidayatullah
“Tidak ada musuh abadi dan tidak ada rekan abadi, yang ada hanya kepentingan”
Anekdot di atas sudah sangat lazim didengungkan dalam dunia politik. Kepentingan merupakan dasar dari semua tindakan politik. Sehingga wajar apabila Sumarsono (2001) mendefinisikan politik sebagai asas untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Akhir-akhir ini, masyarakat dipertontonkan implementasi dari anekdot tersebut, yaitu melalui perpecahan yang dialami oleh sekretariat gabungan (setgab) partai politik (parpol).
Terancam dan diancamnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk keluar dari koalisi parpol pemerintah menjadi topik pembahasan yang hangat selama beberapa saat terakhir. Sikap PKS terkait isu kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi pemicu utama. PKS dinilai tidak sejalan dengan kepentingan dari parpol koalisi untuk terus mendukung kebijakan pemerintah.
Menurut Riker (1962), koalisi adalah partnership untuk memilih dan melaksanakan strategi bersama (joint strategy). Fungsi dari koalisi adalah untuk menyatukan kepentingan sehingga dapat memenangkan proses voting di legislatif (Baron, 1989). Menilik dari definisi tersebut, maka apa yang dilakukan oleh PKS sudah keluar dari pakem koalisi yang seharusnya. Karena, PKS seharusnya menyetujui joint strategy dan memberikan suara (vote) atas hasil keputusan dari koalisi, seperti dalam isu BBM dan Century.
Sebuah koalisi dapat berjalan dengan baik apabila setiap anggotanya disiplin. Dalam hal ini, disiplin adalah setiap anggota koalisi dapat bergerak bersama menolak proposal (usulan) dari partai-partai non-koalisi (Riker, 1962). Sehingga wajar, salah satu tujuan utama dari politik adalah untuk mencapai kebulatan suara untuk menolak gagasan dari pihak lain (non-koalisi), dan dalam konteks ini adalah memberikan suara dalam voting-voting pada sidang DPR.
Membelotnya PKS ini tentu sudah mencederai kepentingan Koalisi. Pada isu kenaikan harga BBM bersubsidi, pembelotan PKS bisa saja membuat koalisi kalah dalam pemungutan suara. Hal ini tentunya harus di evaluasi oleh setgab parpol koalisi. Setgab harus melakukan kalkulasi ulang terkait kekuatan dan efektivitas dari koalisi mereka.
Dalam ranah ekonomi politik dikenal sebuah terma yang disebut Minimum Winning size. Minimum winning size adalah jumlah minimum dari sebuah koalisi yang ideal, atau sebesar 50%+1 dari jumlah pemilik suara. Pada umumnya, partai politik akan membentuk sejumlah koalisi sebesarminimum winning size, dan tidak akan lebih dari itu (Koehler, 1975). Hal ini dimaksudkan agar koalisi yang terbentuk least costly. Mengikutsertakan partai politik ke dalam sebuah koalisi adalah suatu “biaya”, seperti biaya pembagian kursi kekuasaan dan jabatan.
Menurut penulis, koalisi gemuk yang dibuat oleh Partai Demokrat justru sangat bermanfaat. Dengan adanya koalisi gemuk, dan jauh di atas minimum winning size, koalisi sudah memasuki wilayah aman. Menurut Farejohn, Fiorina dan McKelvey (1987), koalisi akan baik jika jauh di atasminimum winning size, agar menghindari kemungkinan terjadinya pembangkangan dari dalam tubuh koalisi. Hal ini terbukti dari berhasilnya koalisi partai pemerintah memenangi voting dalam isu kenaikan harga BBM bersubsidi walaupun terjadi pembangkangan dari anggota partai koalisi (PKS).
Tentunya kita harus menilai sikap PKS terhadap koalisi secara objektif. Sudah barang tentu bahwa langkah politik PKS dilakukan dengan kalkulasi yang cermat. Menurut Daniel Diermeir (2009), sebuah koalisi pemerintahan akan retak apabila sebuah “critical events” dirasa lebih buruk dibandingkan dengan payoff yang didapat oleh partai koalisi. Dalam hal ini, PKS mungkin sudah melakukan kalkulasi politik bahwa menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi akan berdampak negatif bahkan dibandingkan keuntungan apabila mereka tetap di dalam koalisi.
Kalkulasi seperti ini sangat wajar dalam dunia politik. Isu BBM terbukti sangat sensitif dan populis. Keberpihakan yang diambil akan sangat menentukan pencitraan partai. Dalam konteks ini, menolak mengikuti koalisi merupakan langkah strategis untuk mendongkrak popularitas PKS ke depannya. Langkah ini bukan tanpa “biaya”, karena sangat mungkin PKS akan kehilangan jatah kursi Menteri di Kabinet SBY. Kehilangan jatah kursi Menteri, berarti kehilangan satu saluran untuk dekat dengan rakyat. Hal ini tentunya menjadi dilema, sehingga PKS harus melakukan kalkulasi mana yang terbaik untuk menjaga kepentingannya ke depan.
Masa depan koalisi
Permasalahan dalam intra setkab ini bisa menjadi pembelajaran ke depan terkait manajemen dari koalisi. Ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dilakukan. Pertama memperbaiki mekanisme pertukaran informasi. Kedua, memperbaiki koordinasi antar Kementerian dan kabinet. Ketiga, menerapkan resolusi konflik dan memperkuat peran setkab.
Pertama, memperbaiki mekanisme informasi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa informasi memegang peranan penting saat ini. Minimnya informasi seringkali menjadi landasan dasar tumbangnya suatu koalisi. Menurut Baron (1989), ketidakpastian (uncertainty) informasi akan berakibat buruk bagi keberlangsungan koalisi. Setkab bisa meniru skema yang diterapkan di New Zealand, yang menerapkan skema “consultation ministers”. Fungsi dari consultation ministersadalah untuk menyebarluaskan informasi kepada anggota kabinet yang merupakan anggota koalisi.
Kedua, memperbaiki koordinasi antar Kementerian dan Kabinet. Hal ini perlu dilakukan mengingat seluruh partai politik anggota koalisi mendapat jatah kursi Menteri. Dengan memperbaiki koordinasi di level eksekutif, maka benturan kepentingan antar anggota koalisi di Kabinet dapat diminimalisir.
Ketiga, menerapkan resolusi konflik dan memperkuat peran setkab. Negara-negara seperti Jerman dan Denmark terbukti sukses menerapkan komite koalisi seperti Setkab. Kesuksesan penerapan komite ini dikarenakan adanya pertemuan rutin dan dipandangnya komite sebagai forum penting dalam manajemen politik (Seyd, 2002).
Keberadaan koalisi sangatlah penting dalam percaturan politik Indonesia. Dinamika politik dan kebijakan publik Indonesia sangat bergantung dari bagaimana koalisi ini dapat berjalan. Rakyat sangat menunggu bagaimana dinamika politik elite ini berjalan, karena pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung seluruh “biaya” dari manuver politik para politisi.
wah mantap gan ane seneng baca artikelnya 0-0p
BalasHapus