Minggu, 23 Oktober 2011

Kerja! Kerja! Kerja!

Oleh: Yoga PS

Akhirnya selesai juga. Audisi “SBY Idol” yang menyita perhatian public, telah berakhir. Ada menteri yang lengser, ada yang masuk. Kocok ulang komposisi cabinet yang membuat jumlah wakil menteri makin membengkak. Saya tidak ingin berbicara politik reshuffle, biarlah menjadi urusan Presiden dengan Tuhan. Saya hanya ingin mengucapkan selamat kepada CEO favorit saya yang akhirnya masuk ke jajaran birokrasi: Dahlan Iskan.

Ya, Dahlan Iskan adalah CEO favorit saya! Ada banyak alasan yang membuat saya kagum. Selain dari kemampuannya membesarkan Jawa Pos group. Dari sebuah Koran kecil yang hampir bangkrut di daerah Kembang Jepun menjadi holding company dengan 200 anak perusahaan yang menyaingi Kompas Gramedia.

Juga spirit “intrapreneurship” yang telah ia praktikkan dengan terus memberikan inovasi dan breakthrough dalam setiap perusahaan yang dipimpinnya. Terbukti PLN yang selama bertahun-tahun menjadi Perusahaan Lilin Negara mampu membalikkan keadaan dan menjadi power house energy negara.

Tapi yang membuat saya terkagum-kagum adalah “modal utamanya” selama ini. Kemampuan dasar yang didapat dari profesi awalnya sebagai seorang wartawan. Skill yang menurut saya sangat basic dan fundamental, tapi terbukti mampu menjadi dasar kesuksesan seorang Dahlan Iskan. Apa itu? Kemampuannya menulis! Tulisan-tulisannya! Saya selalu ngefans dengan tulisan beliau.

Lantas, apa hubungannya menulis dengan kunci sukses menjadi direktur dan kemudian menjadi menteri?

Berpikir dan Berkomunikasi Sederhana

Andai Dahlan Iskan tidak menulis. Ia tidak akan menjadi wartawan di koran Mimbar Masyarakat di Kalimantan Timur. Ia tidak akan mengikuti kursus jurnalistik di LP3ES. Ia tidak akan magang di TEMPO, bergabung dengan TEMPO sebagai kontributor lepas tanpa gaji, tak akan naik menjadi koresponden, tak akan diangkat sebagai kepala biro TEMPO Surabaya.

Jika Dahlan Iskan tidak menulis. Ia tidak akan berkenalan dengan Eric Samola, direktur utama PT Grafiti Press. Tidak akan mengantar direksi TEMPO untuk bernegosiasi dengan The Shung Chen, pemilik Jawa Pos yang lama. Dan tidak akan mendapat pertanyaan dari Bayu Santoso, pengusaha pemadam kebakaran yang menjadi broker proses akusisi Jawa Pos:

“Jika Anda memimpin sebuah Koran harian, akankah mampu menyaingi Surabaya Post?”

Dua hal yang saya kagumi dari tulisan-tulisan Dahlan Iskan adalah: kemampuannya berpikir dan berkomunikasi secara sederhana. Dua kunci esensial yang dikombinasikan dengan kerja keras, inovasi, dan semangat entrepreneurship tingkat tinggi. Anda saya jamin tidak akan pernah pusing-pusing dan bingung membaca tulisan dia. Tidak ada istilah teknis yang tidak bisa dijelaskan oleh Dahlan. Logika berpikirnya tidak pernah ribet. Semua permasalahan bisa dijabarkan dengan sederhana dan penuh contoh nyata.

Seperti ketika ia menjelaskan penyakit “salah makan” yang menimpa pembangkit tenaga listrik PLN. Tulisan yang ia tulis sebelum menjadi Dirut perusahaan setrum nasional itu. Ternyata, banyak pembangkit tenaga listrik yang seharusnya diberi “makan” gas, tapi karena kurangnya pasokan, dipaksa “ngemil” solar. Tentu terjadi inefisiensi dan pemborosan.

Dahlan Iskan mampu mendiagnosa permasalahan menjadi sederhana, menjelaskan dengan sederhana, memberikan alternative solusi secara sederhana, menjelaskan plus minus setiap solusi, dan menjabarkan logika berpikir sederhana tentang keuntungan penghematan yang bisa dilakukan jika kasus “salah makan” bisa diatasi. Semuanya sangat sederhana.

