Mungkin yang membaca catatan ini akan tertawa atau tersenyum sinis yang disamar-samarkan. Mengatakan kalau saya sok kritis, sok menggugat pemerintah, sok tidak pernah melihat orang miskin, sok peduli. Maka sekali lagi saya berkelit, bahwa ini cuma rekam jejak sekedarnya, sekedar suka-suka, rekam sekedar memaknai program kerja Pemerintah mengenai pengentasan kemiskinan yang katanya telah berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 29,89 juta jiwa (sumber: Badan Pusat Statistik Online/September 2011 ). Benar-benar rekam sekedarnya.
Menjadi masalah kemudian adalah celetukan seorang teman-yang lagi-lagi juga sekedar celetuk ringan-yang akhirnya membuat saya berpikir, "Negara gak punya duit buat ngasih mereka kesejahteraan yang layak."
Dueng! Aha! Benar juga.
Uang. Mungkin sudah terlalu lama kita jadi pengagum Om Keynes yang memuja uang sebagai satu-satuya pemecah masalah. Kebijakan moneter terjadi karena uang, pengangguran, barang-barang naik, inflasi, kemiskinan, semuanya balik lagi ke uang. Mungkin kita bakal gila kalau peredaran uang lenyap di muka bumi meski kita masih punya tanah yang subur, hewan-hewan peliharaan yang gembil-gembil.
Saya gak ngerti mau ngejabarin persoalan ekonomi yang ruwet ini mulai dari mana. Saya bodoh banget kalau udah ngomongin soal hukum, politik, dan ekonomi.
Terlalu ribet, terlalu sok-sok-an, terlalu susah, TER-LA-LU lah pokoknya.
Kaya tak seberapa, bodohnya minta ampun.Yap!
Intinya kan karena kita udah ngerasa nyaman dengan kondisi yang serba kecukupan makanya anteng-anteng aja, eh, pas ngelihat isi dompet, baru mules. Hidup di negeri yang berlimpah tapi gak tau cara masak makanan. Pengen beli, duit gak punya. Terpaksa cari ‘pembantu bersertifikat’, dan sayangnya masih belum ‘ngeh’ kalo harta dirampas sedikit demi sedikit. Ujung-ujungnya, jatuh miskin. Gak ada cara lain, terpaksa ngejual apa yang bisa dijual. Satu fenomena yang komplit, sudah miskin, bodoh pula.
Berangkat dari kebodohan, berbondong-bondonglah pemerentah menyekolahkan anaknya keluar negeri. Pulang-pulang, ijazahnya pake Bahasa Inggris, dielu-elukan. Elu! Elu! Elu! Elu yang salah! Elu yang gak mau ngedengar perintah! Elu yang harusnya tanggung jawab! Pokoknya di elu-elukan lah. Kita butuh solusi, bukan Ijazah dan saling menyalahkan.
Kita butuh implementasi, bukan analisa ditambahin imajinasi. Bukaaaaan, kakak! Kita butuh duit, dan sumbernya ada di sekeliling kita.
Jadikan Legal Apa yang Seharusnya Sah
Kemarin, saya iseng masuk ke satu forum yang lagi ngediskusiin satu pertanyaan tapi mancing kerusuhan virtual yang fatal.
Intinya, pro dan kontra tentang pelegalan lokalisasi. Gak tau kenapa, saya malah milih jadi satu dari sekian banyak yang ‘udeh, mending dijadin legal aja kali.’
Saya sekarang udah gak tau lagi mana yang benar dan mana yang salah. Yang saya tahu, tempat ‘lendir’ kan banyak banget tuh di Indonesia. Pelacuran, dari pada jadi tempat ‘terbuka tapi terselubung’, mendingan dilegalkan sekalian, kalau perlu dibuatkan member card bagi pelanggan tetapnya.
Gilak!
Otak lo di kemanain? Lo mau nambahin PELACUR jadi daftar cita-cita buat masa depan anak-cucu lo?
Santai, sob!
Sebetulnya kalau dari kecil kita sudah memperkenalkan bahwa seks bebas berisiko tinggi, pasti tidak akan penasaran dan tidak lagi merasa aneh.
Kalau pun dibuat legal, otomatis ada yang namanya penarikan pajak dong.
Misal, jika Tarif short time Rp. 100.000 dibagi pajak 10% = Rp. 10.000 X 1000 psk X 1 tahun X banyaknya lokalisasi legal X 33 provinsi. Maka, jumlah pajak yang diterima pemerintah kurang lebih… banyak banget
Terus gimana dengan HIV/AIDS atau penyakit menular lainnya? Contoh dong kinerja Bupati Malang, Bapak Rendra Kresna yang menggagas ATM kondom di tempat-tempat lokalisasi (Sumber: Metrotvnews.com)
Atau, ada saran buat kamu yang anti-prostitusi. Tinggal ajak teman kamu yang se-ide, tandatangan di spanduk gede, ajukan petisi kepemerintah dengan menggratiskan pemakaian WTS. Saya jamin, kalau ide kamu didukung penuh oleh pemerintah, Prostitusi di dunia bakal gulung tikar. Perempuan mana sih yang mau dipake gratis. Bener gak sik?
