Oleh: Dipta Dharmesti
Saya sudah mengunjungi beberapa negara di Asia, antaralain Singapura, Malaysia, dan Hong Kong (HK). Saat ini pun saya berstatus internship di sebuah konsultan bisnis di Kuala Lumpur, Malaysia.
Ketika berinteraksi dengan orang-orang di negara-negara tersebut, saya lebih suka menggunakan bahasa inggris. Awalnya, orang-orang pasti bertanya, "where are you from?" Saya jawab, "INDONESIA." Orang Malaysia dan Singapura kebanyakan mengira saya studi di sana karena berbahasa inggris, hehehe... Masih tampang S1 ^^ Yes, I am a master student, in Indonesia. Beda dengan HK. Orang sana sering mengira saya TKW di sana, wedew... Mending TKW profesional, lah dikiranya TKW buruh pabrik atau maid (pembantu rumah tangga) :S Waktu ke HK memang saya baru saja "lulus" dari pabrik sih, mungkin masih ada tampang buruh :p
Negara-negara yang saya sebutkan tadi merupakan negara-negara "sasaran" TKI. Saya bangga jadi orang Indonesia yang bisa mengunjungi negara-negara tersebut, tapi juga sedih, mengapa stereotip Indonesia adalah sebagai negara maid? TKI diasosiasikan sebagai pekerja "kerah biru", buruh atau pembantu. Sebagai contoh lagi, di Malaysia, walaupun saya bukan sebagai maid, tapi jika saya mengaku dari Indonesia, pasti orang bercerita, "Ah, my maid is from Indonesia, she is from Java." Nggak cuma orang Malaysia, orang Filipina pun bilang begitu. Walaupun yang diceritakan hal-hal baik, tapi ya tetap saja maid. Seolah orang Indonesia (terutama perempuan) yang kerja di negara itu adalah sebagai maid. Office woman di kantor tempat internship saya pun berasal dari Purwakarta, dan beliau baik sekali.
Stereotip "Indon = berpendidikan rendah atau Indon = stupid" sudah melekat di masyarakat negara tetangga. Pernah suatu hari, pulang kantor, saya yang berkostum blazer ini mencoba naik bis pulang. Karena baru pertama kali, saya menaiki arah yang berlawanan, padahal jalur bisnya sudah betul. Eh, sopir bis memarahi saya, padahal saya sudah menjelaskan kalau itu baru pertama kali naik bis. Si sopir itu memang menyebalkan, seolah-olah saya orang Indonesia yang tidak berpendidikan, ckckck... (catatan untuk menghibur diri sendiri: kalau tuh sopir pendidikannya tinggi, dia nggak bakal jadi sopir bis :p).
Di Hong Kong beda lagi. TKW di sana dandanannya nyentrik-nyentrik. Begitu pula di Singapura. Baju seksi warna-warni, rambut kadang-kadang dicat coklat, tapi bicaranya medok, hahaha. Saya ke negara-negara itu sebagai turis backpacker, bukan turis koper, sehingga bentuknya ya seperti orang kere jalan-jalan. Petugas imigrasi pun membutuhkan beberapa saat mempelajari employee pass di paspor saya. So, setelah orang menanyakan asal saya, di Hong Kong saya ditanya juga dari agen mana >.< Bedanya, kalau di Singapura, kebanyakan TKW maid tidak berbicara dalam bahasa inggris, sehingga untuk "menghindari" stereotip maid, saya terus menggunakan bahasa inggris, hehehe... That's why I prefer english to bahasa.
Dear Indonesia, mengapa yang dikirim maids, bukannya tenaga kerja profesional? Belum lama ini, pengiriman maid dari Indonesia ke Malaysia dihentikan karena banyaknya kasus, dan baru akan dimulai kembali bulan depan. Saya pribadi berpendapat, sebaiknya Indonesia mengurangi pengiriman maid dan menambah pengiriman TKI-TKI profesional. Why not? Banyak sarjana menganggur di negeri sendiri. Orang Indonesia sebetulnya tidak bodoh, masa membuat citra "bodoh" di negeri tetangga. Terus terang, saya merasa miris kalau orang-orang negeri tetangga ngerumpi tentang maid Indonesia mereka.
TKI sektor informal memang menyumbang devisa bagi Indonesia, namun jangan lalu yang dikirim TKI informal melulu. TKI formal berpendidikan tinggi pun menyumbang devisa, bahkan lebih besar. Adalah suatu kebanggaan bisa memenuhi kriteria internasional dan menyumbangkan devisa bagi negeri sendiri, namun akan lebih baik lagi jika citra INDONESIA di dunia internasional ditingkatkan dengan mengirim tenaga kerja "kerah putih" :)
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...