Minggu, 01 Januari 2012

Gilanya Infrastruktur Indonesia

Oleh: Muh. Syarif Hidayatullah*, 1110 kata

“Harus diakui, dibuatnya artikel ini sangat terpengaruh dari kenyataan bahwa penulis banyak berkecimpung dalam bidang infrastruktur setahun terakhir, sehingga pemikiran saya sedikit banyak terkotak dalam isu ekonomi infrastruktur. Tulisan ini saya dedikasikan kepada seluruh pembaca dan dibuat dengan maksud agar segenap pembaca bisa ada sedikit gambaran betapa buruk dan ribetnya infrastruktur yang ada di Indonesia. Dan tentunya tulisan ini penulis buat khusus untuk merayakan HUT Blog Ekonom Gila Tercinta. Selamat menikmatinya….”

Mana yang lebih murah, beli (mendatangkan) jeruk dari Medan atau beli (mendatangkan) jeruk dari China. Jawabannya jelas, mendatangkan Jeruk dari Mandarin jauh lebih murah dibandingkan mendatangkan jeruk dari Medan. Apakah hal ini disebabkan oleh rendahnya upah buruh di China?mungkin saja. Atau karena jeruk dari China adalah barang imitasi?itu bisa juga. Tapi, alasan sebenarnya adalah biaya logistik yang dikeluarkan eksportir dari China jauh lebih murah dibandingkan biaya logistik produsen Indonesia.

Medan-Jakarta tentunya jauh lebih dekat dibandingkan China-Jakarta. Tetapi, untuk membawa Jeruk dari Medan-Jakarta, distributor harus melewati 70 jenis pungutan (dari yang formal hingga liar) dan melewati jalan/pelabuhan yang kondisinya sangat jauh dari layak, sehingga biaya logistik di Indonesia menjadi sangatlah mahal. Contoh lainnya adalah, jika anda mengapalkan kontainer 40 feet dari Teluk Bayur (Sumatera Barat) menuju Jakarta, maka anda harus meronggoh kocek US$ 600, sedangkan biaya dari Singapura-Jakarta hanya membutuhkan US$ 185.

Jika anda mengapalkan jeruk anda dari Medan menuju Jakarta, maka harap bersabar ketika memasuki Pelabuhan Tanjung Priok. Waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pemasukan barang di pelabuhan Tanjung Priok rata rata mencapai 7 hari, lebih lama dari proses kepabeanan yang memerlukan waktu 5,5 hari, sementara itu di Singapura hanya 1 hari, USA dan Jerman 2 hari, dan Jepang 3,1 hari.

Hal ini terjadi karena traffic di Pelabuhan Tanjung Priok sudah sangat tinggi dan kapasitas pelabuhan Tanjung Priok sangatlah terbatas. Sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia, ternyata Tanjung Priok hanyalah liliput di bandingkan pelabihan dunia. Kapasitas kontainer Tanjung Priok hanyalah 3,6 Juta teus. Bandingkan dengan Singapura yang mencapai 28 juta teus, Belanda 11 Juta teus, dan Malaysia 6,5 juta teus. Padahal Pelabuhan Tanjung Priok ini menopang 70% arus barang dan jasa di Indonesia.

Tidak selesai dipermasalahan pelabuhan. Buruknya infrastruktur di Indonesia juga meliputi akses jalan yang terbatas, Bandar udara yang sudah overloaded, dan rel kereta api yang sebagian besar masih peninggalan Belanda. Dan ironisnya lagi, banyak dari rel kereta api Indonesia yang tidak terpakai. Saat ini di panjang rel kereta api di Indonesia mencapai 7.883 Km, akan tetapi yang beroperasi hanya sepanjang 4.441 Km, sisa 3.442 Km dibiarkan menganggur.  

Masalah kemacetan, khususnya di Jakarta, juga disebabkan buruknya infrastruktur di Indonesia. Data menunjukkan bahwa kecepatan tempuh rata-rata kendaraan pada jam sibuk di Jakarta hanya mencapai 13-15 Km/jam, sangat jauh dibandingkan dengan kecepatan tempuh perkotaan di kota-kota di Jepang (20 Km/jam) ataupun di Inggris (40 Km/jam) (Parikesit, 2011).

Hal ini diperparah dengan kenyataan semakin menjamurnya kendaraan bermotor di Jakarta. Menurut data Polda Metro Jaya (2010), setiap tahunnya ada penambahan 364.810 unit sepeda motor dan 50.880 mobil baru di DKI Jakarta. Buruknya kualitas dan keamanan (maraknya tindak criminal di angkutan kota) menyebabkan masyarakat memilih untuk mengkonsumsi kendaraan pribadi dibandingkan naik kendaraan umum. Hal ini terbukti bahwa saat ini pangsa pengguna angkutan umum terus menurun. Pada tahun 2002, share penggunaan angkutan umum untuk pergi ke tempat kerja masih sebesar 38,3%, sedangkan pada tahun 2010 hanya 12,9% yang menggunakan jasa angkutan umum (JUTPI, 2010).

