Oleh: Yoga PS
Judul diatas nggak salah ketik. Juga bukan sengaja diplesetin biar tulisan ini dibaca. Jadi ceritanya Sabtu lalu (14/7) saya ada urusan untuk supervisi kegiatan brand yang saya tangani. Acaranya di Probolinggo. Kota yang berjarak sekitar 100 km dari Surabaya. Acaranya mulai jam 4 sore, tapi karena saya terlalu rajin, abis flight pagi Jakarta-Surabaya langsung meluncur ke alun-alun Probolinggo. Hasilnya begitu sampai, terbengong-bengong ga tau harus mau ngapain.
Daripada mati gaya, mending mati muda. Hehehe. Sambil menunggu EO menyiapkan venue acara. Saya memutuskan berjalan-jalan melihat-lihat kota. Naik delman istimewa kududuk dimuka. Aduh koq malah nyanyi… Suasana cukup lengang. Sebenernya saya pengen ke museum kota Probolinggo. Karena meski bukan lelaki hidung belang, saya doyan museum-museum sendiri. Hehehe.
Tapi perhatian saya tertarik begitu melihat ada tenda-tenda berdiri di sebuah tanah lapang. Sekitar 100 meter dari alun-alun, mengarah ke museum kota. Ternyata isinya pameran produk-produk UKM. Tapi yang bikin pemasaran, eh penasaran, adalah penjaga standnya. Menor-menor, dan rata-rata lekong melambai gitu bo’... Baru ngertilah saya begitu membaca judul acara di atas panggung:
“TRANSGENDER PROBOLINGGO MANDIRI: Transgender Menuju Wirausaha Mandiri”
Ampon kakak…
“Gaynomics”
Selama ini kaum transgender sering dipandang sebelah mata. Mereka dipandang orang aneh, pendosa, penyimpang, sampah masyarakat, dan kaum marginal. Setiap hari diuber-uber trantib atau pamong praja. Jika bekerja pun, paling-paling nyalon atau ngamen sambil mangkal di taman-taman mesum.
Penelitian dari Joesoef et al (2003) terhadap 296 waria di Jakarta menyebutkan jika 93% responden mengaku pernah dibayar demi seks. Pendidikan mereka memang rendah, 40% hanya sampai SD. Setelah diadakan penelitian kesehatan, 12.8% positive terkena Gonorrhoea Rectum, dan 43% memiliki kerentanan terhadap Syphilis. Aduh sodara-sodara, jangan tanya penyakit apa itu, saya Cuma asal nyomot dari jurnal. Ketularan juga belum. Belum ketahuan maksudnya (amit-amit).
Padahal kaum transgender semakin menarik perhatian pelaku bisnis. Di AS saja jumlahnya sudah mencapai 7% dan diperkirakan mencapai 30 juta jiwa (Miller:2012). Di Canada, konsumen transgender dalam hal ini kaum gay adalah konsumen yang fashionable, stylish, dan lebih memperhatikan penampilan daripada konsumen heterosexual (Ou Sha:2007). Penelitian dari Bill et al (2006) terhadap kaum gay di Brazil menunjukkan jika mereka adalah konsumen yang royal, loyal terhadap brand, rela membayar lebih mahal. (Kapan2 akan saya tulis mengapa kaum gay sangat stylish).
Ekonomi Tanpa Kelamin
Kaum transgender di Probolinggo berusaha membuktikan, jika mereka mampu menjadi manusia seutuhnya. Homo economicus. Makhluk yang memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan bekerja. Membangun usaha. Salah satu penjaga stan, seorang transgender dengan piercing di lidah dan cat rambut berwarna pirang (sebut saja Boy) mengatakan jika kegiatan ini dilaksanakan untuk membuktikan jika kaum transgender mampu memberdayakan diri secara ekonomi. Bahasa kerennya: punya spirit entrepreneurship!.
Ada yang membuka usaha catering, caffe, bengkel, salon, sampai berjualan produk kecantikan. Sepertinya diberi bantuan kredit oleh salah satu Bank Pemerintah. Tentu saja saya berharap dengan ini pandangan masyarakat terhadap transgender dapat berubah. Tidak lagi dipandang kaum sebelah mata. Dan tidak perlu ada lagi operasi “Sedap Malam”. Karena meskipun dilaknat dalam agama, setidaknya kita harus menerima mereka sebagai sesama manusia.
Anda tahu, uang tidak mengenal kelamin. Ia tidak peduli orientasi seksual pelakunya. Ekonomi tidak mengenal perbedaan kata Maho dan homo. Selama Anda mampu menghasilkan produk dan jasa yang berguna bagi masyarakat, uang akan mengikuti Anda. Pelaku wirausaha transgender Probolinggo ini masih lebih terhormat daripada mereka yang mengeruk harta Negara dengan prilaku koruptif yang ditunjukkan segelintir elit negeri ini.
Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama untuk menggali informasi lebih dalam. Ada acara sendiri yang harus saya hadiri. Selain itu, baru 5 menit berbincang dengan Boy, responnya semakin berlebaran. Eh, berlebihan. Membuat saya semakin ingin kabur.
“Makanya dibeli donk” kata si Boy sambil menepok pantat saya dengan mesra menggunakan kemoceng.
Auch cyinnn...
SPG : (Sales Promotion 'Guy') |
Contekan
Joesoef, et al. 2003. High Rates of Sexually Transmitted Diseases Among Male Transvestites in Jakarta, Indonesia. International Journal of STD&AIDS Volume 14
Perreira, et al. 2006. Brazilian Gays: Understanding the Construction of the Homosexual Identity through Consumption. Latin American Advances in Consumer Research
Sha, Ou et al. 2007. Understanding Gay Consumers’ Clothing Involvement and Fashion Consciousness. International Journal of Consumer Studies
Nice Writing.
BalasHapusDimana-mana kegiatan ekonomi dengan pelaku transgender selalu ada di setiap daerah. Entah sebagai komoditas atau keterpaksaan namun fenomena ini patut dicermati. Sekarang tidak hanya di kota besar, namun di kota yang relatif kecil seperti Probolinggo (tempat tinggal saya) sudah ada tidak tabu lagi. Kaget awalnya juga awalnya. Semata panggilan hati atau memang terpaksa jadi banci buat nyari pekerjaan?? :D