Oleh: M Syarif Hidayatullah*)
Diselenggarakannya Konferensi WEF (World Economic Forum) di Jakarta menjadi simbol semakin kuatnya posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global. Dihadiri oleh pebisnis dan pimpinan negara dari berbagai negara, WEF sejatinya dapat menjadi ajang show up kekuatan dan kemajuan ekonomi Indonesia. Pada ajang ini, Indonesia dapat menegaskan posisinya sebagai salah satu negara paling menjanjikan di masa yang akan datang.
WEF tentu tidak datang dengan penilaian kosong terhadap Indonesia. Setiap tahunnya, WEF melansir Global Competitivnes Index (GCI) yang memuat berbagai indeks mengenai daya saing setiap negara. Pada GCI tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-44, naik 10 peringkat dibandingkan tahun 2009. Hal ini tentunya menggembirakan, mengingat peringkat Indonesia di atas negara-negara BRIC (Brazil, Russia, India, China) seperti India (51) , Brazil (58), dan Russia (63).
Secara umum, memang daya saing Indonesia menempati peringkat yang tinggi. Akan tetapi jika dilihat per indikatornya, ada beberapa indikator yang masih menjadi kelemahan mendasar Indonesia, seperti infrastruktur, kualitas pendidikan, dan penguasaan teknologi. Indonesia menempati peringkat 90 dalam hal infrastruktur. Hal ini “dapat dimaklumi” karena pembangunan infrasturktur Indonesia terkenal lambat. Selain itu, peringkat pendidikan dan teknologi Indonesia juga sangat rendah. Pada GCI peringkat pendidikan Indonesia untuk higher education training menempati peringkat 66, sedangkan untuk technological readiness Indonesia terpuruk di peringkat 91. Dapat disimpulkan bahwa menurut WEF, buruknya infrastruktur, kualitas pendidikan, dan lemahnya penguasaan teknologi menjadi permasalahan mendasar bagi Indonesia.
Peluang MP3EI
Saat ini, Indonesia memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI berisikan upaya pemerintah untuk memperbaiki daya saing dan mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Ditargetkan Indonesia menjadi big player perekonomian global pada tahun 2025 dengan GDP/Kapita mencapai US$ 14.500 dan GDP sebesar US$ 4,5 Triliun. Untuk menggapai cita-cita tersebut, MP3EI mencanangkan 3 pilar pembangunan. Pertama pembangunan infrastruktur. Kedua perbaikan regulasi. Ketiga pengembangan IPTEK.
Tiga pilar pembangunan tersebut seperti menjawab “keluhan” WEF terhadap Indonesia. Seperti yang terlansir dalam GCI, infrastruktur, Pendidikan, dan penguasaan IPTEK Indonesia menempati rangking yang cukup rendah. Oleh sebab itu, adanya MP3EI diharapkan mampu menjadi jawaban atas “keluhan” WEF terhadap Indonesia. Dalam hal pembangunan infrastruktur, MP3EI mencanangkan investasi (hingga 2014) sebesar Rp.1700 Trilun. Selain itu, MP3EI juga mencanangkan pengembangan IPTEK sebagai landasan penciptaan daya saing bangsa (knowledge based economy).
2 tantangan MP3EI
Tentu kita berharap MP3EI tidak menjadi pepesan kosong. Impelementasi yang konkrit perlu segera dilakukan. Penulis menilai setidaknya ada dua tantangan yang harus diwaspadai dalam mengimplementasikan MP3EI. Pertama, sulitnya untuk perbaikan regulasi. Kedua, belum jelasnya permasalahan pembebasan lahan yang akhirnya akan menghambat pembangunan infrastruktur.
Pertama, sulitnya melakukan debottlenecking regulasi. Dalam MP3EI, termuat upaya-upaya pemerintah untuk melakukan debottlenecking atas regulasi-regulasi yang selama ini dipandang menghambat. MP3EI menargetkan untuk melakukan debottlenecking terhadap 7 Undang-Undang, 7 Peraturan Pemerintah, 5 Perpes, dan 9 Peraturan Menteri. Untuk melakukan debottlenecking atas regulasi-regulasi tersebut dibutuhkan usaha yang besar. Belum lagi diantara regulasi-regulasi tersebut terdapat regulasi yang dikategorikan “sensitif” dan melibatkan banyak kepentingan.
