Selasa, 28 Februari 2012

2012: IFRS

Oleh: Christov M.

2012, adalah judul film tentang akhir dunia. Tapi kalau menurut para sesepuh yang bertitel akuntan, 2012 adalah saat yang tepat untuk menerapkan secara "penuh" IFRS (Internasional Financial Reporting Standards).  Standar ini adalah standar penyusunan laporan keuangan yang diakui bersama secara internasional, means antara negara yang satu dan yang lain menggunakan standar yang sama ini.

Standar Internasional


Standar itu ibarat bahasa, tiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing, bahasanya boleh sama tapi pemahaman akan artinya dapat jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Ibarat kata bahasa Indonesialah, kalo orang jawa berbahasa indonesia ngomongnya beda kan dengan orang jambi ngomong dengan bahasa yang sama. Kalo orang NTT ngomong pun butuh waktu untuk dipahami oleh orang jawa meski pake bahasa yang sama, bahasa Indonesia.

Standar pelaporan keuangan pun tidak jauh berbeda, isinya angka semua sama di berbagai negara tapi omongannya orang Indonesia bisa berbeda jauh maksudnya dengan omongannya orang Eropa, begitu pula sebaliknya. Alasan ini membuat tiap kali kita ingin paham, butuh biaya lebih(nyewa penerjemah atau butuh waktu) untuk menyamakan persepsi orang Indonesia dengan orang Eropa untuk laporan keuangan.

Bahasa inggris adalah bahasa internasional dari segi formal yang kita akui bersama, dengan adanya bahasa ini berbagai kemudahan kita dapatkan bukan..? Ketika kita tiba di Filipina, di Vietnam, Amerika, kita cukup mengetahui bahasa inggris sebagai bahasa internasional.
Berbagai versi standar membutuhkan kemudahan semacam ini, inilah alasan utama hadirnya IFRS.

Tapi jangan khawatir, Amerika sendiri baru melaksanakan secara penuh IFRS ini pada 2015 nanti, sedangkan kita dari 2012 awal kemarin, keren bukan? IFRS ini berdampak secara spesifik kepada perusahaan yang telah go public atau telah masuk di Bursa Efek Indonesia dimana saham kepemilikan perusahaan tersebut diperdagangkan kepada umum.


Contoh Penggunaan IFRS

IFRS menganut asas prinsipal dimana prinsip lebih diutamakan daripada aturan-aturan baku, hal ini bertolak belakang dengan aturan yang selama ini kita anut yaitu berdasarkan pada aturan-aturan. Misalkan ada aturan mengatakan "Mencuri makanan orang lain adalah suatu kejahatan bila barang yang dicuri dalam jumlah banyak", bayangkan arti banyak disini seperti apa, banyak orang dapat mengecoh peraturan dengan mengatakan bahwa 1 juta dollar tidaklah banyak bila bla... bla.. bla... sangat multitafsir dan bisa diselewengkan. Akan jauh lebih mudah jika kita menggunakan prinsip "Mencuri makanan adalah suatu kejahatan", dengan begini peluang penyelewengan dapat diminimalisir.

Contoh perbedaan standar internasional dengan standar Indonesia, salah satunya tentang "Nilai Buku":
Kalo kita beli pesawat (biasanya sih  sesuai perjanjian, kita akan sewa dulu baru beli setelah masa sewa tertentu) Airbus A-380 yang paling gede sedunia itu, sebelum pake IFRS, kita wajib menggunakan harga perolehannya setelah dikurangi penyusutan (depresiasi) untuk tahun berjalan hingga masa pakainya abis. Masa pakai itu ditentukan oleh perusahaan tetapi tidak menyimpang juga dari standar, anggap saja masa pakai 20 tahun. Jadi kalo tuh pesawat harganya 2T dgn masa pakai 20 tahun dan pake penyusutan garis lurus, maka setiap tahun akan ada penyusutan nilai sebesar 2T/20 = 0,1 T. Di tahun pertama nilai buku pesawat itu hanya sisa 1,9T.

Cara untuk menentukan nilai buku tersebut sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia, tetapi apakah demikian standar yang berlaku di dunia lain? Bagaimana bila yang membutuhkan laporan keuangan itu adalah stakeholder dari Yunani, Pakistan, atau Finlandia? Apakah mereka harus mempelajari standar yang ada di Indonesia secara khusus?

IFRS pun hadir, dengan landasan pemikiran bahwa: nilai buku kudu sesuai dengan kondisi fisik, atau secara ilmiah: yang ada di buku adalah "nilai wajar". Maksudnya gini: nilai yang tertera di dalam buku sesuai dengan "berapa sih nilai wajarnya" bukan hanya sekedar hitung-hitungan matematis belaka.

Dalam periode tertentu perlu dicek sama jasa penilai (ini orang2 yang dipercaya memiliki keahlian menilai sesuatu). Dengan begitu, tanpa melihat kondisi fisik pesawat tersebut, orang dapat membayangkan berapa rupiah (atau satuan moneter lain) pesawat tersebut dapat dihargai sebagai aset. Bukan untuk dijual sih, tetapi satuan moneter (uang) adalah satuan untuk menggambarkan nilai dari sesuatu pada laporan keuangan. Tujuannya sih yah, dengan begitu laporan saya jadi lebih akurat kan?

Tapi oh tetapi, yang paling nyesek adalah tiap kali revaluasi kita kena pajak penghasilan 10%. Nah kalo dulu kita bisa aman dan nyaman karena penilaian ulang (revaluasi) jarang kali dikerjakan kan? Jangan-jangan, kalau tiap tahun direvaluasi, nilai aset bisa lebih besar, tapi kena pajaknya lebih besar lagi.

Note: dirangkum dari berbagai sumber

Olivia Kamal

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...