Oleh: Aulia R.
Apa hubungannya lampu merah dengan mahzab Keynesian dan Mazhab Klasik dalam ekonomi? Kalau mau saya jelaskan dengan analogi yang mudah, izinkan saya menggunakan cerita analogi sebagai berikut:
Pada suatu tengah malam Aulia dan Ian, sepasang pemuda yang tinggal di Jogja, pergi ke luar mencari makan. Sudah menjadi watak orang Jogja untuk makan di tengah malam, sambil ngongko-ngongko atau nongkrong dan ngobrol ngalor-ngidul mulai dari masalah hidup hingga kuliah yang terkadang menyiksa. Waktu menunjukan jam 12 malam. Tibalah mereka di lampu merah yang mana 10 meter lagi gudek yang ada di depan mereka sudah terlihat. Gudeg di Jogja memang biasa buka malam dan dijual dipinggir-pinggir jalan raya.
Sayangnya, di lampu merah yang mereka temui sedang dalam posisi “merah”. Gak boleh lewat, stop, diam, dsb. Padahal waktu itu jalan sepi-sepi saja, tidak ada kendaraan dari arah samping atau arah berlawanan yang terlalu ramai. Kalaupun ada, sudah bisa diantisipasi dan tidak terlalu membahayakan. Jelas, soalnya saat itu sudah jam 12 malam.
Perut mereka yang sudah kelaparan, dari lampu merah sudah bisa melihat kalau ada beberapa pembeli yang baru saja memesan pesanannya. Itu membuat perut mereka semakin meraung-raung. Hingga akhirnya lampu hijau hadir 45 detik kemudian. Mereka baru jalan 10 meter menuju tempat penjual gudeg itu. Ternyata mereka memang pengendara yang taat aturan.
Nasib sial bagi mereka, sesampai di penjual gudeg, baru saja mereka mau memesan menu, sang mbah gudeg mengatakan kalau gudegnya sudah habis. Sudah dipesan sama beberapa orang terakhir tadi. Mereka sangat gondok, padahal itu adalah gudeg favorit mereka. Akhirnya-akhirnya mereka berpikir kalau saja tadi lampu merahnya tidak nyala. Toch, jalan raya sudah tidak ramai. Andai saja tadi lampu merahnya tidak aktif, mungkin mereka masih bisa memesan setidaknya dua porsi guded buat mereka. Sial!
Apa hubungannya lampu merah dengan mahzab Keynesian dan Mazhab Klasik dalam ekonomi? Kalau mau saya jelaskan dengan analogi yang mudah, izinkan saya menggunakan cerita analogi sebagai berikut:
Pada suatu tengah malam Aulia dan Ian, sepasang pemuda yang tinggal di Jogja, pergi ke luar mencari makan. Sudah menjadi watak orang Jogja untuk makan di tengah malam, sambil ngongko-ngongko atau nongkrong dan ngobrol ngalor-ngidul mulai dari masalah hidup hingga kuliah yang terkadang menyiksa. Waktu menunjukan jam 12 malam. Tibalah mereka di lampu merah yang mana 10 meter lagi gudek yang ada di depan mereka sudah terlihat. Gudeg di Jogja memang biasa buka malam dan dijual dipinggir-pinggir jalan raya.
Sayangnya, di lampu merah yang mereka temui sedang dalam posisi “merah”. Gak boleh lewat, stop, diam, dsb. Padahal waktu itu jalan sepi-sepi saja, tidak ada kendaraan dari arah samping atau arah berlawanan yang terlalu ramai. Kalaupun ada, sudah bisa diantisipasi dan tidak terlalu membahayakan. Jelas, soalnya saat itu sudah jam 12 malam.
Perut mereka yang sudah kelaparan, dari lampu merah sudah bisa melihat kalau ada beberapa pembeli yang baru saja memesan pesanannya. Itu membuat perut mereka semakin meraung-raung. Hingga akhirnya lampu hijau hadir 45 detik kemudian. Mereka baru jalan 10 meter menuju tempat penjual gudeg itu. Ternyata mereka memang pengendara yang taat aturan.
Nasib sial bagi mereka, sesampai di penjual gudeg, baru saja mereka mau memesan menu, sang mbah gudeg mengatakan kalau gudegnya sudah habis. Sudah dipesan sama beberapa orang terakhir tadi. Mereka sangat gondok, padahal itu adalah gudeg favorit mereka. Akhirnya-akhirnya mereka berpikir kalau saja tadi lampu merahnya tidak nyala. Toch, jalan raya sudah tidak ramai. Andai saja tadi lampu merahnya tidak aktif, mungkin mereka masih bisa memesan setidaknya dua porsi guded buat mereka. Sial!
Esok paginya, mereka ada kuliah, jam 7.30. Ketika itu bukannya cerah malahan hujan. Petir menyambar-nyambar bak ada genderang perang yang ditabuh di medan laga (apaan sih?!). Hujan yang terus mengguyur memaksa PLN memadamkan listrik di jaringan listrik untuk lampu lalu lintas. Walhasil, lampu merah di dekat persimpangan menuju kampus mereka mati. Lengkap sudah! Hujan, banjir sedikit, macet, lampu merah mati, peak hour. Lampu merah yang mati membuat kendaraan di jalan “stuck”. Macet tekunci tidak bisa ke mana-mana.
Akhirnya, gara-gara hal itu, mereka terlambat di kampus. Untung dosennya baik, masih kasih mereka kesempatan untuk masuk. Sungguh aneh, tadi malam mereka sial karena lampu merah berfungsi sekarang mereka sial karena lampu merah tidak berfungsi. Memang, kadang-kadang kita butuh “intervensi” lampu merah, kadang-kadang tidak.
Di kelas sedang memelajari komparasi tokoh ekonom klasik dengan ekonom Keynesian. Sang dosen bertanya di kelas, “Siapa yang bisa jelaskan soal pendapat klasik bahwa ekonomi tidak perlu ada campur tangan pemerintah, sedangkan menurut keynesian, ekonomi perlu ada campur tangan pemerintah?”
Si Ian langsung mengangkat tangan, lalu menceritakan kisahnya tadi malam bersama Aulia untuk menjawab pertanyaan itu.
31 Januari 2011
Hmmm... tapi berpindah-pindah Klasik-Keynesian (dalam rangka cari enaknya doang) ga boleh kan? Contoh yang ngena banget dan mudah dicerna ^^
BalasHapusgak cocok untuk jawaban uas, he2 :p
BalasHapusmungkin udah buat kesepakatan di washingto consessus..hehehhe
BalasHapus@calon
BalasHapuscoba aja jawab pake cerita ini, hehehehhe, setidaknya dapat upah nulis. =P