Oleh: Syarif Hidayatullah
Taksi adalah salah moda
transportasi yang cukup beken di Ibukota Jakarta. Mengingat kerasnya
kehidupan bus kota, rawan kejahatannya angkutan kota, dan panas terik
yang menghujam setiap harinya, menggunakan moda taksi menjadi alternatif
yang cukup menguras isi dompet. Besarnya demand inilah yang akhirnya
memancing munculnya berbagai perusahaan taksi, dari yang paling beken
semacam Blue Bird Group dan Express, hingga taksi abal-abal. Yang jadi
pertanyaan adalah, seberapa untung sih bisnis taksi itu, hingga
menjamurnya perusahaan taksi. Penulis akan mencoba membahas fenomena
ini. Data penulis dapatkan setelah melakukan obrol-obrol dengan supir
taksi salah satu perusahaan taksi terbesar di negara ini.
Menjadi Sopir
Apa untungnya menjadi supir taksi. Hal ini yang kerap penulis
pertanyakan, hingga akhirnya, obrol-obrol ringan dengan seorang supir
taksi membuka wacana penulis tentang kehidupan supir taksi. Supir taksi
tersebut mengaku, bahwa sistem yang dipakai ditempatnya adalah sistem
“setoran”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Gila), Sistem setoran
adalah bagi hasil antara pemilik perusahaan kendaraan dengan supir
dimana sang supir harus memberikan nominal tertentu setiap harinya
sebagai biaya “sewa” kendaraan. Supir taksi itu menuturkan, di
perusahaan taksinya, sistem yang dipakai adalah sistem kredit. Dimana,
uang di setor setiap harinya menjadi bagian dari kredit mobil yang dia
bawa. Setelah 6 tahun, maka mobil tersebut bisa menjadi milik sang
sopir.
Dikarenakan sistem kredit tersebut, sang sopir harus membayar Rp. 275
ribu setiap harinya. Biaya ini dijabarkan menjadi Rp.5 ribu untuk
asuransi kesehatan dan kecelakan, Rp.45 Ribu biaya bengkel, dan Rp.225
Ribu untuk biaya sewa/kredit. Selain itu, sang supir juga harus
menanggung penuh biaya bensinnya. Dengan melihat besarnya setoran setiap
harinya, wajar apabila banyak supir yang oportunis dengan menunggu
penumpang pada titik tertentu agar menghemat biaya bensin, suatu
strategi yang logis tentunya.
Dengan nilai setoran yang cukup besar tersebut, sang sopir mengaku
masih mendapat keuntungan Rp.75 ribu-Rp.125 Ribu setiap harinya. Jika
kita ambil rata-rata pendapatannya setiap hari adalah Rp.100 Ribu, maka
setiap bulannya (jika bekerja setiap hari) maka sang supir akan menerima
Rp. 3 Juta/bulan. Angka ini sebenarnya bisa ditambahkan dengan
ekpekstasi pendapatan yang akan didapat setelah 6 tahun (mobil sudah
menjadi hak milik). Harga mobil setelah 6 tahun sekitar Rp.60 juta. Rp.
60 juta dibagi dengan 72 bulan, maka setiap bulannya adalah Rp. 830
Ribu. Berarti besar pendapatan seorang supir taksi setiap bulannya
setaraf dengan Rp.3,8 Juta.
Lalu, bagaimana dengan pengusaha taksinya
Tentunya, pengusaha taksi adalah pihak yang menerima keuntungan
terbesar dari bisnis ini. Untuk setiap unitnya, mereka menarik biaya
sewa sebesar Rp.225 Ribu, maka setiap bulannya mereka mendapatkan
Rp.6,75 juta. Jika dikalikan dengan 72 bulan (6 tahun) maka menjadi
Rp.486 Juta. Harga dari Toyota Vios (atau Limo, yang umum dijadikan
mobil taksi) adalah Rp.225 juta. Maka, untuk setiap mobilnya, sang
pengusaha mendapat keuntungan kurang lebih Rp.261 Juta, dua kali lipat
dari harga awal. Angka ini sebenarnya bisa menjadi lebih besar, karena
ketika pembelian dilakukan dalam unit yang besar, pastinya akan ada
potongan harga dari pabrikan kendaraan bermotor.
Sang pengusaha juga nampaknya pintar dalam “memanjakkan” supirnya.
Untuk menjamin kesehatan supirnya, setiap harinya supir harus membayar
asuransi kesehatan dan kecelakan sebesar Rp. 5000. Berarti per bulannya
akan terakumulasi hingga Rp.150.000. Dengan jumlah ini, maka setiap
supir bisa menerima asuransi kesehatan Plan-D dari PT. Sinar Mas (yang
premi nya sebesar Rp.147.000). Berarti, wajar apabila perusahaan dapat
memanjakan supir-supirnya dengan pelayanan kesehatan yang baik.
Selain itu, perusahaan juga sukses “membuang” biaya pemeliharaan dan
perbaikan mobil, dengan membebankan biaya itu kepada supir sebesar Rp.45
Ribu setiap harinya. Hingga, dapat disimpulkan bahwa perusahaan
mendapatkan keuntungan yang besar, dengan resiko yang ditekan dalam
tingkat yang sangat kecil.
Dengan segala keuntungan seperti itu, maka wajar apabila semakin hari
semakin banyak perusahaan taksi yang bermunculan di Jakarta. Sekian
reportase singkat dari saya. Reportase ini merupakan kesimpulan dari
bincang-bincang penulis dengan supir taksi selama perjalanan. Semoga
bermanfaat……
Hmm...jadi begitu toh.informasi yang sangat bermanfaat.
BalasHapustrus bang,saya pernah denger nih temen saya ditawarin untuk berinvestasi sebesar 5 juta rupiah kepada supir taksi untuk kemudian 6 tahun setelahnya,taksi nya menjadi milik kita.bener adanya gak tuh?mohon pencerahannya
referensi yg menarik, kebetulan t4 kerja saya lagi buat bussiness plan untuk Taksi
BalasHapussalam