Buruknya infrastruktur Indonesia inilah yang selalu dikeluhkan oleh investor dan pebisnis Indonesia. Menurut hasil survey, 30% pebisnis Indonesia di 240 Kabupaten/Kota sepakat bahwa infrastruktur adalah hambatan utama dalam menjalankan bisnis di Indonesia. Permasalahan infrastruktur ini menyebabkan high cost economy yang pada akhirnya membuat konsumen tidak dapat menikmati harga barang yang murah. Diperkirakan biaya logistik di Indonesia mencapai 27% dari nilai GDP, padahal rata-rata negara maju dan berkembang hanya sebesar 10% dari GDP. Hal inilah yang membuat produk Indonesia sulit berkompetisi dengan produk dari negara lain.

2 Hambatan
Ada dua hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur, pertama ketersediaan lahan, kedua keterbatasan anggaran. Masalah lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan.

Kedua adalah masalah pendanaan. Membangun infrastruktur tentunya butuh dana. Dan mustahil bagi pemerintah untuk menyediakan anggarannya. Menurut RPJMN 2010-2014, kebutuhan dana pembangunan infrastruktur mencapai Rp.1400 Triliun. Yang bisa disediakan oleh pemerintah (APBN) hanyalah Rp.600 Triliun. Sisa Rp.900 Triliun harus digantungkan kepada BUMN dan Swasta. Yang jadi pertanyaan, apakah sektor swasta bersedia untuk menanamkan modalnya di sektor infrastruktur Indonesia.

3 Harapan
Menyambut tahun 2012, ada harapan besar yang dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Pertama, adanya komitmen pemerintah melalui MP3EI. Kedua, disahkannya UU Pengadaan Lahan Untuk pembangunan Bagi Kepentingan Umum. Ketiga, dinaikkannya status Indonesia menjadiinvestment grade oleh Finch.

Pemerintah berkomitmen untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur melalui MP3EI. Tidak tanggung tanggung, ditargetkan hingga 2014, nilai investasi untuk infrastruktur mencapai Rp.1700 Triliun. Komitmen inilah yang harus terus kita tagih ke Pemerintah.

Terselesaikannya UU Pengadaan Lahan diharapkan dapat menuntaskan permasalahan lahan yang menghantui Indonesia selama ini. Dalam UU ini diatur empat proses pengadaan lahan, yaitu perencanaan, pengadaan , pelaksanaan dan penyerahan hasil. Menurut hasil kalkulasi penulis, lama waktu yang ditargetkan oleh UU ini untuk membebaskan paling cepat 238 hari, dan paling lama (dengan estimasi ada keberatan dari pemilik lahan) mencapai 512 hari. Hal ini tentunya cukup melegakkan karena selama ini untuk pembebasan lahan untuk proyek jalan tol membutuhkan waktu 4-5 tahun.

Finch baru saja menaikkan grade Indonesia menjadi investment grade (BBB-). Diharapkan kenaikan ini dapat memperderas arus modal asing ke Indonesia. Derasnya arus modal asing ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Saat ini terdapat 79 proyek PPP (public private partnership) infrastruktur senilai US$ 59 Milyar di Indonesia, dimana 13 diantaranya dalam status “ready for offer projects” (PPP Book 2011, Bappenas). Jika modal asing bisa diarahkan untuk membiayai keseluruhan proyek ini, tentunya akan menopang upaya percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

2 pekerjaan rumah
Untuk mempercepat keseluruhan proyek infrastruktur di Indonesia, setidaknya ada dua pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Pertama, segera menyelesaikan PP (Peraturan Pemerintah) pelaksana dari UU Pengadaan lahan. Kedua, perbaikan dari skema PPP. Perbaikan skema PPP bisa dimulai dari memperbaiki pipeline creation (penyusunan daftar proyek) dari PPP. Dalam hal pipeline creation, komitmen pemerintah masih dipertanyakan. Contohnya, dalam PPP Book 2011 yang diterbitkan oleh Bappenas, proyek pembangunan Monorail Jakarta dicantumkan sebagai proyek yang “already tendered”. Tapi, seperti yang kita tahu, Gubernur DKI Jakarta justru membatalkan proyek tersebut. Hal ini tentunya harus dievaluasi pemerintah, agar penetapan proyek PPP dilakukan dengan lebih baik.

Infrastruktur selama ini menjadi hantu dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dan hantu ini akan selamanya menggentayangi perekonomian apabila pemerintah tidak menjalankan komitmennya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Apabila percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia berjalan lancar, maka mimpi memiliki pendapatan perkapita US$ 14.500 di tahun 2025 dapat tercapai.



*kontributor EG.

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...