Oleh: Putut Purwandono
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu yang lalu, Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa
FOKE – atau kalau orang Sunda memanggilnya POKE, orang Jepang bisa jadi
memanggilnya POKEMON – melontarkan sebuah statement atas
maraknya tindak pemerkosaan di Jakarta akhir-akhir ini. Beliau
memberikan saran agar wanita lebih mampu menjaga dirinya dengan tidak
memakai rok mini yang mampu mengundang hasrat kaum lelaki bejat untuk
memperkosanya. Kontan saja, para short-skirt user
panas nih.
Mereka demo di bundaran HI dengan menggunakan rok mini – yang
harganya mungkin bisa sama dengan Galaxy Mini untuk beberapa merk
terkenal – yang pada intinya menyebut bahwa FOKE terlalu diskriminatif
dengan hanya menyalahkan faktor rok mini sebagai biang terjadinya
kekerasan seksual (sexual assault). Para pendemo yang tentunya
akan sangat mengundang para pria normal mendatanginya – terbukti dari
foto-foto dari angle yang menarik terpampang di media – ingin agar
pemerintah tegas menindak para pemerkosa & memberikan perlindungan
yang lebih kepada para wanita malam dan wanita yang pulangnya malam,
alih-alih hanya mendikriditkan fashion style yang bernama rokmini (saya sambung biar mirip nama orang).
Tindak perkosaan pada umumnya melibatkan pria dan wanita dewasa. Pada
kasus lainnya, pria dengan pria (sodomi misalnya). Pada kasus lainnya
adalah pria/wanita dewasa kepada pria/wanita di bawah umur (pedofilia).
Bahkan dalam kasus gila lainnya, pria terhadap wanita yang sudah tidak
hidup lagi (mayat). Jadi, ada banyak motif & orientasi seksual dalam
kasus perkosaan. Ahli kejiwaan dapat menjelaskannya secara lebih
gamblang. Saya ingin membahas kasus normal saja, pria memperkosa wanita.
Manusia diciptakan oleh Tuhan dalam ujud pria & wanita. Itu
sunatullah-nya. Pria normal tertarik dengan wanita, dan sebaliknya.
Sifat alami keduanya sebagai manusia adalah bisa munculnya hawa nafsu
seksual ketika melihat lawan jenis. Ada yang melihat paha mulus bisa
langsung terangsang, ada yang melihat pantat bergoyang langsung
terangsang, ada yang melihat bibir sexy jadi ingin mencicipi, dst.
Itulah nature of human (men). Ada pihak yang dilarang melakukan
hubungan sex, biksu Buddha misalnya. Tapi itu adalah
paksaan/pengekangan terhadap hawa nafsu. Islam dan agama lain saya kira
memperbolehkan dengan syarat harus bisa dikendalikan, bukan dikekang.
Jadi, penganut Buddha non-biksu (sepengetahuan saya) boleh berhubungan
sexual. Inilah sifat alamiah makhluk yang memiliki nafsu.
Pernikahan yang dilanjutkan hubungan suami istri adalah bentuk
transaksi seksual antara dua belah pihak yang secara sukarela dan sah
secara agama dan hukum melakukan perbuatan itu. Kumpul kebo adalah
transaksi seksual sukarela tapi tidak sah secara agama dan hukum.
Perkosaan adalah transaksi seksual secara paksa dan tentu saja tidak sah
secara hukum. Ketiga kasus tersebut sama-sama memiliki kejadian
transaksi, ada yang sukarela ada yang tidak, ada yang sah, ada yang
tidak. Transaksi sukarela berarti keduanya berperan ganda sebagai
supplier & demander. Transaksi paksa adalah si pria sebagai demander
& wanita adalah supplier pasif. Mengapa supplier pasif? Pertama,
secara natural wanita adalah apa yang diinginkan pria. Wanita berjilbab
memiliki kemungkinan untuk diperkosa, wanita ber rok mini lebih mudah
diperkosa, wanita berbikini sangat mudah diperkosa, wanita tanpa busana
adalah yang paling mudah diperkosa.Maaf, ini bahasa yang to the point. Maafkan kelancangan saya para wanita. Tapi itulah nature
seorang pria dan wanita. Ketika mereka secara tidak sengaja/tidak
berniat memamerkan apa yang diinginkan pria, maka sejatinya mereka
adalah supplier pasif. Kuat tidaknya hasrat si pemerkosa adalah fungsi
dari nafsu mereka, kesempatan yang ada dan ketersediaan supply atau
kualitas supply. Inilah nature. Jadi penting sekali di awal pembahasan
ini untuk memahami diri kita sebagai manusia yang punya akal sekaligus
nafsu. Keduanya bisa merusak ketika tidak dikendalikan, tapi juga bisa
membangun ketika digunakan secara tepat.