Setelah menjadi “tukang setrum”, Dahlan masih rajin menulis tajuk bagi intern PLN. Berjudul “CEO Notes”. Untungnya, “CEO notes” ini sering dipublikasikan juga di korannya sendiri, Jawa Pos. Dengan membaca “CEO notes” Dahlan, kita sebagai masyarakat umum yang benar-benar bego soal listrik diajak menyelami permasalahan-permasalahan yang ada di PLN. Termasuk proses pengambilan keputusan yang bersifat strategis. Gampangannya, kita seperti diajak untuk ikut “memikirkan” PLN.

Ada banyak direktur dan CEO hebat di negeri ini, tapi kemampuan Dahlan Iskan dalam menulis membuatnya berbeda. Dia mampu menciptakan positive campaign tentang kinerja PLN. Apa saja targetnya, apa yang telah dilakukan, kendala apa yang masih menghadang, dan pe-er apa yang masih menghalang. Bagi saya seorang pemuda yang baru berusia sepertiga umur Dahlan Iskan dan bercita-cita menjadi pengusaha, tulisan-tulisan beliau adalah “kursus berpikir” logika CEO. Sesuatu yang saya yakini, akan sangat bermanfaat di masa depan.

Manfaat Menulis

Kebiasaan menulis yang dilakukan Dahlan Iskan membuat saya semakin yakin jika menulis adalah hobby yang luar biasa berguna. Menulis melatih kita berpikir logis, terstruktur, dan memaksa kita melakukan penyederhanaan terhadap masalah yang sifatnya strategis.

Anda tahu penyakit orang pintar? Mereka ingin terlihat dan dianggap pintar. Mulailah mereka memberikan program kerja dengan jargon-jargon aneh. Bahasa asing. Model-model rumit. dan bahasa langit yang berbusa-busa. Orang pintar yang tidak terbiasa menulis seringkali akan terkagum-kagum dengan kepintarannya sendiri dan menciptakan pemikiran sangat pintar sehingga sulit dimengerti oleh orang lain.

Dengan menulis, kita akan dipaksa “memintarkan orang lain” dengan berkomunikasi secara sederhana, efektif, dan efisien. Apa inti permasalahan yang perlu disampaikan, bagaimana menyampaikannya, dan bagaimana melakukan persuasi agar solusi yang kita tawarkan dapat diterima orang lain, hanyalah sebagain kecil manfaat dari kebiasaan menulis.

Dahlan Iskan juga bukannya manusia tanpa salah. Dia sendiri mengakui membutuhkan “ongkos sekolah bisnis” hingga 50 Milyar. Angka kerugian yang pernah dideritanya selama memimpin Jawa Pos group. Tapi tentu saja, ongkos sekolah itu “dibayar” dengan keuntungan berlipat-lipat dari manuver bisnisnya yang lain.

Mengenai kisah suksesnya, ia berpesan:

..Tapi saya berkeyakinan bahwa cerita sukses masa lalu hanya akan membuat orang terlalu mengagungkan masa lalu…. Terlena untuk memikirkan masa depan… menurut saya, yang demikian itu sangat berbahaya. Berbahaya bagi generasi penerus juga berbahaya bagi kejiwaan orang itu sendiri.

Saya percaya setiap generasi memiliki zamannya sendiri. Dan setiap zaman mempunyai generasinya sendiri. Apa yang di masa lalu sukses saya lakukan, belum tentu bisa sukses untuk dilaksanakan sekarang. Bahkan saya bisa memastikannya: mustahil. Zamannya sudah berbeda, pasarnya sudah berbeda dan pelakunya sudah berbeda. Berarti tantangan dan peluangnya juga sudah berbeda. Yang diperlukan generasi baru bukanlah warisan kisah-kisah sukses masa lalu. Melainkan kepercayaan untuk menerima tanggung jawab…”

Yang kita butuhkan sekarang adalah moto pribadi seorang Dahlan Iskan:

Jauhi Politik! Kerja! Kerja! Kerja!

Selamat bekerja Pak Menteri!

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 Komentar:

  1. :) jadi jargon kantorku... BEKERJA! BEKERJA!BEKERJA!
    Go PLN GO!!!! :)

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...