Oleh: M. Syarif H
Sebagai suatu desain perencanaan pembangunan, MP3EI patut diacungi jempol. MP3EI berhasil mengidentifikasi kebutuhan debottlenecking regulasi dan konektivitas di 6 Koridor Ekonomi dan memasukkan unsur SDM dan IPTEK sebagai enabler pembangunan ekonomi, suatu hal yang belum pernah dilakukan dalam perencanaan pemerintah.
MP3EI
tidak lepas dari kekurangan. Banyak kritik yang ditunjukkan kepada
masterplan ini. Kritik terbesar bersumber dari pemetaan potensi dan
kebutuhan daerah. Penulis mencatat tiga anomali pada masterplan ini.
Pertama, terkait visi “perluasan”. Kedua, indikasi investasi Koridor
Ekonomi Sulawesi. Ketiga, Indikasi investasi koridor Bali-NT.
Tiga Anomali MP3EI
Sesuai
dengan namanya, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia, MP3EI berupaya mempercepat proses pembangunan sekaligus
memperluas manfaat pembangunan Indonesia. Dalam hal percepatan, desain
MP3EI memang sudah mendukung. Adanya upaya debottlenecking regulasi
dan konektivitas dapat menopang usaha pemerintah untuk memperbaiki
iklim investasi. Tapi bagaimana dengan visi “perluasan”. Apakah MP3EI
sudah cukup untuk memperluas pembangunan ekonomi.
Jika
dilihat dari nilai indikasi investasinya (2011-2014), MP3EI belum cukup
menggambarkan bagaimana perluasan pembangunan itu bisa terwujud. 74%
dari nilai indikasi investasi 2011-2014 berlokasi di Koridor Ekonomi
Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Sedangkan tiga koridor lainnya
(Sulawesi, Bali-NT, dan Papua-Kep.Maluku) hanya sebesar 26%. Hal ini
yang menjadi pertanyaan, bagaimana MP3EI mampu mengangkat pembangunan
ekonomi di wilayah timur Indonesia apabila nilai investasi masih
menumpuk di wilayah barat.
Mungkin saja, penyebab
rendahnya indikasi investasi di tiga koridor ekonomi tersebut disebabkan
rendahnya daya saing, sehingga hanya ada sedikit investor yang
terindikasi mau berinvestasi disana. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
untuk meningkatkan daya saing percepatan pembangunan infrastruktur
mutlak diperlukan. Sedangkan indikasi investasi infrastruktur di tiga
koridor ekonomi tersebut hanya sebesar Rp.275 Triliun, padahal total
indikasi investasi di keseluruhan koridor mencapai Rp.1700 Triliun.
Anomali
kedua terdapat pada perencanaan pembangunan Koridor Ekonomi Sulawesi.
Seperti yang tertulis pada MP3EI, Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki
tema pembangunan “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas, dan Pertambangan Nasional”.
Akan tetapi, dari Rp.69 Triliun indikasi investasi infrastruktur, Rp.34
Triliun diantaranya adalah pembangunan infrastruktur telematika (49%),
yang kurang relevan dengan tema koridor. Justru pembangunan
infrastruktur yang dapat menunjang sektor pertanian seperti
infrastruktur utilitas air hanya mendapat “jatah” Rp.0,1 triliun
(0,14%). Selain itu, pembangunan jalan dan pelabuhan yang merupakan
infrastruktur inti dalam menciptakan konektivitas, masing-masing hanya
sebesar Rp.5 Triliun (7,24%) dan Rp.6 Triliun (8,6%).
Anomali serupa juga terjadi pada pembangunan koridor ekonomi Bali-NT. Tema pembangunan koridor Bali-NT adalah Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional.
Tipikal umum dari Koridor Bali-NT adalah kepulauan, sehingga sarana
transportasi yang paling tepat adalah melalui transportasi laut. Akan
tetapi, pada indikasi investasi untuk pembangunan infrastruktur
pelabuhan hanya sebesar Rp.0,1 Triliun. Investasi infrastruktur justru
terpusat pada pembangunan jalan (Rp.19 Triliun) dan rel kereta api (Rp.
12 trilun) yang kurang sesuai dengan karakter kepulauan Koridor Bali-NT.
Selain itu, Koridor Bali-NT seharusnya mengembangkan infrastruktur
utilitas air nya, karena posisinya sebagai pendukung pangan nasional
dengan kegiatan ekonomi utamanya adalah Peternakan (membutuhkan sumber
daya air yang besar). Indikasi investasi untuk pembangunan infrastruktur
utilitas air hanya sebesar Rp. 1 Triliun (2,2%).
Anomali-anomali tersebut adalah tantangan besar untuk pelaksanaan MP3EI. MP3EI adalah living document, sehingga apa yang tertulis didalamnya dapat senantiasa di update dan diperbaiki. Kekurangan yang terdapat di MP3EI merupakan kelemahan dasar dalam merancang kebijakan, yaitu asymmetric information.
Ketidaksempurnaan informasi membuat sulit untuk memetakan
potensi-potensi dari setiap daerahnya. Dengan wilayah yang terbentang
luas, dan terdiri atas 500 Kabupaten/Kota dan 33 Provinsi, wajar apabila
pemetaan potensi daerah tidak bisa dilakukan dengan sempurna.
Menjadi
tugas pemerintah untuk terus memperbaiki masterplan ini dengan
menyesuaikan dengan potensi dan kebutuhan setiap daerahnya. Evaluasi
bisa dilakukan oleh pemerintah dengan lebih melibatkan pemerintah daerah
tingkat I dan II dalam menyempurnakan MP3EI.
Presiden
menjanjikan akan mendirikan komite khusus untuk mengawal implementasi
MP3EI. Komite tersebut harus terus melakukan pemantauan dan evaluasi
terhadap substansi masterplan. Pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan
dengan mendirikan komite tingkat daerah untuk melakukan penyerapan
aspirasi, sehingga pemetaan potensi daerah dapat dilakukan dengan baik
serta memperkecil asymmetric information. Dengan adanya
upaya-upaya tersebut, diharapkan kedepannya MP3EI dapat menjadi rencana
yang matang dan dapat mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi
Indonesia.
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...