B. Rumusan & Batasan MasalahKita di sini sedang membicarakan topik maraknya pemerkosaan yang
diikuti dengan statement bang Foke dan demo para pengguna rok mini atas
pernyataan bang Foke tentang masukan atas terjadinya kasus pemerkosaan.
Bicara pemerkosaan dan juga kejahatan lainnya memang bukan pembicaraan
yang ringan. Saya sudah mengawali diskusi ini di wall FB saya, dan pro
& cont banyak sekali. Ada banyak sudut pandang yang bisa dianalisis,
mulai dari public policy, psikologi, budaya dan bahkan yang
lebih sensitif lagi adalah dari sudut pandang agama. Saya ingin mencoba
menganalisisnya dari skema supply & demand. Enam tahun
bergaul dengan professor di bidang ekonomi anyar (new institutional
economics) membuat saya berpikir bahwa analisis supply-demand bisa
digunakan di banyak hal, karena sepanjang itu menyangkut kegiatan
transaksi/interaksi dari 2 atau lebih pihak atau lebih, baik itu yang
sukarela ataupun dipaksakan, maka hukum supply-demand bisa berlaku
dengan pengkhususan dalam setiap kasusnya.
Apa yang ingin saya bahas dalam kerangka supply-demand (selanjutnya
saya singkat saja SDA, atau supply-demand analysis) adalah tentang
kebijakan publik Bang Foke, reaksi demonstran & tindakan pemerkosaan
yang terjadi.
Sebelum saya melangkah, apa yang saya tuliskan adalah usaha terbaik
saya untuk objektif. Adapun kesan diskriminatif atau tidak, tergantung
dari sudut pandang pembaca. Saya bukan ahli agama, ahli moral, ahli
budaya, pengamat mode, ahli psikologi apalagi ahli kriminologi. Saya
pure menulis sebagai seorang pengamat ekonomi dan sekaligus sebagai
seorang birokrat muda yang masih lugu.
C. Alat AnalisisSupply dalam kasus ini adalah supply dari seorang wanita yang
secara tidak sadar dilakukannya dengan mempertontonkan sebagian tubuhnya
yang menarik nafsu seksual lawan jenisnya. Demand di sini adalah motif
ingin melakukan hubungan seksual secara paksa kepada lawan jenisnya.
Dalam analisis SDA normal, variabel yang berinteraksi adalah kuantitas
dan harga yang menentukan berapa jumlah & harga keseimbangan setelah
melalui proses transaksi demand & supply. Ada pasar yang
mempertemukan keduanya.
Namun dalam demikian, dalam kasus perkosaan, tentu saja kita tidak
bicara harga. Tapi lebih tepat apabila kita menggantinya dengan nilai
dari apa yang nantinya ditransaksikan secara paksa. Dari sisi supply,
yaitu bagian tubuh wanita yang dipamerkan (sengaja atau tidak sengaja),
kurvanya berbentuk flat. Kurva demand for raping berbentuk
seperti kurva demand biasa. Untuk nilai supply berapapun, demand selalu
ada dengan kuantitas tak terhingga. Ketika kurva supply diturunkan,
berarti “nilai” bagian tubuh yang dipamerkan sejatinya semakin rendah, ceteris paribus,
potensi angka perkosaan akan semakin tinggi. Makin terbuka aurat
seorang wanita, makin rendah nilainya di mata para pemerkosa. Well, ini
dalil-dalilan yang saya buat tanpa pikir panjang, kalau ada saran dan
kritik silahkan disempurnakan teori baru saya ini.
D. Analisis Masalah
D.1. Incomplete Public Policy
Bang Foke, sebagai seorang policy maker berpendapat bahwa
tindak perkosaan disebabkan oleh wanita yang memakai pakaian minim
seperti rok mini. Titik. Itu saja yang sempat beliau ucapkan di depan
media yang kita tahu sendiri, bad news is a good news. Beliau
belum menjelaskan dan menjawab tentang kebijakan publik apa saja yang
sedang dan akan dilakukan pemerintah bersama aparat lain untuk menekan
kejadian perkosaan di ibukota.
Pendemo mengatakan, don’t tell us how to dress, (but) tell them not to rape. Dalam konteks incomplete public policy, apa yang diutarakan pendemo tidak salah. Mereka menilai pemerintah terkesan
(bukan terbukti) menuduh wanita sebagai pihak yang salah karena
menggunakan rok mini, sementara para pemerkosa yang notabane berjenis
kelamin sama dengan Bang Foke tidak diberikan perhatian khusus (baca:
ditindak) serta kualitas perlindungan terhadap perempuan yang minim.
Namun dalam kerangka berpikir parsial dengan SDA, apa yang pendemo
lakukan justru memperburuk keadaan mereka dan kaumnya sendiri. Mengapa?