Beberapa regulasi yang ditargetkan oleh MP3EI untuk direvisi memuat muatan politis yang besar. Sebut saja UU 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan), apakah Pemerintah dan Legislatif cukup berani untuk melakukan revisi pada UU, karena isu ketenagakerjaan adalah isu yang sensitif dan melakukan revisi terhadapnya merupakan kebijakan yang tidak populis. Terlebih lagi dalam MP3EI disebutkan bahwa hal-hal yang akan direvisi adalah seputar outsourcing, kontrak kerja, dan pesangon.
Kedua, menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan. Masalah lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan. Oleh sebab itu, RUU penyediaan lahan untuk kepentingan umum harus segera disahkan. Dengan adanya UU ini, penyediaan lahan untuk infrastruktur akan menjadi lebih cepat, dan tentunya UU diharapkan dapat menjamin kompensasi yang adil bagi pemilik lahan.
WEF mempunyai standar yang tinggi dalam menilai daya saing suatu negara. GCI yang dikeluarkan WEF adalah salah satu parameter yang paling sering digunakan investor untuk menilai kelayakan investasi di suatu negara. Adanya MP3EI bisa menjadi momentum Indonesia untuk menggapai standar WEF tersebut dan memperbaiki daya saing Indonesia. Saat ini mata dunia sedang mengarah ke Indonesia, jika Indonesia dapat memperbaiki diri dengan meningkatkan daya saingnya (perbaikan infrastruktur, regulasi dan IPTEK), maka tidak mustahil apabila target pendapatan perkapita US$ 14.500 (2025) sebagaimana termaktub dalam MP3EI dapat terwujud.
(Tulisan ini dimuat dalam Kolom Opini Koran Bisnis Indonesia, 15/06/2011)
*)Peneliti Mubyarto Institute. Kerja di Menko Perekonomian RI. Calon menteri yang ga bisa posting blog sendiri :p
Diselenggarakannya Konferensi WEF (World Economic Forum) di Jakarta menjadi simbol semakin kuatnya posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global. Dihadiri oleh pebisnis dan pimpinan negara dari berbagai negara, WEF sejatinya dapat menjadi ajang show up kekuatan dan kemajuan ekonomi Indonesia. Pada ajang ini, Indonesia dapat menegaskan posisinya sebagai salah satu negara paling menjanjikan di masa yang akan datang.
WEF tentu tidak datang dengan penilaian kosong terhadap Indonesia. Setiap tahunnya, WEF melansir Global Competitivnes Index (GCI) yang memuat berbagai indeks mengenai daya saing setiap negara. Pada GCI tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-44, naik 10 peringkat dibandingkan tahun 2009. Hal ini tentunya menggembirakan, mengingat peringkat Indonesia di atas negara-negara BRIC (Brazil, Russia, India, China) seperti India (51) , Brazil (58), dan Russia (63).
Secara umum, memang daya saing Indonesia menempati peringkat yang tinggi. Akan tetapi jika dilihat per indikatornya, ada beberapa indikator yang masih menjadi kelemahan mendasar Indonesia, seperti infrastruktur, kualitas pendidikan, dan penguasaan teknologi. Indonesia menempati peringkat 90 dalam hal infrastruktur. Hal ini “dapat dimaklumi” karena pembangunan infrasturktur Indonesia terkenal lambat. Selain itu, peringkat pendidikan dan teknologi Indonesia juga sangat rendah. Pada GCI peringkat pendidikan Indonesia untuk higher education training menempati peringkat 66, sedangkan untuk technological readiness Indonesia terpuruk di peringkat 91. Dapat disimpulkan bahwa menurut WEF, buruknya infrastruktur, kualitas pendidikan, dan lemahnya penguasaan teknologi menjadi permasalahan mendasar bagi Indonesia.
