Minggu, 27 Oktober 2013

Hidden Cost

Gambar dari www.trulia.com

Oleh: Yoga PS

Mana yang lebih murah, membeli barang di toko A dengan harga 45rb, atau barang yang sama di toko B dengan harga 25 rb yang terletak 3 km dari toko A?

Pertanyaan yang mengilhami tulisan ini lahir dari pengalaman pribadi saya beberapa waktu yang lalu. Jadi ceritanya saya sedang makan di salah satu food court, nah kebetulan saya butuh kabel data untuk power bank. Kebetulan lagi, setelah menyantap nasi biryani India ditambah kari ayam (inget diet woi), saya menemukan counter hp.

Setelah pdkt ke mas yang jaga (biar dikasih murah) dan tanya sana sini, akhirnya saya menemukan kabel data yang saya butuhkan.

“Ini harganya berapa Mas?” tanya saya dengan muka sok imut.

“45 ribu bos”

Begitu mendengar kata 45rb, dalam hati tangan saya pingin reflex gampar muka mas-mas yang jualan. Masa kabel data doank 45rb, harga normalnya 20-25rb an kale… saya juga tahu pusat perbelanjaan mobile phone (kita sebut mall B) yang bisa memberikan harga segitu. Letaknya tak lebih dari 3 km dari food court ini. Tapi disinilah masalahnya sodara-sodara. Saya menerapkan perhitungan cost benefit dengan memasukkan unsur “hidden cost”.

Hitung Lagi

Hidden cost, menurut mantan mahasiswa ekonomi dengan IP cekak kaya saya adalah biaya “siluman”. Biaya yang sebenernya ada, tapi seolah-olah tidak ada. Dia itu seperti kentut: tidak berwarna, tapi kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah Anda (mau nutup idung, muntah, apa keracunan).

Saya lalu melakukan cost benefit analysis. Pilihannya ada 2: beli sekarang dengan harga 45rb, atau pindah ke mall seberang dengan harga 25rb. Jika saya seorang Emak-emak yang rajin belanja di pasar, pasti pilihannya jelas: ambil yang paling murah donk! Which is 25rb.

Tapi karena saya adalah seorang homo economicus yang ga mau rugi, saya berpikir lebih ‘dalam’ (pemilihan kata ‘berat’ agak sensitive buat saya). Setelah melakukan kajian epistemologis, empiris, holistis, historis,  dan memasukkan berbagai variable ekonomis, akhirnya saya justru mengambil di toko abang-abang vampire penghisap darah bangsanya sendiri karena menjual kabel data terlalu mahal ini.

Lho koq bisa? 25 ribu kan lebih murah dari 45 ribu! Nenek-nya nenek juga tahu!

Iya memang lebih murah. Tapi itu baru cost of goods sold (COGS), tolong tambahkan “hidden cost” yang harus saya bayar jika mengambil barang di mall B.
  1. Biaya transport. Karena saya ga punya kuda atau onta, pilihannya adalah naik ojek atau taksi. Biayanya sudah 20rb sendiri. jalan kaki? Ntar laper donk… biaya makan disana rata-rata 30-40rb.
  2. Biaya riset. Jika saya sudah sampai di mall B, toko mana yang harus saya pilih? Kudu muter2 lagi kan.  Saya harus melakukan riset lewat scanning counter penjualan. Kudu ngeliat barang yang di display, penjual, dan competitor di tempat yang sama.
  3. Biaya waktu. Ini yang paling penting. Bepergian di 3km di Jakarta tidak seperti berjalan 3km di surga yang bisa sekejap mata (udah pernah ke sana emang?). Kita harus menghadapi kenyataan kepadatan penduduk dunia ketiga beserta polutan CO2 dengan kandungan timbal yang bisa menurunkan kecerdasan otak manusia.
Direct benefit

Ekonom menganggap manusia rasional. Meraka pada umumnya mengaku melakukan cost benefit analysis. Mengambil keputusan yang lebih menguntungkan, dengan kerugian minimal. Tapi jika manusia benar-benar rasional, maka ada tiga jenis manusia yang lenyap dari muka bumi:
  1. Penjahat kampungan,
  2. Perokok
  3. Penderita obesitas
Mengapa? Karena secara cost benefit, keuntungan sebagai penjahat kelas teri (maling ayam, jambret, curanmor) tidak sebanding dengan kemungkinan ditangkap dan dijadikan menu ayam bakar taliwang oleh massa.

Merokok? Jika orang rasional, mereka sudah tahu jika itu adalah racun bagi tubuh. Obesitas? Mana ada orang waras yang rela menimbun lemak dan menyiapkan tubuh jadi sarang penyakit?

Manusia, digerakkan oleh 4R (Rewards, Resource, Reason, Reinforcement) yang seperti sudah saya tulis sebelumnya. Dan mengenai rewards, manusia akan lebih menghargai direct rewards. Keuntungan didepan mata. Kenikmatan yang langsung dirasakan. Analysisnya menjadi direct cost vs direct benefit.

Karena itulah, untuk uang tak seberapa, manusia mencuri. Untuk kenikmatan di mulut selama 5 menit, manusia merokok. Dan untuk kepuasan perut beberapa jam, manusia makan berlebihan. Mereka tidak pernah memperhitungkan multiplier effect dan “hidden cost” yang harus dibayar dikemudian hari.

By the way, Jika ada hidden cost, apakah ada “hidden benefit”???

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 Komentar:

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...