Saya ingin bicara tentang public policy-nya terlebih
dahulu. Pembaca pasti tau ada kebijakan seperti pemisahan gerbong KRL
wanita dengan non-wanita. Empat hari yang lalu ketika mengunjungi calon
istri saya di Bekasi, saya naik KRL dari Kemayoran. Saya masuk ke
gerbong wanita, dan langsung diinstruksikan untuk pindah ke gerbong non
wanita oleh petugas. Ini adalah kebijakan publik yang nyata. Di gerbong
non-wanita juga masih ada wanita-wanita dengan busana yang membuat mata
saya melirik, dan mereka SENDIRIAN. Kebijakan di trans Jakarta dengan
memisah penumpang pria dan wanita juga diberlakukan, bahkan petugas
trans Jakarta lebih garang lagi soal ini, apalagi kalau petugasnya
wanita. Ini adalah kebijakan publik. Namun, bagaimana dengan mereka
pengguna moda transportasi bus kota, taksi, metromini dan sepupunya
kopaja dan mikrolet? Kebijakan publik semacam KRL dan Trans Jakarta
belum menyentuh di moda transportasi itu. KRL Ekonomi saja juga tidak
ada kebijakan pemisahan gerbong berbasis gender.
Bagaimana dengan penindakan hukum para pemerkosa. Saya kira, para
pemerkosa mendapat hukuman. Tentang berat/ringan hukumannya, saya bukan
ahlinya untuk menjawab. Jadi, para pendemo tidak terlalu salah
menghakimi Bang Foke atas pernyataanya, tapi para pendemo lupa bahwa
aparat sudah berbuat sesuatu yang tidak bisa serta merta mereka abaikan.
Pemerintah tidak sempurna. Aparat mereka terbatas jumlahnya. Sebagai
contoh: Kalau Anda perhatikan di Jabodetabek yang luas itu, jumlah
polisinya tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Hanya persimpangan
jalan besar saja yang ada polisinya, itupun pada jam-jam tertentu saja.
Di Yogyakarta, ketika saya berangkat kantor di ruas Jl. Glagahsari, ada 4
polisi di 1 perempatan kecil. Itu dua kondisi yang kontras.
Imbauan Bang Foke adalah sebagian kecil dari upaya mengurangi faktor resiko tindak perkosaan dari sisi supply.
Apakah para wanita menawarkan bagian tubuh sensual dan vitalnya ketika
menggunakan rok mini? Secara sadar tentu saja tidak (kecuali wanita
jablay). Tapi secara tidak sadar mereka sedang melakukan itu, unintended supply.
D.2. Budaya
Rekan saya, seorang psikolog, berargumen bahwa di jaman purba dulu
banyak kasus perkosaan karena banyak yang berpakaian mini. Apakah
argument dia tepat atau tidak? Budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti pikiran; akal budi; sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang
sulit diubah. Dalam kamus Merriam Webster, culture berarti 1) the act of
developing the intellectual & moral faculties especially by
education; 2) enlightenment & excellence of taste acquired by
intellectual & aesthetic training. Jadi, kualitas, progresifitas dan
perkembangan akal budilah yang menentukan kebudayaan dimana
intelektualitas dan moralitas berkembang bersama. Jaman purba yang
dihuni manusia purba dengan jaman modern yang dihuni manusia modern
pasti memiliki standar moral dan intelektual yang berbeda. Jaman purba
mungkin tidak ada lembaga pernikahan, karena mereka belum diberikan
petunjuk untuk itu. Munculnya agama dan negara akhirnya memunculkan
lembaga pernikahan. Hubungan sex jaman purba yang mungkin didasarkan
atas suka sama suka menjadi tabu pada konteks dunia modern dan
berperadaban. Jadi, dari sudut pandang dunia beradab, hubungan sex
kumpul kebo dan perkosaan tentu saja mendominasi mutlak, terlepas dari
pakaian yang mereka gunakan.
Ketika RUU Anti Pornografi akan disahkan, pihak yang kontra
berargumen bahwa Indonesia itu multikultur. Definisi pornografi yang
terlalu rigid dapat melanggar pengertian budaya yang berbeda. Ini
pendapat yang saya kira bijaksana. Suku di Papua bisa terkena RUU ini,
atau pelukis dan pematung aliran naturalis juga bisa terbatasi dengan
RUU tersebut. Untuk itu, lebih baik, sebagai umat beragama dan beradab,
kita harus merujuk pada para pemuka agama kita masing-masing. Islam
tegas dalam Al Qur’an dan hadist tentang batas-batas aurat pria dan
wanita. Para pemuka agama nasrani yang wanita (suster) memakai kerudung
dan menggunakan rok yang panjang (varian tetap ada di berbagai negara).
