Oleh: Dyah Restyani
Sebelum memulai tulisan ini, saya minta maaf jika ada pihak-pihak yang merasa tidak setuju, tidak sependapat, dan yang sejenisnya. Ini murni pendapat dan analisis acakadul saya pribadi. Jadi maklum saja jika analisisnya rada aneh dan lompat-lompat kesana kemari. Hahaha.. :D
Oke.. tulisan ini sebenarnya terkait dengan tulisan yang beberapa waktu lalu saya posting, yaitu “Kapital di Setiap Petak Bumi yang Kita Pijak”. Dalam tulisan tersebut, saya mencoba menjelaskan pemikiran De Soto tentang makna capital dari sudut pandang De Soto terhadap kepemilikan lahan.
Di tulisan yang ini, berbicara nyangkut-nyangkut ke kepemilikan juga (dasar posesif! Apa-apa memiliki.. hahaha..).
Pernah atau sering denger istilah lokalisasi? Jawab dalam hati aja. Huehehe.. Ini dia, menurut Wikipedia, lokalisasi adalah istilah yang berkonotasi sebagai tempat penampungan wanita penghibur dan Wanita Tuna Susila (WTS). Entah kapan pertama kali istilah lokalisasi muncul, dan entah dimana lokalisasi pertama yang ada di Indonesia. Tulisan ini tidak untuk membahas hal tersebut. Hehehe..
Bila dikaitkan dengan persoalan milik dan kepemilikan asset suatu negara, lokalisasi adalah salah satu asset sebuah negara. Terkait hal tersebut, terdapat banyak pro kontra adanya lokalisasi di sebuah wilayah. Bagusnya kita bahas sedikit ya tentang pro kontra lokalisasi.
Untuk yang pro, berangggapan bahwa dengan adanya lokalisasi, para WTS akan mudah terdeteksi dan tidak bergerak secara sporadis. Jadi mereka (orang-orang yang pro) bisa membedakan mana tempat yang bebas dari hal-hal berbau prostitusi dan mana tempat yang memang termasuk kawasan prostitusi. Para istri yang bersuamikan pria yang suka jajan juga jadi bisa memperkirakan pasangan mereka tersebut jajan di mana. Atau ada juga yang mengistilahkan “tahu dimana botolnya berada”, seperti dalam istilah “isi botol boleh buat siapa saja, tapi botolnya harus kembali ke si empunya” (prinsip bodoh yang menyesatkan!.. harus dijauhi :-|)
Sementara itu, pihak yang kontra berpendapat bahwa melokalisasi para WTS, itu sama saja dengan melegalkan dan memuluskan jalannya prostitusi. Yang nota bene-nya, bukan sesuatu yang baik.
Terlepas dari baik atau buruk. Standar moral tiap individu kadangkala berbeda antara satu dengan yang lainnya. Meskipun secara universal orang-orang sepakat bahwa prostitusi bukan sesuatu hal yang baik, tapi paradoksnya, orang-orang tidak memiliki pendapat yang universal tentang penyediaan kawasan khusus untuk prostitusi (lokalisasi). Di satu sisi, lokalisasi memang membantu memisahkan antara kawasan yang terkait dengan prostitusi dan kawasan yang tidak terkait prostitusi. Walaupun kita tidak dapat menjamin 100% bahwa di wilayah non lokalisasi (kawasan yang tidak terkait dengan prostitusi) itu pure bebas 100% dari aktivitas seks-seks bebas.
Wow.. sepertinya saya sudah membahas agak OOT dikit. Okey, back to the topic. Menurut De Soto, kapital mati adalah segala sumber daya yang tidak dapat menghasilkan tujuan produktif pada negara, termasuk di dalamnya adalah sektor-sektor yang tidak jelas inventarisasinya. Nah.. karena itu lah kenapa prostitusi dilegalkan dalam sebuah kawasan yang sering disebut lokalisasi, sebab hal itu termasuk upaya inventarisasi sektor-sektor informal (akumulasi aset) yang dianggap dapat mendatangkan nilai tambah bagi wilayah tersebut. Wow.. sekuler banget kan ya?
Padahal sebenarnyaa...peran human capital dalam menggambarkan definisi kapital kan lebih kepada soft skill dan sejenisnya, yang pada intinya potensi yang membuat manusia lebih produktif itu lah yang disebut sebagai kapital. Lho? Jadi para WTS itu nggak produktif? Bukannya mereka juga produktif dalam kacamata mereka? Ya, tapi yang saya maksud produktif di sini yaitu produktif yang benar dan baik sesuai pandangan nilai-nilai kebaikan universal (beuuhhh…berat nih bahasanya :p)
Miskonsepsi
Salah satu miskonsepsi yang terjadi di kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yaitu dalam lokalisasi, para WTS dianggap sebagai human capital, makanya kenapa sebagian pihak setuju dengan adanya kawasan tersebut. Dan dengan dikhususkannya kawasan tersebut, maka pemerintah dapat menarik retribusi dari pemanfaatan asset yang ada tersebut sehingga menambah pendapatan suatu wilayah. Ini jelas-jelas sebuah misskonsepsi. Kenapa? Sebab menurut saya pribadi, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak halal dicampuradukkan dengan sesuatu yang halal? Pantas aja negara ini kian hari kian bobrok (beuuhh.. calm down neng!.. :D)
Come on..jadi apa yang ingin kamu sampaikan dalam tulisan ini??? Hmm.. well.. Hehehe.. Cuma mo sharing aja.. Sharing tentang analisis lokalisasi dikaitkan dengan teorinya De Soto tentang kepemilikan lahan di sebuah wilayah. Dalam sistem kapitalisme memang seperti itu.. apa-apa dikapitalisasi menjadi nilai jual. Kalo di sistem ekonomi Islam gimana? Nah..soal itu ada pakarnya tersendiri. :D
Btw meskipun prostitusi itu sudah ada sejak jaman dahulu kala, bukan berarti harus tetap lestari kan? Seharusnya pemerintah berupaya mengurangi adanya prostitusi.. (aduhhh.. kamu siapa sih ceramahin pemerintah? :p). Saya yakin, di standar moral manapun, prostitusi bukan hal yang baik dan juga bukan hal yang benar, namun kadangkala beberapa manusia mengabaikan standar moral tersebut. Masihkah kita berpegang pada standar moral kita masing-masing? :p Jadi setuju dengan adanya lokalisasi atau nggak? Silakan dijawab sendiri-sendiri dengan akal sehat dan nurani masing-masing. ;)
-*-
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...