Selasa, 09 Agustus 2011

Feminisme

Oleh: Romadhani Hasan

Setelah membaca beberapa artikel di blog gila ini, menurut saya artikel yang paling laris dibahas kebanyakan mengangkat isu gender dan cinta. Isu-isu yang rada ga nyambung dengan ekonomi itu lalu dianalisis dengan teori ekonomi. Menarik sekaligus menggelitik, Nah.. dalam rangka ikut trend tersebut, ane berusaha untuk mengangkat isu serupa. Sebelumnya ane mohon maaf kalo ceweks (cewek-cewek) yang ada disini merasa tersinggung.

Asal-usul Feminisme menurut versi resmi
Gerakan feminisme dimulai pada abad ke-19 di Amerika Serikat dengan focus gerakan pada satu isu yaitu untuk mendapatkan hak memilih. Pada saat itu, kaum perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua yang disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak boleh ikut pemilihan umum. Pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Falls, New York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai reaksi terhadap pelarangan pada wanita untuk bicara di depan umum. Pada pertemuan ini ada 4 hal yang menjadi tuntutan para wanita tersebut, yaitu : (1) mengubah Undang-undang perkawinan, yang menjadikan wanita dan hartanya mutlak berada di bawah kekuasaan suaminya, (2) memberi jalan untuk meningkatkan pendidikan wanita, (3) menuntut hak-hak wanita untuk bekerja, dan (4) memberikan hak penuh untuk berpolitik.

Asal-usul feminisme menurut dugaan ane
Gerakan feminisme muncul karena motif ekonomi. Pada zaman ketika para perempuan masih sibuk di dapur dan mengurus anak.. Perusahaan-perusahaan melihat bahwa para perempuan itu adalah potensi yang belum di”berdaya”kan. Potensi ini sangat besar karena kaum perempuan adalah setengah dari populasi manusia. Otak para bisnisman dan ekonom mengatakan “jika yang bekerja cuma laki-laki maka yang menghasilkan duit cuma mereka dan ini tidak cukup untuk memaksimalkan keuntungan”. Disamping itu laki-laki dalam berbelanja juga lebih rasional dan tidak emosional, sehingga advertisement yang dibuat terkadang gagal.
Maka dilakukanlah berbagai propaganda agar perempuan pergi bekerja. Propaganda itu dilakukan sedemikian halusnya sampai perempuan tidak sadar telah dicuci otaknya. Tabir kemunculan feminimisme dimulai ketika pecah perang dunia pertama dan kedua. Waktu itu para lelaki sibuk mengurus perang dan yang bekerja menjalankan roda perekonomian adalah perempuan. Mereka bekerja untuk memproduksi “aksesoris” militer dari makanan kaleng sampai pesawat terbang. Ketika perang usai, kaum perempuan enggan untuk kembali ke rumah mengurus anak. Kondisi demikian menjadi momentum yang paling tepat untuk meluncurkan gerakan feminimisme.

Dalam tahun-tahun awal feminisme. Perekonomian mengalami kemajuan pesat, banyak barang diproduksi (karena perempuan juga ikut dalam angkatan kerja) dan banyak barang dikonsumsi (istilah “perempuan suka shopping” mulai jadi trending topic). Peningkatan produksi dan konsumsi ini sekaligus meng”generate” profit para bisnisman. Feminimisme juga menjadi berkah dan ladang bisnis baru. Barang-barang kewanitaan banyak di”invent” dan diinovasi untuk memenuhi “syahwat shopping” kaum perempuan. Pada intinya semua senang dengan hadirnya feminisme. Bagi bisniman, mereka menjadi semakin kaya, Bagi laki-laki, mereka semakin bergairah keluar rumah karena banyak melihat perempuan cantik berkeliaran di muka bumi. Terlebih lagi bagi perempuan yang merasa terbebas dari kekangan dan jeruji penjara (baca: rumah n dapur)

Tapi apa yang terjadi pada masa sekarang? Perekonomian tidak melaju seperti dulu lagi, Hal ini terjadi karena generasi muda yang menjalankan perekonomian sedikit jumlahnya dan tidak sebanding dengan generasi tua yang kurang produktif. Sebabnya sudah jelas, karena kaum perempuan yang seharusnya melahirkan dan mendidik generasi baru, malah larut dalam euphoria feminisme.

Para ekonom yang dulu menilai feminisme sebagai berkah, sekarang menilainya menjadi musibah. Para ekonom dulu hanya melihat perempuan sebagai potensi yang terpendam untuk menjadi konsumen baru, tetapi tidak melihat bahwa potensi perempuan sebenarnya adalah untuk melahirkan generasi terbaik dalam mengelola kehidupan (termasuk ekonomi) di masa depan. Untuk mengatasi kemunduran ekonomi ini, para ekonom tersebut berubah menjadi “ekonom gila”. Mereka megeluarkan kebijakan “gila” dengan menaikan batas pensiun seseorang menjadi 70 tahun. Ada juga yang mengeluarkan kebijakan “gila” lainnya yaitu memberi insentif dan gaji untuk para perempuan yang mau hamil dan mendidik anak.

Ane cuma bisa tertawa melihat realita sejarah yang terjadi di barat sana, mereka yang dulu menyerukan agar perempuan keluar rumah dan melupakan urusan mendidik anak, sekarang malah menyerukan agar perempuan kembali ke rumah dan kembali mengurus anak. Ane cuma mau bilang “cape deh”

Ane jadi teringat perkataan Julia Delpy dalam film Before Sunrise (1995), dia berkata “mungkin feminisme diciptakan oleh laki-laki supaya mereka bisa bebas berhubungan dengan perempuan yang mana saja” dalam bahasa ekonomi perkataan Julia ini dapat diterjemahkan “perempuan yang dulu adalah barang private (terjadi karena ikatan pernikahan) karena feminisme berubah menjadi barang publik (budaya sex bebas dsb)”

Akhir kata ane cuma mau bersyukur, Alhamdulillah ane dilahirkan ketika ibu ane belum mengenal feminisme. Sehingga ibu ane rela resign dari pekerjaannya untuk mendidik dan membimbing ane. Padahal ibu ane lulusan pondok pesantren terkenal loh.. Alhamdulillah ane ga dididik oleh MTV atau X-Box kayak generasi sekarang.

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...