Oleh: Abdul Gafur*, 1016 kata
Suka atau tidak, konstitusi kita
UUD 1945 mengamanatkan negara Indonesia dibangun dalam spirit sosialisme
Indonesia. Model ekonomi yang dikembangkan menempatkan negara sebagai
mandataris pelaksana, tapi arah gerak pembangunan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.Tapi
sungguh tragis, hari ini kita temukan mayoritas rakyat masih miskin. Tentu
kemiskinan soal yang lumrah, tapi jika terjadi dalam rentang waktu panjang dan
dinegeri kaya sumber daya alam, kita perlu melihat lebih dalam lagi.Cukup
banyak kesimpulan untuk soal ini. Mulai dari optik struktural hingga problem
mentalitas khas dimunculkan seolah sebagai argumen final.
Secara historis, kolonialisme
Belanda mewariskan masyarakat yang sudah dihancurkan sebagian struktur, akses
ekonomi dan mental wirausahanya. Di zaman kolonial aktifitas ekonomi hanya
digeluti oleh korporasi swasta asing, pemerintah Hindia Belanda, pengusaha
Tionghoa, dan segelintir kaum pribumi.Sebagian besar rakyat hanya menjadi
buruh. Siang mereka dipaksa bekerja tanpa kenal lelah, dan malam hari
ditenangkan dengan menggunakan opium. Ini adalah modus khas mempertahankan
loyalitas kerja kaum pribumi. Undang-undang kewarganegaraan Belanda telah
mengunci ruang gerak ekonomi pribumi hanya pada sektor bawah.Realitas ini
mendorong segelintir priyayi, kaum terdidik, dan pedagang lokal untuk
mengorganisasikan diri lebih rapi dengan melibatkan rakyat sebagai anggotanya.
Tahun 1909, Haji Samanhoedi membentuk perkumpulan Rekso Rumekso. Beranggotakan
pedagang batik bumiputra diwilayah Karesidenan Surakarta.
Meski niat awalnya untuk
mengimbangi Kong Sing, organisasi pedagang cina yang menguasai bahan baku
batik, namun dalam perkembangannya perkumpulan ini menjadi inspirasi bagi
pribumi untuk meningkatkan harkat sosial. Pada tahun 1911, lahirlah sarekat
dagan islam (SDI). Di sini Raden Mas Tirtoadisoerjo punya peranan penting.
Satu tahun sesudahnya, Muhammadiyah
berdiri bulan Desember 1912. Awalnya organisasi yang digawangi oleh Kyai Haji
Ahmad Dahlan ini bercorak gerakan sosial keagamaan semata. Namun lambat laun
ikut merambah gerakan ekonomi yang cukup massif. Tahun 1916, 47 persen anggota
Muhammadiyah adalah pedagang, 18,1 persen pamong praja, dan hanya 12,1 persen
ulama.Mereka membentuk JAMIAH (jaringan ekonomi muhammadiyah), dan mulailah
Muhammadiyah berdiri disejumlah kota seperti Pekajangan, Pekalongan, Laweyan,
Solo, Kudus, dan Kediri. Gerakan ini terus meluas hingga keluar jawa, misalnya
ke Sumatera Barat.
Tahun 1918 berdirilah Nahdlatut
Tujjar (NT) organisasi pilar awal sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama (NU,
1926). Tiga kyai dari Jombang, KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah, dan KH
Bisri Syansuri pemrakarsanya. NT didirikan sebagai bentuk kritik tajam atas
lemahnya posisi tawar para pendakwah agama saat itu karena miskin secara
ekonomi.Koperasi Al 'Inan dibentuk dengan 45 orang pemegang saham. Total modal
awal 1.175 gulden terkumpul dari 45 anggotanya. Inilah fondasi awal semangat
gerakan ekonomi dari Nahdlatul Ulama.
Politik Ekonomi
Saat arus politik kebangsaan
mengental sesudah sumpah pemuda oktober 1928, terjadi perubahan dalam orientasi
gerakan. SI, Muhammadiyah, dan NU menitikberatkan gerakan politik sebagai
kristalisasi perjuangan merebut kemerdekaan. Terjadi kemunduran pada beberapa
titik, akibat tersedot penuh oleh aktifitas politik. Pasca kemerdekaan fakta
ini mulai terasa. Formasi SDI berubah menjadi Sarekat Islam dan menjadi PSII.
Setelah kemerdekaan, aktifitas politik tetap dominan dan tidak berjalan seiring
konsolidasi ekonomi. Upaya perbaikan ekonomi nasional coba dijalankan oleh
pemerintahan Soekarno lewat berbagai cara. Tahun 1949-1959 Bung Karno melaksanakan
politik-ekonomi Benteng untuk mendorong kaum pribumi mengkonsolidasikan diri.
Pemerintah berharap enterpreneurship masyarakat terbangun dan menjadi kekuatan
dominan dilapangan ekonomi nasional.
