Kredit, dalam hal ini utang, berasal dari bahasa latin credo, yang berarti percaya. Karena memang kredit adalah hal lazim dalam dunia bisnis yang berlandaskan kepercayaan antar pelakunya. Supplier yang memiliki credo pada distributornya, memberikan kepercayaan untuk membayar dimasa depan. Demikian juga bank yang memiliki credo terhadap debiturnya. Ia diberikan kepercayaan untuk meminjam uang tersebut.
Tapi ternyata kepercayaan yang timbul bersifat resiprokal. Orang yang dipercaya (dalam hal ini debitur), terkadang harus patuh pada perintah debitur. Disinilah kekuatan utang, ia mampu mengendalikan seseorang. Itulah mengapa kemampuan ekonomi suatu Negara disebut sebagai “soft power”. Kekuatan untuk mempengaruhi Negara lain menggunakan senjata utang dan bantuan keuangan.
Sejarah mencatat, keruntuhan Ottoman Turki tidak terjadi semata-mata karena kekalahan militer, tapi akibat jeratan utang. Khadive Ismail (Gubernur di Kairo) mengambil kredit 7 juta pound dengan bunga 7% pertahun. Akibatnya saham terusan Suez dijual ke pemerintahan Inggris sebesar 4 juta pound, dengan tambahan kredit lagi sebesar 8 juta pound. Itulah mengapa posisi Inggris sangat dominan disekitar Afrika dan Timur Tengah.
Amerika mampu menjadi leading superpower berkat credo yang diberikan pada Eropa. Benua yang hancur lebur pasca perang dunia II ini dengan senang hati menerima European Recovery Program (ERP) yang dicetuskan George Catlett Marshall, sekretaris negara AS kala itu. Tidak ada yang peduli bahwa bantuan ini (Marshall Plan) sebenarnya juga demi kepentingan AS. Tanpa Eropa yang sehat, takkan ada pasar bagi barang produksi AS. Selain untuk mengatasi ancaman pengaruh komunisme dari Uni Soviet.
Indonesia juga menjadi korban utang. Pasca krisis 98’, banyak kebijakan ekonomi berbau privatisasi dan liberalisasi ala resep dokter-dokter IMF. Pasca krisis 66’, banyak bantuan keuangan (eufimisme dari utang) yang harus dibayar dengan menyerahkan konsesi pertambangan dan minyak bumi.
Kepercayaan Kertas
Tanpa adanya kredit, mungkin kita takkan mengenal uang kertas. Apalagi uang plastic ala credit card. Karena pada awalnya, uang kertas adalah surat utang IOU (I Owe U/saya berhutang kepada Anda). Zaman dulu, surat ini dikeluarkan ketika kerajaan2 di Eropa tidak mampu membiayai perang. Penguasa kemudian meminjam kepada saudagar-saudagar kaya yang meminta jaminan. Lalu lahirlah cikal bakal uang kertas seperti sekarang.
(jika dikantong Anda ada 100rb, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercinta ini berhutang 100rb kepada Anda. Jika tidak punya, bersyukurlah karena tidak menambah utang Negara :p)
Surat utang kertas ini dijamin dengan sejumlah emas dan perak. Lalu perbankan mendapat hak hanya menyimpan sebagian kecil emas dan perak atas surat utang ini (IOU). Pemerintah sendiri kemudian terjun dalam bisnis pencetakan uang kertas karena terbukti sangat menguntungkan (dalam moneter ada istilah seigniorage, profit hasil mencetak uang).
Pada mulanya pemerintah menerbitkan uang kertas atas dasar cadangan emas dan perak. Anda bisa menukarkan uang menjadi emas, dan sebaliknya. Satu gram emas pernah dijamin dengan sekitar 35 dollar AS. Inilah yang disebut dengan credit money.
Tapi seiring waktu, dengan berbagai kelemahan, kebutuhan yang berubah, dan penerimaan secara umum atas uang kertas, pemerintah mengganti sistem dari cadangan logam mulia menjadi sistem otorisasi kepada bank sentral untuk menerbitkan sejumlah uang kertas.
Pemerintah mungkin berpikir:
“Hey, mereka sudah tidak mempertanyakan emas dalam setiap uang kertas yang ada! Orang-orang tolol itu bahkan tetap menganggapnya alat pembayaran yang sah dan menjadi sarana penumpuk kekayaan.”
Maka kita memasuki tahap non-convertibility, ketika mata uang nasional menjadi kewajiban dan tidak dapat ditebus dengan emas dan perak dan terbatas di tiap negaranya. Kita hidup dalam sistem ekonomi berbasis credo, kepercayaan (dibaca: kekuasaan) pemerintah. Itulah mengapa rupiah tidak laku dibawa ke Singapura, dan sebaliknya dollar Singapura. Kita harus menukarnya terlebih dahulu di money changer.
Selama perang dunia II, ada kejadian konyol ketika satu gerobak penuh berisi Deutch Mark (mata uang Jerman) dicuri. Uniknya, pencuri hanya mengambil gerobak dan meninggalkan tumpukan uang itu. Menunjukkan makna uang ketika tidak didukung kekuasaan. Tidak ada kepercayaan. Tidak ada kekayaan. Dan ia akan kembali kenilai dasarnya: setumpuk kertas dengan tulisan.
Selama perang dunia II, ada kejadian konyol ketika satu gerobak penuh berisi Deutch Mark (mata uang Jerman) dicuri. Uniknya, pencuri hanya mengambil gerobak dan meninggalkan tumpukan uang itu. Menunjukkan makna uang ketika tidak didukung kekuasaan. Tidak ada kepercayaan. Tidak ada kekayaan. Dan ia akan kembali kenilai dasarnya: setumpuk kertas dengan tulisan.
System ini disebut fiat money. Ditambah system peternakan uang bernama bunga, dan produk-produk derivative spekulatif yang terus berkembang (Riawan Amin menyebutnya satanic finance), ekonomi mengalami pergeseran makna. Dari usaha memenuhi kebutuhan manusia, menjadi usaha menguasai kebutuhan manusia (orang lain).
Maka tidak aneh jika banyak yang menderita akibat kartu kredit. Kreditur tidak lagi prudent dalam memberi kredit karena mengejar pertumbuhan dan insentif bonus, debitur sub-prime (mereka yang tidak layak mendapat kredit) pun menerima saja dikenai biaya bunga yang mencekik asal mendapat dana segar. Klop. Kredit bukan lagi credo berbasis kepercayaan, tapi usaha mengekspoitasi hidup orang lain.
Kita hanya perlu ingat: ketika semua dinilai dengan uang, pada akhirnya kita akan sadar jika manusia tidak dapat memakan uang.
Reperensi:
Saidi, Zaim. 2007. Ilusi Demokrasi. Jakarta: Penerbit Republika
Microsoft Encarta 2009. Microsoft Corporation.
Wah, padahal saya juga mau nulis yang kayak begini, tapi nggak apa deh, ini membantu tulisan saya yang belum selesai2 :P
BalasHapuslo tambahin lah pake data2 teknis
BalasHapustapi uang bisa beli makanan bos kalau orang percaya dengan pemerintah yang mengeluarkan uang... ene saia ga ngerti yak?
BalasHapusiya tante, intinya berbasiskan kepercayaan (kekuasaan) pemerintah.
BalasHapuszzzz... tante"... dasar om"!
BalasHapus