Minggu, 25 Maret 2012

Solusi Gila untuk Kemacetan Jakarta

Oleh: Yoga PS


Jika Anda sedang berjalan-jalan di Jakarta, saat ini pasti Anda akan sangat mudah menemukan poster calon pemimpin Jakarta.

Dan lucunya “jualan” mereka rata-rata hampir sama. Gaya foto mereka sama-sama tersenyum cengengesan sok cool, sama-sama ingin membawa perubahan menuju Jakarta yang lebih baik, dan sama-sama menjanjikan solusi untuk tiga dosa utama ibukota Jakarta: macet, banjir, dan permasalahan social.

Untungnya saya bukan orang Jakarta (untungnya juga saya bukan orang utan). Tinggal disini juga baru sekitar 3 bulan setelah lulus kuliah. Jadi saya kurang peduli dengan kondisi politik kota ini. Tapi saya ingin mencermati solusi yang ditawarkan para calon pemimpin Jakarta. Tentang cara mengatasi kemacetan.

Macet

Tiada hari tanpa macet di Jakarta. Apalagi saat jam berangkat dan pulang kerja. Tampaknya hanya saat libur saja Jakarta bebas macet: libur hari raya, dan saat libur hari kiamat. Hari biasa? Mana mungkin… apalagi sedang musim demo seperti sekarang.

Terkadang saya lebih memilih jalan kaki untuk menghadiri meeting dengan client daripada naik roda empat yang menghabiskan waktu 30 menit perjalanan hanya untuk menempuh jarak 2 km. itung-itung pelangsingan gratisan juga sih. Yang penting nggak jalan ditempat.

Mau naik busway? Pasti lama ngantri dan jalurnya sering diserobot pengendara lain. Belum lagi risiko terkena pelecehan seksual (atut kakak…) karena dempet-dempetannya minta ampun. Kita bisa mendapatkan pelajaran empati bagaimana rasanya menjadi ikan sarden. Naik ojek? Mending bawa motor sendiri lah. Karena ongkos ojek lebih mahal daripada taxi. Naik kereta? Kurang fleksible kalau tujuannya dalam kota.

Naik kopaja? Kudu banyak dzikir. Naik bajaj? Uda dilarang masuk tengah kota. Naik becak? Ntar dirazia satpol PP. Naik haji? Kelamaan ngantri. Pokoknya, naik apapun, ujung-ujungnya naik pitam. Macet dan crowded.

Lalu datanglah para “messiah” calon pemimpin DKI yang membawa solusi mengatasi kemacetan. Karena ini bukan tulisan promosi salah satu calon, pokoknya rata-rata ingin melakukan perbaikan transportasi umum agar pengendara kendaraan pribadi beralih menggunakan kendaraan umum.

Tapi seperti kata Andre Taulany Stinky, “Mungkinkahhh?”

Intangible Benefit

Logikanya sederhana. Manusia dianggap rasional. Semakin baik transportasi umum (murah, cepat, aman dan nyaman), maka seseorang pengendara kendaraan pribadi akan melakukan cost benefit analysis dan pada akhirnya memutuskan memarkir kendaraan pribadinya di garasi rumah untuk beralih menggunakan transportasi umum.

Tapi sayangnya manusia tidak rasional. Ia adalah makhluk yang “terkadang” irasional, dan melakukan pengambilan keputusan secara emosional. Termasuk soal pemilihan moda transportasi. Contoh gampangnya gini:

Anda punya mobil. Untuk kekantor, Anda harus merogoh kocek untuk bensin, tol dalam kota, biaya penyusutan mobil, dan tentunya parkir. Anggap saja sekitar 50rb sehari. Lalu ada pilihan lain. Anda naik busway yang sekali jalan kemana aja cuma Rp.3.500 saja. Mana yang Anda pilih?

