Oleh: Putut Purwandono
Sebenarnya saya malu menulis ini karena nilai mikroeknomika saya
hanya B dan C + waktu kuliah dulu. Tapi walau bagaimana pun juga,
tanggung jawab saya (halah) untuk menganalisis omongan para komentator
di tivi-tivi itu tentang hasil reshuffle kemarin. Jumlah kementerian
memang tidak bertambah, tapi jumlah wakil menteri mengalami inflasi
kemudian mereka dengan seenak bibirnya mengadili bahwa SBY tidak
efisien, boros, tersandera politik dst. Yuk, kita analisis pake ilmu
ekonomi.
Kuliah awal Pengantar Mikroekonomi oleh Prof. Nopirin, 7 tahun yang
lalu: Beliau mengajari kami tentang langkanya sumber daya yang ada
sementara kebutuhan kita tidak tak terbatas. Konsekuensi dari itu
adalah kita harus belajar ilmu ekonomi agar bisa mengalokasikan
sumber-sumber daya yang terbatas itu secara efisien sehingga diperoleh
hasil yang paling optimum. Efisiensi selalu bicara input dan output,
tidak ada dikotomi diantaranya. Beliau juga mengajari kami tentang apa
itu Production Possibility Frontiers (PPF) sebagai area produksi yang
mungkin dari kombinasi input yang ada. PPF itu bisa digeser dengan dua
cara, yaitu meningkatkan efisiensi proses pengolahan input sehingga
mampu memproduksi lebih banyak atau menambah input dengan jumlah
tertentu, ceteris paribus. Sebuah konsep sederhana tapi masuk akal.
Pembaca yang berlatar belakang sarjana ekonomi tentu dengan mudah
memahami konsep ini.
Setelah lulus dari pengantar mikroekonomi, masuklah kita ke
pelajaran mikroekonomika I yang lebih tough, sayang dosen saya waktu
itu terlalu pasif ngajarnya, jadi saya cuma dapat B (menyalahkan dosen,
padahal saya memang ga suka pelajaran mikroekonomi). Habis itu, lanjut
kuliah mikroekonomika II, nerakanya mikroekonomi dengan dosen killer
dari berbagai jaman (alm) Prof. Roekmono Markam, dari 40 an mahasiswa,
cuma 2 orang yang mendapat A- dan 3 orang yang mendapat B (kalau ga
salah), sisanya Anda tebak sendiri nilainya. Di kelas pak Roekmono
inilah saya mendengar konsep Marginal Rate of Technical Substitution
(MRTS).
MRTS ini gampangannya begini: Anda adalah seorang produsen tahu
bacem, input Anda adalah tahu, kecap, tenaga kerja dan bumbu-bumbu
lainnya serta beberapa peralatan memasak. Semua input itu wajib ada,
tidak boleh kurang satupun, misal tahunya dihilangkan, maka Anda cuma
jual bacem kecap atau bacem wajan, dst. Ada kalanya input2 itu
mengalami kenaikan harga atau kelangkaan pasokan yang kemudian
memengaruhi produktifitas usaha tahu bacem Anda. Nah, tugas Anda
sebagai produsen hanyalah mengkombinasi input-input yang ada sedemikian
rupa sehingga produk tahu bacem Anda seoptimum mungkin sehingga
keuntungannya pun optimum. Nah, kombinasi-kombinasi input itulah yang
menjadi concern konsep MRTS itu, ilmu mengalokasikan input. Boleh jadi
input A ditambah sementara input B dikurangi untuk menghasilkan produk
dengan kualitas dan kuantitas yang sama (isoquant) dengan biaya
produksi yang sama (isocost). Atau alternatif lainnya yang
memungkinkan.
Nah, pertanyaannya adalah: Apakah komentar para pengamat politik
tentang inefisiensi SBY dalam penambahan pos wakil menteri itu tepat
dari sudut pandang ilmu ekonomi? Menambah wakil menteri bisa
dianalogikan sebagai menambah input, baik dari sisi SDM dan juga
anggaran. Tapi, kalau bicara efisien atau tidak, kita baru bisa
menilainya nanti di akhir masa jabatan mereka karena output dari
penggunaan input tersebut baru bisa diketahui pada periode t+n, bukan
pada t0 yaitu saat ini. Bodoh saja mereka yang mengatakan bahwa
penambahan wakil menteri itu tidak efisien wong outputnya saja belum
keliatan (tercapainya program dan indikator2 capaian program-program
kementerian). Tapi, kalau mereka bilang penambahan wakil menteri itu
menambah biaya/anggaran itu sangat tepat. Saya kok yakin ya, pos
anggaran penambahan wakil menteri itu sudah ada, tinggal digunakan saja,
jadi bukan dengan cara ngredit dulu tetapi memang sudah ada uangnya
(wallahualam).
Nah, kemudian, pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah benar SBY
tersandera politik? Menurut pengamatan saya, ada berbagai input dalam
proses pembangunan di negara ini dalam lingkup kementerian negara:
teknokratik, birokratik, politik dan anggaran. Jadi, dalam menjalankan
program kementerian pasti akan melibatkan para teknokrat, para
birokrat, para politisi dan para pengguna dan penguasa anggaran. Tidak
mungkin salah satunya hilang dalam proses pembangunan. Ini keniscayaan.
Presiden itu produk politik, pembahasan dan penetapan APBN itu produk
politik dan birokratik, dst. Pemilihan menteri dan wakil menteri itu
juga produk politik dan birokratik. Itulah input-input yang ada. Tugas
SBY tentunya adalah mengkombinasikan input-input itu dalam skema
terbaik untuk menghasilkan ouput yang paling optimum. Tentu saja,
penambahan input merupakan upaya untuk mendorong keluar garis PPF itu
sehingga produksi (pembangunan) bisa lebih terakselerasi. Itu alasan
logisnya. Alasan lain, mungkin, adalah bahwa kombinasi sebelum reshuffle
itu tidak mampu mencapai garis maksimum PPF yang dulu sudah
ditargetkan.
Tentu saja, waktu 5 tahun adalah waktu yang sangat pendek dalam
proses produksi pembangunan. Perlu akselerasi, perlu lebih banyak
sumber daya. Kita tidak dapat menafikan proses politik, proses
birokratik, teknokratisme dan anggaran yang merupakan input-input
pembangunan. Yang terpenting adalah bagaimana kita, sebagai bangsa,
mampu terlibat dalam proses pembangunan sehingga kombinas-kombinasi yang
sudah disusun SBY itu tidak sia-sia dan efisien serta efektif dalam
mencapai sasaran pembangunan. SBY sudah menambah investasinya dengan
wakil menteri baru, berarti ROI nya juga harus tinggi. Kita lihat saja
di 2014 nanti, apakah ROI nya benar2 tercapai?
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...