Peluang MP3EI
Saat ini, Indonesia memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI berisikan upaya pemerintah untuk memperbaiki daya saing dan mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Ditargetkan Indonesia menjadi big player perekonomian global pada tahun 2025 dengan GDP/Kapita mencapai US$ 14.500 dan GDP sebesar US$ 4,5 Triliun. Untuk menggapai cita-cita tersebut, MP3EI mencanangkan 3 pilar pembangunan. Pertama pembangunan infrastruktur. Kedua perbaikan regulasi. Ketiga pengembangan IPTEK.
Tiga pilar pembangunan tersebut seperti menjawab “keluhan” WEF terhadap Indonesia. Seperti yang terlansir dalam GCI, infrastruktur, Pendidikan, dan penguasaan IPTEK Indonesia menempati rangking yang cukup rendah. Oleh sebab itu, adanya MP3EI diharapkan mampu menjadi jawaban atas “keluhan” WEF terhadap Indonesia. Dalam hal pembangunan infrastruktur, MP3EI mencanangkan investasi (hingga 2014) sebesar Rp.1700 Trilun. Selain itu, MP3EI juga mencanangkan pengembangan IPTEK sebagai landasan penciptaan daya saing bangsa (knowledge based economy).
2 tantangan MP3EI
Tentu kita berharap MP3EI tidak menjadi pepesan kosong. Impelementasi yang konkrit perlu segera dilakukan. Penulis menilai setidaknya ada dua tantangan yang harus diwaspadai dalam mengimplementasikan MP3EI. Pertama, sulitnya untuk perbaikan regulasi. Kedua, belum jelasnya permasalahan pembebasan lahan yang akhirnya akan menghambat pembangunan infrastruktur.
Pertama, sulitnya melakukan debottlenecking regulasi. Dalam MP3EI, termuat upaya-upaya pemerintah untuk melakukan debottlenecking atas regulasi-regulasi yang selama ini dipandang menghambat. MP3EI menargetkan untuk melakukan debottlenecking terhadap 7 Undang-Undang, 7 Peraturan Pemerintah, 5 Perpes, dan 9 Peraturan Menteri. Untuk melakukan debottlenecking atas regulasi-regulasi tersebut dibutuhkan usaha yang besar. Belum lagi diantara regulasi-regulasi tersebut terdapat regulasi yang dikategorikan “sensitif” dan melibatkan banyak kepentingan.
Beberapa regulasi yang ditargetkan oleh MP3EI untuk direvisi memuat muatan politis yang besar. Sebut saja UU 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan), apakah Pemerintah dan Legislatif cukup berani untuk melakukan revisi pada UU, karena isu ketenagakerjaan adalah isu yang sensitif dan melakukan revisi terhadapnya merupakan kebijakan yang tidak populis. Terlebih lagi dalam MP3EI disebutkan bahwa hal-hal yang akan direvisi adalah seputar outsourcing, kontrak kerja, dan pesangon.
Kedua, menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan. Masalah lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan. Oleh sebab itu, RUU penyediaan lahan untuk kepentingan umum harus segera disahkan. Dengan adanya UU ini, penyediaan lahan untuk infrastruktur akan menjadi lebih cepat, dan tentunya UU diharapkan dapat menjamin kompensasi yang adil bagi pemilik lahan.
WEF mempunyai standar yang tinggi dalam menilai daya saing suatu negara. GCI yang dikeluarkan WEF adalah salah satu parameter yang paling sering digunakan investor untuk menilai kelayakan investasi di suatu negara. Adanya MP3EI bisa menjadi momentum Indonesia untuk menggapai standar WEF tersebut dan memperbaiki daya saing Indonesia. Saat ini mata dunia sedang mengarah ke Indonesia, jika Indonesia dapat memperbaiki diri dengan meningkatkan daya saingnya (perbaikan infrastruktur, regulasi dan IPTEK), maka tidak mustahil apabila target pendapatan perkapita US$ 14.500 (2025) sebagaimana termaktub dalam MP3EI dapat terwujud.
(Tulisan ini dimuat dalam Kolom Opini Koran Bisnis Indonesia, 15/06/2011)
*)Peneliti Mubyarto Institute. Kerja di Menko Perekonomian RI. Calon menteri yang ga bisa posting blog sendiri :p
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...