Kamis, 18 Agustus 2011

Motif Agama


Oleh: Muhammad Nurcholis*)

Saya mempunyai kawan, seorang PNS Kementerian Keuangan, yang bekerja sebagai pemeriksa. Karena jabatannya itu, maka ia berkewajiban untuk mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang merupakan isian tentang Harta dan Kewajiban seorang pejabat untuk dilaporkan ke KPK. Wajar memang, sudah sepantasnyalah para pejabat melaporkan kekayaannya kepada suatu lembaga pengawas supaya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, kegiatan memperkaya diri sendiri atau, sebut saja fraud, dalam penyelenggaraan negara.

Umum diketahui, pengisian LHKPN harus mengungkapkan seluruh harta yang dimiliki oleh penyelenggara negara yang wajib lapor beserta kewajiban-kewajiban yang dimilikinya. Dari manapun asalnya dan apa pun bentuknya, asal milik wajib lapor.

Lalu, marilah kita menengok ke lembar isian kawan saya tadi.

Kawan saya, walaupun saya tidak memeriksa secara detil isi LHKPN-nya, mengungkapkan bahwa ia tidak mempunyai harta yang berarti setelah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai PNS. Cukup aneh, karena teman-teman seangkatannya rata-rata menginvestasikan penghasilannya dalam bentuk harta-harta yang mempunyai nilai cukup besar: tanah, rumah, perhiasan, logam mulia, atau dalam bentuk usaha. Tentu, mereka tidak memperoleh harta itu secara serta merta. Karena sudah kodratnya, PNS adalah sebuah profesi yang erat kaitannya dengan mencicil: kredit. Penghasilan sebagai PNS, meski cukup untuk hidup sehari-hari, tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan papan, kebutuhan tersier secara serta merta. Maka, dengan kredit, semuanya dapat teratasi. Penghasilan tetap mereka sebulan adalah jaminan pelunasan kredit mereka, meski harus dicicil bertahun-tahun—bahkan puluhan tahun. Sungguh membosankan, bukan?

Dan, apakah yang menyebabkan kawan saya tadi belum mempunyai harta? Ya, dia tidak mau mencicil. Sebuah alasan yang saya kira berhubungan dengan suatu prinsip: mencicil, adalah kegiatan mengangsur dengan memberikan bunga di dalamnya, dan bunga—secara ajaran Agama—adalah haram hukumnya, maka mencicil, bagi kawan saya: tidak benar.

Seperti itulah, kawan saya tadi dalam hidup dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya didasari oleh suatu motif ekonomi, yang dapat saya simpulkan sebagai: Motif Agama.

___

Sedikit memberikan definisi, Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Sedang tindakan ekonomi sendiri dapat berarti setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan.

Dari dua definisi di atas, kawan saya telah meletakkan ajaran Agamanya sebagai tujuan dalam memenuhi kebutuhannya yang merupakan pilihan terbaik dan paling menguntungkan.

Menguntungkan? Mari kita bicarakan lebih lanjut.

Dalam dunia ekonomi dikenal dengan istilah: kebutuhan manusia tidak terbatas, namun alat pemuas kebutuhan manusia adalah terbatas. Dan, apa tujuan utama manusia hidup di dunia? Tentu untuk memperoleh kebahagiaan. Secara garis besar, pemenuhan kebutuhan manusia ditujukan untuk dua hal: kepuasan jasmani dan kepuasan rohani. Dalam kasus kawan di atas, agaknya kepuasan rohani telah mengalahkan kepuasan jasmani. Di sini, pemuas kebutuhan yang dicapai berdasarkan dengan prinsip ajaran agama yang ia pegang, telah memberikan kepuasan bagi dirinya. Bila demikian, apa yang harus dicari lagi?
___

Boleh dikatakan, salah satu faktor penyebab kebutuhan manusia tidak terbatas adalah: makin meluasnya lingkungan pergaulan. Semakin seseorang berinteraksi dengan kelompok sosial di luar pergaulannya sekarang, semakin besar jenis kebutuhan yang ia inginkan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang berasal dari desa, akan merasa cukup dengan fasilitas yang ia miliki sebelumnya: handphone monochrome, tas dan sepatu kuliah yang secara ukuran penduduk desa sudah bagus, baju-baju dan kaos seperlunya dan mungkin alat “kosmetik” yang hanya berupa sabun batangan dan odol. Namun, ketika beberapa waktu ia kuliah dan tinggal di kota besar, pergaulannya akan meluas. Ia mulai mempunyai keinginan untuk membeli handphone merk terbaru, sepatu dan kaos keluaran label major atau kosmetik yang tadinya hanya dipakai oleh saudari perempuannya: pencuci wajah dan facial.

Akan tetapi, bagaimana apabila lingkungan pergaulan kita adalah dari jenis kawan saya di atas?

Sangat sedikit barang-barang yang secara manfaat kurang, atau alat pemuas yang hanya berfungsi secara semu: diukur dari kenikmatan dunia semata. Segala alat pemuas kebutuhan dipenuhi dengan pertimbangan keuntungan dari sisi rohani dan tujuan yang lebih jauh dari sekedar kepuasan di dunia.

Barangkali, ini sesuai dengan salah satu hadits:

”Dan perumpamaan teman duduk yang baik itu bagaikan penjual minyak wangi kasturi, jika minyak kasturi itu tidak mengenaimu, maka kamu akan mencium bau wanginya. Dan perumpamaan teman duduk yang jelek adalah seperti tukang pandai besi, jika kamu tidak kena arangnya/percikannya, maka kamu akan terkena asapnya.” (HR Abu Dawud).

Atau dalam hadits lain:

”Agama seseorang itu tergatung teman sepergaulannya, maka melihatlah engkau pada siapa berteman?” (HR at – Tirmidzi)

Spirit ini pula yang dituangkan dalam syair Tombo Ati: “yang ketiga berkumpullah dengan orang shaleh”.

Jadi, kereligiusitasan seseorang berpengaruh terhadap perilaku ekonominya. Dan tentu, kita berharap mempunyai kawan-kawan yang religius. Demikian. Wallahu a’lam.

*)Penulis adalah seorang abdi negara yang jujur dan sholeh di departemen yang ngurusin duit Republik Indonesia :p

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...