Hentikan Semua Fasilitas Buat Rakyat Miskin yang Menguntungkan Orang Kaya
Subsidi Bahan Bakar misalnya. Itu salah satu bentuk pengayaan bagi masyarakat kaya tapi seolah-olah memihak rakyat miskin. kalimatnya aja yang keren, subsidi. Tapi lihat! Yang untung tetap jutaan manusia yang bermobil, memakai mobil ke mall dengan modal bensin Rp.4500 dengan harga yang seharusnya Rp.9000. Dan kita yang bahagia dengan kata subsidi, memakai motor, hujan-hujanan, panas-panasan, temans!
Bayangkan apa yang bisa didapatkan oleh 29,89 juta jiwa penduduk miskin dengan penghapusan subsidi tadi. Uangnya bisa dialihkan untuk subsidi bahan lain yang lebih diperlukan masyarakat.
Jembatan penyeberangan, di kota saya sedang dibangun dua jembatan penyerangan yang menurut saya makin menunjukan siapa yang kaya dan siapa yang miskin.
Anda yang pejalan kaki, silahkan naik jembatan yang tinggi, bawa kantong belanjaan anda yang berat itu naik-turun tangga dengan alibi agar tidak tertabrak mobil saat menyeberang. Dan orang yang bermobil bebas ngebut dengan lancar tanpa terganggu pejalan kaki.
Padahal logikanya, justru yang bermobil yang harusnya sabar menunggu pejalan kaki menyeberang karena barang belanjaan mereka masuk bagasi, tidak kerepotan menggendong anak, tidak kehujanan, tidak kepanasan pula. Bahasa simpelnya, mending mana, duit bangun jembatan dikasih ke orang kaya atau buat ngebanguan fasilitas kesehatan buat masyarakat?
Hahahahaha. Untungnya saat menuliskan ini saya masih belum juga menjadi Sarjana. Kalau tidak, bisa dianggap socialist freak.
Lebih Baik Jadi Petani di Negeri Sendiri daripada Jadi Jongos dan Disiksa di Negeri Lain
Kalau yang ini, saya agak muter otak buat mikirnya. Ngeri, cuy.
Tapi gini deh, Negara kita kan Negara agraris. Itu berarti, sebagian besar sumber daya alam dan mata pencarian penduduknya dari bertani. Tapi kok memasok beras dari Thailand
Indonesia sempat menjadi gudang PALAWIJA di tahun 90’an. Kenapa? Karena saat itu - saya masih kecil banget dan belum inget apa-apa - istilah TKI belum booming di masyarakat kita. Kita masih senang menjadi petani, kita masih bangga dengan cangkul, caping, lumpur dan ketek basah.
Kita masih bahagia hidup sebagai petani karet, kita masih bisa menertawakan cuaca saat nelayan pulang tak banyak tangkapan. Kita masih bangga, kita masih bahagia, kita masih bersyukur dengan negeri kiya yang Gemah Ripah Loh Jinawi. Negeri yang kaya minta ampun dan suburnya kebangetan.
Oukey. Sebagai penutup, mari kita kembali lagi menjadi Indonesia yang Merdeka. Karena ‘Merdeka’ berasal dari bahasa Sansakerta, Mardika, artinya pandai, terhormat, bijaksana dan tidak tunduk kepada seseorang selain raja dan Tuhan. Mari sama-sama kita aminkan. Amiiiinnn.
Biodata:
Santy Novaria, seorang muda yang terengah-engah menghabiskan waktunya di STMIK Putera Batam mempelajari Akuntansi tapi tetap bingung membedakan antara Hutang, Harta dan Aktiva.
Sangat mencintai Batam sebagai kota tinggalnya hingga saat ini.
Siapapun yang (semoga ada) ingin mengajukan beberapa pertanyaan berhubungan dengan apa saja bisa langsung ke: nova_tul@yahoo.com
atau ke twitter @Idung_Jambu
kalau mau melegalkan apa yg sah, ya bukan pelacuran dong. pelacuran itu kan ciptaan manusia. kalau mau legalkan sesuatu yg memang halal, yaitu ganja. itu kan jenis tanaman serba guna: berguna buat pangan, sandang, dan papan. ganja itu kan pemberian alam/Tuhan...mosok pemberian Tuhan ada yg haram?
