Jumat, 03 Mei 2013

Punk Economics [part 1]





Oleh: Bhima Yudhistira*

Keberadaan anak punk di pinggir jalan, mengemis, mengamen, mencium lem ‘aibon’ dosis tinggi, sesekali terlihat fly mungkin bukan pandangan yang menarik bagi masyarakat umum. Mereka sering dianggap sampah masyarakat, kelas buangan, datang dari keluarga broken home, tidak punya masa depan. Anda salah! mereka yang Anda lihat di pinggir jalan tidak semua mencerminkan punk sesungguhnya. 

Sejarah panjang komunitas punk bermula dari The Ramones (1974), sebuah band Punk berambut The Beatles wanna be versi gondrong yang membuat hentakan baru di Amerika Serikat. Lirik dari The Ramones menunjukkan anti-kemapanan, dan kritik terhadap FBI yang dinilai membiarkan rasisme serta sentimen agama muncul di tahun 1970-an.  

Gerakan Punk kemudian berlanjut dengan idealisme yang lebih tinggi di Inggris. Sekelompok anak muda yang menentang gereja, dan menentang sistem otoriter pemerintah berkumpul dan membuat sebuah band punk pertama, Sex Pistols pada tahun 1976 di Inggris. Ide awal pembentukan band ini diawali dengan diskusi-diskusi seputar ekonomi-politik di Inggris saat itu. Gereja bersekutu dengan Pemerintah untuk mendukung liberalisasi ekonomi. Coba dengar lirik ‘God Save the Queen’ yang terkenal. Isinya bukan masalah cinta-cinta-an seperti band punk hari ini, sebaliknya dalam lirik tersebut mengkritik kerajaan sebagai komoditas pariwisata murahan serta Pemerintahan yang korup dan munafik, maka Tuhan selamatkanlah Inggris.  ‘God save the Queen, Cause tourists are money, And our figurehead, Is not what she seems’. 

Musik yang dimainkan Sex Pistols menimbulkan masalah besar bagi publik Inggris yang saat itu terlalu nyaman dengan nilai-nilai kemapanan masyarakatnya. Gelombang awal punk ini kemudian melahirkan corak pemikiran ekonomi Anarkis baru yang sebelumnya telah lama tenggelam sejak kematian Mikhail Bakunin, Prince Peter Kropotkin dan Proudhon. Dibentuklah komunitas-komunitas punk dengan dasar perekonomian Anarkisme, sebuah sistem dimana anggota komunitas hidup tanpa membayar pajak, kembali ke alam dengan menanam tanaman organik, menolak eksploitasi kelas, bekerja secara bebas untuk kebutuhan kommune, dan tidak terdapat hirarki, sehingga kebebasan sempurna dapat dicapai dengan cara anarkis tersebut.

 Gerakan ini mendapatkan inspirasi dari peristiwa sejarah, Paris Commune 1871 ketika kota Paris di Prancis di blokade oleh kelas pekerja yang kemudian segala kebutuhan pangan diputus dari kota lainnya (karena warga Paris dianggap berkhianat terhadap Negara). Mereka melakukan gerakan kommune dengan menanam sendiri dan tidak terikat pada bantuan orang diluar komunitas-nya. Faktor produksi dikuasai bersama, tidak ada seorang borjuasi kapital yang memerintah seperti Raja baru. Itulah yang menjadi inspirasi gerakan Punk, terputus dari ketergantungan industrialisasi borjuasi.  

Salah satu anggota Sex Pistols yang paling politis selain Johnny Rotten adalah Sid Vicious (basis) dengan nama asli John Simon Ritchie. Lahir dari ayah yang bekerja sebagai penjaga Istana Kerajaan Buckingham Palace. Latar belakang ayah Sid Vicious yang sangat mendukung monarki membuat Sid kemudian memutuskan untuk bergabung dengan kelompok band anarki London, Sex Pistols di tahun 1977. Keberadaan Sid Vicious membuat nama band Sex Pistols kian berpengaruh di kancah musik maupun gerakan sosial di Inggris. 

Bersambung Punk Economics part 2

*Penggiat Obrolan Jumat- Menolak Mapan

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...