Oleh: Putut Purwandono*
Saya tertarik menulis notes ini setelah membaca tulisan teman gila saya mas Yoga PS di blog Ekonomgila beberapa waktu yang lalu dengan judul Nopirinomics. Singkat cerita (kalau mau cerita yang full silahkan baca tulisannya mas Yoga), Pak Nopirin, professor retired di jurusan Ilmu Ekonomi UGM mengajarkan bagaimana memahami dan menggunakan indikator-indikator ekonomi dalam analisis ekonomi, terutama ekonomi moneter dan makro. Hal ini sangat menarik karena bagaimanapun pekerjaan birokrat baik di pusat maupun daerah atau juga para ahli moneter di BI dan para analis ekonomi profesional memang berkutat dengan masalah berapa sih target indikator ekonomi yang akan dicapai atau yang mungkin dicapai.
Perlu lebih dari sekedar pemahaman ilmu ekonomi yang baik untuk menyusun dan merencanakan capaian atau range target sekelompok indikator ekonomi. Kita perlu pengalaman, pengetahuan tentang BANYAK hal yang bersangkutan dengan indikator tersebut dan yang paling penting adalah informasi dan sense of economy yang kuat. Dua hal terakhir saya rasa vital, terutama data dan informasi. Kita tidak berharap bahwa garbage in, garbage out terjadi dalam pengambilan atau perumusan kebijakan dan implementasinya nanti.
Pak Nopirin juga guru saya dalam matakuliah mikroekonomi, yang mana saya sangat lemah dan low interest dengan bidang ilmu ekonomi dasar ini. Kenapa? karena ilmu ini, paling tidak di level basic-nya memiliki asumsi ceteris paribus yang sangat kaku dan terkadang tidak realistis. Itu menurut sarjana S1 bodoh seperti saya. Saya kira Pak Rimawan setuju tentang hal ini. Asumsi ini sebenarnya juga menjadi semacam jurus maut untuk membuat mahasiswa S1 lain bungkam ketika mengambil matakuliah di jurusan Ilmu Ekonomi, karena memang ilmu yang diberikan baru pada level itu. Jujur, saya tidak paham apa gunanya asumsi itu di kemudian hari. Saya baru sadar ternyata ada gunanya juga asumsi itu, paling tidak untuk ngeyem-yemi (menenangkan) para PERENCANA kebijakan ekonomi.
Saya pernah bekerja di sebuah kantor yang mengkoordinasi perekonomian Indonesia (keren banget to, mengkoordinasi lho). Setiap menjelang akhir tahun, walaupun tidak pernah terlibat secara langsung, saya mendapat apa yang disebut RAPBN dari Kemenkeu, BKF, yang dulu dipimpin Pak Anggito yang terlempar dari kursi wamenkeu karena persekongkolan alumni IPB itu (please, figure it out). Apa isinya? ASUMSI. Pertumbuhan ekonomi sekian persen, inflasi sekian sampai sekian persen, harga minyak (ini yang paling sering meleset tebakannya) sekian US$ per barel, dst. Saya yakin, munculnya angka ini tidak lewat proses konsultansi dengan mbah dukun atau ahli nujum tapi memakai itung-itungan ekonometri njlimet yang belum mungkin saya pahami di level S1. Apapun angka yang muncul, itu masih bersifat ASUMSI, target atau rencana, yang sangat bergantung pada skenario-skenario tertentu, atau bahasa lainnya adalah serangkaian ceteris paribus.
Pada level implementasi, justru asumsi itulah yang harus dicapai, sedangkan target hanyalah outcome dari keberhasilan memenuhi asumsi-asumsi itu. Bodoh sekali saya baru tau kalau asumsi itu memang PERLU! Tanpa asumsi, kita tidak punya rambu-rambu, sama persis dengan apa yang disampaikan pak Nopirin, kita tidak punya indikator capaian untuk melangkah ke depan.
Lalu, apakah sulit menetapkan dan mencapai asumsi itu? Sungguh sulit. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rumitnya kalau harga minyak naik, yang kemudian berdampak pada naiknya beban subsidi, atau lebih parah lagi naiknya harga-harga yang memang berkorelasi kuat dengan harga minyak dunia. Lebih parah lagi kalau kurs ikut-ikutan melemah, lebih parah lagi kalau ternyata impor tidak terlalu elastis dalam merespon perubahan kurs, dst. Sebuah proses yang simultan, mendadak, dan tidak terduga. Untung saya tidak pernah demo menentang harga BBM yang naik, karena saya pasti akan menyesal di kemudian hari karena mencapai asumsi itu bukan pekerjaan mudah. Jangankan mencapai, menetapkan asumsi saja bukan perkara mudah. Bagi saya itu tidak lebih dari sekedar bertaruh, kalau meleset ya bankrut, kalau tepat ya sukur.