Jika waktu tempuhnya hampir sama, saya yakin Anda tetap memilih mobil pribadi. Kenapa? Karena adanya intangible benefit. Keuntungan yang tidak terlihat secara ekonomis. Dengan membawa kendaraan pribadi Anda akan memiliki fleksibilitas, kekuasaan menentukan tujuan, dan feel good factor terhadap kepemilikan sebuah komoditas bernama kendaraan pribadi.

John Locke pernah mengemukakan teori stratifikasi social. Dan dari zaman revolusi industry sampai reformasi selalu ada stratifikasi social. Manusia dikelompokkan menjadi tingkatan-tingkatan tertentu. Penentu status social. Dan ternyata penandanya selalu sama: kekayaan pribadi. Jika zaman dahulu kekayaan Anda dilihat dari seberapa luas tanah Anda, maka sekarang dilihat dari jumlah rekening bank, merk baju, type handphone yang ditenteng, dan kendaraan yang dikemudikan.

Saya ingin berkata, membawa kendaraan pribadi akan mengangkat status sosial Anda daripada naik kendaraan umum. Dan masyarakat urban hidup dalam citra. Mereka sangat memuja pencitraan materialistis, sehingga diperlukan sebuah “rekayasa social” untuk mengubahnya.

Bagaimana cara mengubah mindset masyarakat agar merasa jika menaiki kendaraan umum lebih “bergengsi” daripada kendaraan pribadi?

Suri Tauladan

Suatu hari Gandhi didatangi seorang Ibu. Ia mengeluhkan kebiasaan anaknya yang tidak dapat berhenti makan permen. Ia meminta orang bijak ini untuk menasihati anaknya dan menyuruhnya berhenti makan permen.

Bukannya menasihati, Gandhi menyuruh sang Ibu kembali beberapa hari kemudian. Sang Ibu yang kebingungan bertanya-tanya mengapa untuk menasihati anaknya saja Gandhi harus menunggu beberapa hari akhirnya menurut. Beberapa hari kemudian ia kembali.

Akhirnya Gandhi menasihati sang anak untuk berhenti makan permen. Setelah itu, Ibu ini bertanya kepada Gandhi, mengapa ia harus menunggu berhari-hari untuk menasihati anaknya? Jawaban Gandhi sederhana.

Untuk menasihati anak agar berhenti makan permen, maka orang yang menasihati juga harus berhenti makan permen. Karena itulah, Gandhi mencoba berhenti makan permen agar bisa menasihati sang anak untuk tidak memakan permen lagi.

Pelajarannya? Pemimpin harus memberi contoh. Pemimpin tidak akan berhasil membujuk warganya menggunakan transportasi umum jika ia sendiri tidak pernah menggunakan transportasi umum untuk kegiatan sehari-hari. Bagaimana mungkin pemimpin berniat melakukan perubahan system transportasi umum jika ia sehari-hari duduk nyaman dalam kawalan vorijder polisi didalam mobil pribadi?

Jika misalnya ada gerakan “pejabat naik trans Jakarta”, maka suatu saat mungkin akan diikuti oleh public figure lainnya. Jika public figure dan tokoh masyarakat berlomba-lomba menggunakan transportasi umum, baru saya percaya jika “hasrat kepemilikan” kendaraan pribadi dapat ditekan.

Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang memberi contoh. Jika Anda ingin orang lain tidak korupsi, maka partai Anda sendiri jangan sampai korupsi. Jika Anda ingin orang lain bersikap baik kepada Anda, maka Anda sendiri harus bersikap baik kepada orang lain. Karena satu tindakan lebih menggema dari seribu pernyataan.

Well done is better than well said.

Ingat pesan Hilel yang mendapat pertanyaan dari seorang kafir tentang pelajaran kebijaksanaan dalam cerita klasik Yahudi. Kaum pagan ini berjanji untuk masuk agama Yahudi jika dia bisa membaca seluruh Taurat sementara dia berdiri di satu kaki. Hilel menjawab:

“Apa yang tak engkau sukai untuk dirimu sendiri, jangan lakukan kepada sesamamu. Itulah seluruh Taurat dan sisanya hanyalah komentar. Pelajarilah.”

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

4 Komentar:

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...