BalasHapusnah, kalau Indonesia bisa melegalkan itu dan melawan Amerika yg bilang ilegal, maka dijamin Indonesia bakal leading, dgn catatan jgn terlalu banyak dan keseringan korup. itulah yg dibilang MERDEKA, do not be dictated by others, educate yourself...kan udah terbit bukunya tuh.
selain itu orientasi dan kurikulum pendidikan perlu ditinjau ulang, harus berpihak dan mendukung pada SDA yg ada. membangun teknologi yg mendukung pengembangan SDA, bukan asal ngekor org lain yg jauh panggang dari api, seperti IPTN tempo hari, proyek yg gagal.
Mbak Inge:
BalasHapusSoal melegalkan pelacuran, sekarang pelacuran kayaknya bukan hal yang tabu ya. Di Batam sendiri, pelacuran merajalela di mana-mana udah kayak jualan bubur. Bahkan ada satu tempat di sini yang 'menyajikan' WTS kayak di etalase. Dipajang terus dipilih suka-suka. Ya daripada dibegituin sebebas-bebasnya tanpa ada penertiban yang manusiawi mendingan dilegalkan dan ada yang ngurusin mereka.
Kalo soal pelegalan ganja, aku setuju sebanget bangetnya. Cuman, faktanya kan sebagian besar masyarakat kita ngedoktrin ganja cuman buat nyimeng doang. Padahal, udah ada buku 'Hikayat Pohon Ganja' yang udah ngebahas semua data dan jurnal2 kesehatan yang ngejabarin. Tapi, karena doktrin yang udah kepalang lekat itulah, susah mengubah image ganja menjadi sesuatu batang yang bukan sekedar cimeng.
Masalah orientasi dan kurikulum pendidikan, kita balikin lagi ke sistem kali yak. Gak berani dan gak sempat ngebahas. Batasnya cuma 1000 kalimat. Hahahahahahaha
@Nova:
BalasHapusJadi karena pelacuran bukan lagi hal yang tabu maka dengan demikian kita pupuk saja dgn melegalkan dan menarik pajak darinya? Waduh, ngeri banget kalau seperti itu ya.
Mustahil memang menghilangkan pelacuran tapi tidak berarti kita harus memupuk dan mengembangbiakkannya bahkan menarik keuntungan darinya hanya karena pelacuran bukan lagi hal tabu dan sudah sedemikian terbukanya? Dari jaman dahulu kala pelacuran itu ada terlepas dari apakah dia tabu atau tidak, tapi apakah berarti hal tsb akan dibiarkan saja?
Sebaiknya tidak menjadi pribadi/masyarakat yg permisif hanya karena hal tersebut terjadi dan jamak dan sangat sudah terbiasa oleh mata. Secara moral hal tsb tetap tidak benar.
Nah, kenapa bukan soal ganja yg kita ubah meski spt yg kamu bilang sdh lama melekat di kepala banyak org ttg cimeng? Bukannya justru dgn adanya fakta yg benar maka hal tsb yg perlu dikampanyekan scr terus menerus?
Kalau kamu sudah bilang susah dan menyerah dan malah lebih memilih melegalkan pelacuran, maka generasi apa yang sedang kamu ciptakan, say?
Kalau pemikiran kamu seperti itu maka tidakkah hal tsb bertentangan dgn teriakanmu di bgn akhir utk memerdekakan Indonesia, mengembalikan dia sbg negara yg gemah ripah loh jinawi dan memanfaatkannya demi perbaikan ekonomi? Tidakkah hal tsb berarti ada pertentangan dalam artikel kamu ini?
Maaf ya kalau saya bilang dgn pola pikir spt apa yg kamu utarakan maka saya menilai bahwa kamu menilai/melihat/menganalisa sebuah masalah hanya pada apa yg terlihat pada permukaan, sehingga solusi yang keluar hanya ingin mengambil gampangnya saja :)
Saran saya terkait keterbatasan kalimat dari panitia, maka kali lain jika ada perlombaan serupa, baiknya fokus saja pada satu masalah/topik agar biar lebih detail dan mendalam, daripada ingin merangkum semua namun terlalu umum sehingga tdk ada penyelesaian yg spesifik :)
Contoh saja masalah pelacuran dan ganja itu, itu sudah bisa menjadi dua subyek tersendiri yg bisa sangat dalam pembahasannya :) Salah satu produk ganja yg dijual di UK sini adalah Hemp Oil yg cukup mahal harganya, 500 ml sebotol harganya 6 poundsterling. Bayangkan kalau produk itu dikembangkan di Indo, berapa banyak yg bisa diekspor ke LN? itu baru satu produk olahannya, belum lagi spt baju dll, krn katanya baju perang itu dibuat dari ganja.
Tetap semangat, San! :)