Bikhuni atau biksu wanita juga berpakaian besar menutup sebagian besar
badannya kecuali kepala dan wajah. Biksu Hindu wanita di Bali saya kira
juga berpakaian yang relatif tertutup. Agama, apapun itu, adalah rujukan
moral tertinggi yang bagi mereka yang beriman tentu akan berusaha untuk
mentaatinya atau paling tidak bisa memahami maksud ajarannya. Jadi,
terbukti, agama apapun mengajarkan budi pekerti luhur yang menjadi trend
setter bagi perilaku umatnya. Jadi, alasan para pendemo bahwa mereka
tidak perlu diajari tentang cara berbusana itu sudah terlampau
menyimpang dari agama yang mereka yakini dan pemuka agama yang
seharusnya mereka jadikan panutan.
Lalu, bagaimana dengan fashion yang menjadi hak pribadi masing-masing
orang, terutama wanita? Saya juga setuju dengan argument itu. Tapi,
mereka seharusnya sadar, dalam kondisi pelayanan & perlindungan
publik yang belum optimal, exposure mereka kepada tindak kejahatan tentu
sangat tinggi. Bertindak menjaga diri adalah langkah paling bijaksana.
Berbikini boleh, tapi lebih tepat digunakan di kolam renang atau tempat
privat. Ber rok mini boleh, tapi lebih baik ketika Anda tidak sendiri
dan tidak ada pria hidung belang serta di tempat publik. Karena pada
dasarnya wanita adalah passive supplier untuk para pemerkosa, maka
exposure mereka terhadap kemungkinan itu harus menjadi prioritas dan
perhatian.
Budaya, menurut Baumol, Litan dan Schramm dalam bukunya Good
Capitalism, Bad Capitalism, disebut sebagai faktor yang tidak
fundamental dalam pembentukan budaya kewirausahaan. Mereka mengatakan
bahwa institusi adalah faktor yang lebih fundamental dalam membentuk
budaya. Dalam konteks kasus pemerkosaan, kualitas regulasi, kualitas
institusi dan organisasi yang mengurusi masalah perlindungan publik akan
lebih menentukan berhasil atau tidaknya entitas publik dalam melindungi
masyarakatnya dari tindakan kriminal. Jadi, ini kritik juga buat Bang
Foke untuk mengevaluasi kualitas institusionalnya agar tidak didemo para
pemakai rok mini.
D.3. Statistik
Anda dapat membuka link ini http://www.nationmaster.com/graph/cri_rap_percap-crime-rapes-per-capita
sebagai rujukan statistik perkosaan di dunia. Terlepas dari validitas
dan reliabilitas data tersebut, saya kira hasil itu cukup objektif.
Misal, posisi pertama diduduki Afrika Selatan. Mantan penyelenggara
Piala Dunia edisi terakhir itu memang terkenal dengan tindak
kejahatannya yang sangat tinggi. Sebagian besar negara itu adalah negara
sekuler, termasuk Indonesia. Arab Saudi yang notabene negara Islam, ada
di rangking terakhir. Vatikan sebagai takhta suci umat Katholik tidak
ada dalam daftar. Arab Saudi memang bukan negara sekuler murni, tapi
sekuleritas tumbuh dan memiliki tempat di sana, dan di beberapa negara
Timur Tengah lain bahkan lebih kental walaupun Islam tetap menjadi
budaya mayoritas. Nature orang Arab adalah kaum barbar yang keras dan
biadab, hingga datangnya Islam ke sana sebagai rahmatan lil’alamiin.
Beruntung, hukum syariah masih tegak di sana terbukti dari link berikut http://www.abc.net.au/news/2009-02-21/saudi-arabia-executes-two-policemen-for-rape-report/303636
dimana negara-negara sekuler tidak ada yang menerapkan hukuman seketat
itu atas tindak perkosaan. Vatikan saya kira jauh dari sekulerisme, dan
terbukti efektif dari angka perkosaan. Tetapi negara tempat bernaung
Vatikan yaitu Italia berada di posisi 46.
E. KesimpulanBudaya sekuler semakin melonggarkan batas-batas moral dan etika,
termasuk dalam hal berpakaian. Para pendemo wanita keliatannya belum
sadar hakikat mereka sebagai perempuan yang merupakan dambaan pria,
bagaimanapun bentuknya. Mereka terlalu meninggikan azas kebebasan tanpa
menyertakan azas moral dan etika. Kalau mereka berdalih ini Indonesia
yang multikultur, saya kira itu pernyataan yang agak berlebihan. Masih
mending bang Foke hanya menganjurkan negara-negara ini bahkan dengan
tegas melarang http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-11617091.
Bang Foke juga harus kejar target dong biar transportasi umum ga
semrawut kaya gitu. Kopaja, Metromini, Mikrolet, Bajaj, taxi tolong
ditertibkan itu. Sekian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...