Saya ingin cerita tentang pengalaman pibadi saya di sebuah pemerintahan daerah di daerah istimewa. Saya melihat dokumen perencanaan di daerah ini. Saya tau persis, pertumbuhan ekonomi di daerah ini tidak pernah lebih dari 5,12% per tahunnya. Bahkan rata-rata dalam 8 tahun terakhir hanya 4,46%. Wajar saja, kota ini masih punya masalah pengangguran dan kemiskinan yang akut. Namun hebatnya, rencana Bappeda kota ini adalah mencapai pertumbuhan ekonomi 7% di tahun mendatang, atau dengan asumsi ICOR yang sama, butuh lebih dari Rp1,5 trilyun investasi riil. Apapun itung-itungannya, asumsi ini sunggu over pessimistic. Saya tidak tau darimana angka itu muncul. Setau saya, dari data time series yang saya miliki, tidak ada sejarah pertumbuhan ekonomi lebih dari 5,12% per tahun dalam 8 tahun terakhir. Apalagi, kota ini didominasi UMKM yang relatively punya value added yang tidak setinggi dengan sektor industri. Apalagi, pariwisata mereka sedang berbenah lagi. Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah kota ini menjaga agar asumsi yang mereka buat itu tercapai. Saya tidak tau, apakah target itu dibuat realistis atau bombastis. Yang saya tau, data yang tersedia membuat saya ingin menangis. But that’s why I’m there now, to give a little knowledge.
Contoh lain betapa sulitnya menjaga asumsi tetap tercapai adalah contoh pembatasan BBM yang akhrinya tertunda itu. Tim Kajian Pembatasan BBM yang diketuai Pak Anggito telah mengeluarkan beberapa rekomendasi kebijakan. Saya lupa detilnya, tapi yang jelas laporan itu mencantumkan konsekuensi-konsekuensi dari dipertahankannya/dinaikkannya harga BBM beserta langkah-langkah rekomendasi. Tapi tetap saja pemerintah “ngalah” dengan kondisi yang ada bahwa opsi pembatasan BBM belum applicable dalam jangka dekat. Konsekuensinya jelas, beban subsidi BBM membengkak, asumsi APBN tidak tercapai, akibatnya ada indikator lain juga yang terpengaruh, akibatnya DPR siap-siap nyeloteh dalam sidang pariporno.
Itu tadi gambaran cerita nyata saya dan analisis bodoh-bodohan saya. Ternyata tidak gampang jadi pemerintah itu. Tidak gampang menjaga target itu. Tidak semudah nyeloteh di media, facebook, atau demonstrasi di jalan. Karena ada exogenous variable yang luar biasa kekuatannya dan seringkali tidak dapat terdeteksi dengan baik. Well, apabila kita memang satu bangsa, mari kita pahami apa hakikat berbangsa itu. Sekian terima kasih. All iz well
*) Salah satu pemerhati dan penulis kehormatan Ekonom Gila, pernah berkutat dengan sebuah lembaga perekonomian terbesar di Indonesia. Walau pintar, tapi sedikit lucu dan tidak waras.
Terima kasih tulisannya ^^
BalasHapusya, secara teknis ga fasih saia dengan istilahnya, saia setuju asumsi yang didukung dengan argumen/data histori itu penting walaupun meleset ya namanya juga asumsi yang sudah diminimum kemelesetannya tapi tetap kita nggak bisa mengetahui kepastian di masa depan.
woi sing nulis kuwi Aul :p
BalasHapusHahaha, sebenarnya dari awal saya sudah mau ganti nama Yoga PS di atas menjadi Aulia, akan tetapi karena nama Yoga PS sudah terlanjur membaur dengan isi artikel, karena di situ dijelaskan Yoga PS adalah "teman gila", wah gini2 saya masih belum gila mas :P (sedikit aja gilanya)
BalasHapussedikit atau banyak udah gila juga gitu loh... hohoho...
BalasHapus