oleh: D. A. Rohmatika
Saat mendapatkan uang saku seratus ribu, apa yang akan kaupilih? Beli sepatu baru atau nambal gigi berlubang yang sepertinya sudah hampir tamat? Kalau disuruh memilih, maunya ya memilih semuanya. Tapi uangnya hanya mampu membuat kita memilih salah satu kan? Jadi, bagaimana cara memilihnya?
Untungnya, pada tahun 1980, seorang ekonomis bernama Alfred Marshal
mencetuskan ide bagaimana untuk membuat pilihan cerdas dengan cara yang
dinamakan “cost-benefit analysis”. Marshal, seorang raja di kastil
ekonomika dari Inggris, dikenal juga sebagai salah satu pendiri ekonomi
neoklasik dan memperlebar disiplin ilmu dari (hanya) studi pasar ke
pengamatan perilaku manusia. Tapi, sumbangan terbesarnya adalah
menunjukkan perilaku konsumen dalam membeli suatu barang: dia akan
membelinya jika manfaat marginalnya lebih besar dari kos marginalnya.
Nah, apa lagi itu manfaat marginal dan kos marginal? Di web investopedia,
kedua hal ini didefinisikan sebagai: “marginal benefit refers to
what people are willing to give up in order to obtain one more unit of a
good, while marginal cost refers to the value of what is given up in
order to produce that additional unit”. Singkatnya, saya akan rela
membeli satu lagi koleksi Elegant Ribbon di Cossette Apparel dengan
harga segitu daripada membuatnya sendiri satu lagi karena membuat
sendiri tentu saja sangat costly.
Nah, itu adalah contoh simpel analisa kos dan manfaat yang
mempengaruhi perilaku konsumen membeli sebuah barang. Yang lebih
kompleks misalnya keputusan untuk melanjutkan pendidikan master atau
mencari pekerjaan bagi lulusan fresh universitas. Kita tidak bisa memilih semuanya dan harus memilih salah satu, itulah yang dinamakan trade offs. Apa trade offs kalau memilih lanjut sekolah lagi?
Costs
|
Benefits
|
Bayar 65 juta
|
Mendapatkan gelas master
|
Potensi yang hilang untuk mendapatkan penghasilan per bulan
|
Bisa ikut konferensi paper internasional
|
Peningkatan karir di pekerjaan
|
Mendapatkan ilmu
|
Potensi punya modal pekerjaan buat ngelamar anak orang hilang
|
|
(Nggak bisa) Beli motor dan koleksi gundam
|
|
Weekends libur yang
benar-benar libur
|
|
Hidup yang “tanpa hutang” buat bayar sekolah
|
Kalau mungkin hanya berupa daftar mana yang kos mana yang manfaat,
yang kos terlihat sangat banyak daripada yang manfaat untuk meneruskan
sekolah lanjut master degree. Daftar-daftar itu juga terdiri dari baik
kuantitatif (misalnya angka 65 juta rupiah) dan kualitatif. Tapi kalau
sudah begitu, susah kan membandingkannya? Lalu bagaimana caranya? Ada dua: (1) membuatnya menjadi kuantitatif, atau (2) memberinya bobot.
Contoh dari solusi pertama (membuat solusi menjadi bentuk kuantitaif)
digambarkan pada sebuah perusahaan pengeboran dan penjualan minyak
internasional di bawah ini (kisah nyata). Perusahaan ini mengklaim bahwa
sebenarnya 73% dari penundaan pengerjaan/penyelesaian proyek-proyek
yang ada disebabkan oleh masalah nonteknis, seperti perizinan dan protes
dari masyarakat sekitar. Maka, dengan cost-benefit analysis ini,
perusahaan itu ingin tahu apakah dia perlu menaikkan kos sosial dan
community engagement-nya atau tidak? Apakah dia memang
benar-benar mendapatkan keuntungan dari situ? Mari kita buat tabel yang
sama dengan menghitung juga opportunity cost-nya (kos dari alternatif
lain yang hilang akibat keputusan kita memilih sesuatu).
Costs
|
Benefits
|
||
Menaikkan kos sosial dan community
engagement
|
6 juta USD
|
Potensial kos penundaan 10-15 hari proses pemasangan saluran pipa
|
4 - 6 juta USD
|
Strukture gravitasi konkrit terselesaikan 3 bulan lebih awal
|
36 juta USD
|
||
Denda keterlambatan pengiriman minyak ke pasar (asumsi 10-15 hari)
|
10 - 30 juta USD
|
||
TOTAL
|
6 juta USD
|
TOTAL
|
50 - 72 juta USD
|
Dengan ROI investasi yang dilakukan perusahaan itu pada sosial dan community engagement sebesar 1200 persen, tentu saja perusahaan itu dengan senang hati melakukan investasi tersebut. Begitu pula misalnya dengan solusi kedua (melakukan pembobotan) bisa dilakukan misalnya ketika akan memilih suami (fufufu~). Sebut saja, misalnya, calonnya adalah Tony Stark (tahu kan? Tokoh khayal ciptaan Marvel si Iron Man ituh). Mari kita analisis kos dan manfaat kalau berhasil menikah dengannya lewat metode pembobotan dengan skala 1-5 (angka 5 berarti ekstrim):
Costs
|
Benefits
|
||
Selalu dikuntit oleh bahaya dan musuh
|
5
|
Kaya abis, kehidupan kita terjamin
|
5
|
Bisa mati setiap saat
|
5
|
Ada asuransi kesehatan dan asuransi macam-macam yang mengkover apapun
|
5
|
No weekends together,
ditinggal dinas terus
|
5
|
Rumah di pinggir laut yang bisa lihat sunset dan sunrise cantik (buat
saia ini penting!)
|
4
|
Harus kerja keras ngurus perusahaan soalnya si suami sibuk
menyelamatkan dunia
|
5
|
||
Harus belajar keras soal electrical
engineering biar nggak kelihatan cengoh waktu diajak ngomong (meeeehhh~)
|
3
|
||
TOTAL
|
23
|
TOTAL
|
14
|
Kesimpulannya: tidak usah menjadi istri Tony Stark jika tidak ingin mati muda.
Tulisan ini dibuat sebenarnya demi melihat tugas-tugas masa kuliah
zaman dulu yang (sok-sokan) memakai cost-benefit analysis tapi masih
tidak jelas kenapa yang satu bisa lebih baik daripada yang lain.
Makanya, dengan menguantifikasikan berbagai variabel tersebut (dengan
menghitung opportunity cost yang ada) atau memberikan bobot
skala pada masing-masing variabel kos dan benefit. Jadi, pengambilan
keputusan bisa lebih akuntabel dan terpercaya sehingga mudah pula
meyakinkan orang lain dengan keputusan serupa. Bukan begitu?
*dari berbagai sumber, misalnya Spousonomics (Szuchman & Andersen), Investopedia, dll.
Jadi ingat dengan pelajaran ekonomi waktu dikampus dulu... intinya adalah pilih mana yang memiliki nilai manfaat tinggi, disini prioritas harus ditentukan :)
BalasHapus