Jumat, 01 Juli 2011

Mematahkan “Perangkap Setan”

Oleh: Parar Nainggolan

Untuk pertama kalinya nih, saya posting artikel tapi sifatnya lebih personal opinion…Sebagai salah seorang yang pernah mengalami kuliah di bangku kuliah ekonomi dan menjadi gila karenanya….saya pikir saya bisa kaya dengan berkuliah di jurusan ekonomi (hehehe…:P). Nyatanya, saya tambah pusing karena ternyata yang saya pelajari adalah tentang kemiskinan. Apa aja sih penyebab kemiskinan dan kenapa sampai sekarang negara kita belum bisa keluar dari salah satu “Perangkap Setan” ini alias bahasa kerennya vicious cycle.

Klo kata orang miskin, saya miskin karena orang tua saya miskin. Ada juga yg bilang, saya miskin karena saya gak punya uang. Tapi, ada lagi yg lain bilang, saya miskin karena saya gak sekolah. Apapun alasan seseorang yang miskin mengatakan dirinya miskin adalah benar karena mereka sadar akan hal itu. Hanya yang membuat saya shock, saat mereka tahu mereka miskin, mereka tidak tahu cara keluar dari kemiskinan tersebut malah justru menyalahkan pihak luar seperti pemerintah yang korupsi terus menerus dan tidak memikirkan kepentingan rakyat. Saya juga secara pribadi, tidak menyukai para pemimpin bangsa ini. Tapi, apa mau dikata, Tuhan yg sudah tetapkan langkah setiap orang. Para pemimpin bangsa ini sudah punya jalan hidupnya masing-masing. Urusan mereka dengan Tuhan apakah mereka telah menjalankan fungsinya dng baik atau tidak.

Selama saya di Larantuka, Flores Timur selama 6 bulan, sekeliling saya adalah orang-orang keturunan Portugis yang penampilannya lusuh dan pakaiannya tidak bermerek. Rumah-rumah mereka tidak berkeramik. Dinding rumah mereka terbuat dari bambu. Berjalan kakipun kadang tidak menggunakan sandal. Pada malam hari, hanya satu atau dua rumah dari tiap desa yang menggunakan lampu, dan bila ada salah satu rumah yg memiliki TV maka rumah tersebut sudah seperti gedung bioskop yg dijejali oleh bapak-bapak, ibu-ibu, maupun anak-anak yang menonton bersama. Tiap hari, pada saat mereka harus berladang, ibu-ibu menaruh bakul mereka di atas kepala dan bapak-bapak menaruh pacul di atas bahu sambil berjalan.

Pemandangan diatas berbeda jauh sekali dengan Singapura, yang baru-baru ini, saya kesana selama 3 hari. Kota-kota yg saya datangi terlihat bersih, gedung-gedung bertingkat dan apartemen-apartemen berdiri tegak. Orang-orang berjalan hilir mudik dengan gaya berpakaian yang stylish dan beberapa orang pun, saya lihat sibuk menyentuh layar iphone. Saya pun berjalan kaki dengan nyamannya, bisa naik MRT dan masuk dari satu mal ke mal yang lainnya.

Tapi saya tidak sedang ingin menceritakan pengalaman hidup saya selama di NTT ataupun Singapura. Saya hanya berpikir kenapa bisa sebuah negara yang kecil, tidak punya SDA yang melimpah begitu cepatnya maju. Sementara, Indonesia yang merupakan negara yang cukup luas, punya potensi SDA yang melimpah masih saja disebut negara berkembang (dari dulu sampai sekarang kok masih tetap disebut berkembang yach…). Bahkan, citra Indonesia di mata internasional sedang membaik tapi kok rasanya belum ada perubahan signifikan yang terjadi sih…?!?!?!

“Perangkap Setan” yang mana yach yang masih jadi kendala dari bergerak majunya Indonesia. Dari segi ekonomi, pertumbuhan makroekonomi Indonesia terus membaik tapi kok yach…yang mengganggur justru tambah banyak. Kemudian, dari segi pendidikan, pemerintah sudah menganggarkan 20 % dari APBN utk anggaran pendidikan. Tapi nyatanya, cuma gaji guru saja yang naik, signifikansinya bagi dunia pendidikan belum terlihat. Terakhir, dari segi kesehatan, hmmmm…..mungkin yang satu ini yang belum benar2 dipikirkan oleh pemerintah (paling tidak dipikirkan dulu walaupun implementasinya belum pasti…hehehehe). Tidak semua orang memiliki asuransi kesehatan apalagi orang miskin, biaya pengobatan yang mahal dan tidak lupa kebersihan lingkungan yang kurang. Masalah kesehatan diatas memang lebih berkaitan dengan kesehatan fisik tapi ada satu masalah kesehatan yang harus dipikirkan juga masalah kejiwaan.

Tertarik dengan yang terakhir, masalah kejiwaan. Ternyata jumlah orang masuk rumah sakit jiwa bertambah banyak, tingkat bunuh diri pun bertambah, apalagi tingkat kejahatan dalam bidang pembunuhan maupun perampokan terus bertambah. Seharusnya, kita tidak boleh melupakan satu “perangkap setan” ini. Kesehatan mental itu juga penting. Sebenarnya, hakekatnya, semua tindakan positif apapun yang akan kita lakukan berdasarkan dari buah pikir, hati, dan jiwa.

Saya jadi teringat, dulu ketika di Larantuka, alasan umum suatu proyek tidak berhasil diimplementasikan di masyarakat adalah karena ketidaksiapan masyarakat. Proyek berhasil ketika masyarakat siap terima perubahan. Kesiapan masyarakat bukan dalam bentuk fisik tapi lebih dalam pikiran mereka bahwa mereka siap. Dari situ saya belajar, awal dari perubahan tersebut adalah pola pikir yang sehat yang hanya bisa diperoleh lewat mental dan emosi yang terlatih baik menghadapi tantangan dan tidak perlu takut.

Seseorang akan sadar pentingnya pendidikan, kesehatan dan punya kehidupan yg sejahtera kalau mereka punya buah pikir, hati, dan jiwa yang sehat. Punya pola pikir yang benar. Tapi umumnya. pola pikir yang benar terbentuk ketika kondisi emosi dan mental kita sedang stabil. Maka dari itu, jadi inget, ketika mau ikut ujian UMPTN, sehari sebelumnya saya berhenti dari kegiatan belajar yang melelahkan dan melakukan rutinitas umum dan ringan agar pikiran saya dikondisikan baik karena emosi dan mental saya sedang dibuat santai, seakan-akan tidak ada masalah, dan pada akhirnya fokus pada apa yang ingin dicapai.

Be Blessed Indonesia…!!!

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 Komentar:

  1. well, mmg paradigma memegang peranan yg penting, motivasi (inner terutama) untuk selalu berjuang. Untuk menjadi kaya, kita harus membenci menjadi miskin

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...