Untuk sektor industri dan ekonomi
atas, program nasionalisasi perusahaan asing dijalankan untuk
mengkonsentrasikan kapital asing menopang operasional negara. Tentu selain
bantuan asing khususnya dari Comecon, lembaga dana milik Uni Soviet. Meski
cukup banyak yang berminat untuk terlibat dalam program Benteng, tapi rupaya
untuk menjadi satu gerakan ekonomi nasional sudah sangat berat. NU, SI, dan
Muhammadiyah, sudah tidak sanggup lagi mengkonsolidasi diri disektor ekonomi.
Ditambah lagi huru-hara politik nasional terus berlangsung, berakibat pada
friksi dan fragmentasi yang sangat serius. NU menjadi partai politik, SI
menjadi PSII, dan Muhammadiyah ikut dalam aktifitas Masyumi di Pemilu tahun
1955. Pengusaha Tionghoa tetap stabil dan mendapatkan lisensi usaha cukup
mudah.
Program nasionalisasi tidak maksimal
karena dua hal: disabotase oleh kepentingan angkatan darat dan perangkap
perjanjian-perjanjian(linggarjati-KMB) yang telah ditandatangani. Cukup banyak
pimpinan militer mendapatkan posisi strategis dalam menangani badan usaha dan
perusahaan industri nasional. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari politik
Soekarno yang menjaga kestabilan dukungan antara PKI dan angkatan darat..
Negara-negara barat bereaksi keras atas program nasionalisasi, dan memaksa
indonesia patuh pada seluruh klausul perjanjian terkait hak-hak perusahaan
asing pasca-kemerdekaan. Sejak Bung Karno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli
1959, negara disibukkan oleh beragam konflik politik yang berujung pada
pergantian kekuasaan tahun 1966. Sejak saat itu riwayat ekonomi pribumi dan
konsolidasi ekonomi rakyat makin kabur, bahkan hilang dari peredaran. Makin
lengkap saat Soeharto menetapkan berlakunya UU Penanaman Modal Asing (PMA) No 1
1967 dan UU penanaman modal dalam negeri (PMDN) No 6 1968. Postur ekonomi
Indonesia hanya memberi ruang hidup pada tiga kelompok utama: jaringan
konglomerasi Cendana-Tionghoa, bisnis militer, dan kepentingan modal asing.
Koneksi Politik
Usaha kecil dan menengah
dikembangkan tapi harus berada dalam mata rantai kontrol negara. Setiap upaya
gerak mandiri, bisa dengan mudah dijebak dalam perangkap pelabelan bias ekstrim
kiri alias komunis. Di level pelaku ekonomi menengah, lahirlah generasi kedua.Fase
ini tidak lagi digawangi oleh pedagang yang memiliki etos dan pemahaman dagang,
tapi lebih karena koneksi politik. mereka adalah anak-anak priyayi hasil
didikan kolonial. Dalam per-istilah-an, inilah yang populer disebut ersatz
capitalist atau kapitalis semu alias kapitalis tukang palak. Mereka membangun
satu oligarki politik-ekonomi dan dengan sendirinya melumpuhkan spirit
enterpreneurship masyarakat. SI, Muhammadiyah, dan NU sudah terlanjur
"terjebak" oleh arus politik negara. Soeharto mengunci seluruh
potensi politik Islam kedalam Partai Persatuan Pembangunan. Banyak generasi
Muhammadiyah masuk kedalam birokrasi dan melupakan basis sosial ekonominya. NU
yang terpinggirkan diluar tidak mampu lagi mengembangkan strategi ekonomi sejak
Koperasi Syirkah Mu'awanah didirikan tahun 1937. Nanti setelah gerakan kembali
ke khittah yang dipelopori oleh Abdurrahman Wahid, perhatian pada nasib ekonomi
warga NU mulai tumbuh lagi. Bulan februari 1990 Bank Perkreditan Rakyat
Nilaiarta didirikan dan dimantapkan pada bulan juni dengan mendirikan BPR
Nusumma. Sayang, krisis ekonomi penghujung 1997-1998 melumpuhkannya.
Hingga turunnya Soeharto, anatomi
ekonomi nasional kita berdiri di atas pijakan yang rapuh. Program ekonomi
benteng Soekarno patah tahun 1959. Lalu selama 32 tahun, Soeharto berbagi ruang
wilayah akumulasi dengan korporasi global. Saat krisis moneter menerpa, IMF dan
Bank Dunia melengkapinya dengan "memaksa secara halus" Indonesia taat
atas syarat yang tertuang dalam letter of intent (LOI) dengan dua proyek utama:
program penyesuaian struktural(structural adjusment program) dan deregulasi.
Ini sepaket dengan kewajiban di ruang pendidikan, kebudayaan, ketatanegaraan,
bahkan pertahanan keamanan.
========================
*Mahasiswa Manajemen Keuangan dan
Perbankan STIEM Bongaya Makassar.
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...