Rabu, 11 Juli 2012

Hambarnya Janji Politik Pilkada Jakarta





Oleh: Muh. Syarif Hidayatullah


Janji adalah elemen paling mendasar dalam suatu kampanye Pilkada. Janji merupakan produk yang akan ditawarkan oleh Calon Gubernur (cagub) kepada para pemilih (voters), dan pemilih akan “membeli” salah satu dari sekian produk yang ditawarkan tersebut. Demi memastikan kursi kekuasaan, seharusnya para Calon Gubernur berlomba-lomba membuat  janji yang berkualitas sehingga dapat menarik minat para pembeli. Akan tetapi kenyataan justru jauh ideal.

Politik pada dasarnya mengikuti hukum supply demand. Politikus yang mengingankan suatu jabatan adalah produsen yang menawarkan produk berupa janji/program, yang akan dilahap oleh  pembeli (pemilih) dengan imbalan berupa suara (vote) (Mitchel, 1968). Pada teori pilihan publik (public choice theory) hal ini disebut sebagai pasar politik (political market). Dalam konteks pemilihan umum, inputnya adalah evaluasi preferensi individu atas pertukaran yang hendak ditawarkan. Misalnya, pemerintah/politisi menawarkan program di dalam pemilu, maka pemilih akan menilai, mengevaluasi, dan menentukan prefrensinya (Rachbini, 2006).  

Di Indonesia, kualitas substansi janji nampaknya bukan hal yang mutlak. Janji, visi-misi dan program tidak lebih daripada pemanis seremonial kampanye. Janji seringkali hanya menjadi taglineposter, leaflet dan iklan, tapi tidak ada penjelasan yang cukup komprehensif terkait kebijakan publik apa yang akan diambil oleh sang Cagub apabila terpilih. Disisi lain, isi dan perencanaan kebijakan seorang Cagub bukanlah hal yang cukup “seksi” bagi pemilih Indonesia. Figur, background, dan pencitraan dari seorang calon lebih menjadi pertimbangan utama bagi pemilih.  

Janji dalam Pilkada Jakarta 
Mari kita berkaca pada Pilkada DKI Jakarta yang segera berlangsung. Menurut penulis, ada tiga hal yang menjadi kelemahan utama dari janji-janji calon Gubernur DKI Jakarta. Pertama, tidak adanya rancangan anggaran. Kedua, minim kreasi dan banyak repitisi. Ketiga, tidak ada detail kebijakan.

Pertama, anggaran merupakan dasar dari semua kebijakan publik. Ketersediaan  anggaran menentukan kebijakan publik apa yang mungkin dapat dilaksanakan. Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada satupun dari calon Gubernur Jakarta yang mencantumkan jumlah anggaran yang mereka butuhkan untuk merealisasikan janji-janji mereka.
Janji memang mudah diumbar, akan tetapi untuk merealisasikannya dibutuhkan anggaran yang memadai. Contohnya, salah satu calon Gubernur Jakarta mengumbar akan memberikan pendidikan gratis dari SD hingga SMA jika terpilih. Secara normatif, janji tersebut sangatlah baik. Akan tetapi, apakah anggaran DKI Jakarta (APBD) memadai untuk merealisasikan visi tersebut.

Saat ini, alokasi anggaran untuk pendidikan Provinsi DKI Jakarta mencapai 28,9% dari APBD. Dengan jumlah anggaran tersebut, pendidikan gratis dapat terlaksana hingga level SMP. Apabila pendidikan gratis direalisasikan hingga level SMA, seperti janji sang calon gubernur, maka anggaran pendidikan tentunya akan membengkak hingga di atas 35% APBD. Apakah hal ini sudah diperhitungkan oleh sang calon Gubernur?

Selain dari sisi pengeluaran, harus diperhitungkan sisi penerimaan. Apabila janji-janji kampanye dilaksanakan, maka akan ada pembengkakan dari sisi pengeluaran, oleh sebab itu harus ada peningkatan dari sisi penerimaan. Seorang calon gubernur seharusnya sudah melakukan kalkulasi terhadap hal tersebut. Seperti sumber penerimaan apa yang harus dimaksimalkan dan kebijakan fiskal apa yang bisa dilakukan. Apakah sang gubernur akan menaikkan pajak daerah, memperbasar retribusi, atau melakukan kebijakan fiskal lainnya.

Kedua, janji yang dikeluarkan oleh para kandidat sangat minim kreasi dan banyak repetisi. Kebijakan yang dibawa oleh Cagub seringkali hanya repetisi dari rencana kerja Pemerintah yang sudah ada. Contohnya, ada Cagub yang mengatakan akan membangun Mass Rapid Transit (MRT) untuk mengatasi problematika kemacetan Jakarta. Padahal rencana pembangunan MRT sudah lama dibahas dan sudah disepakati jauh sebelum Pilkada dilaksanakan. Siapapun yang menjadi Gubernur DKI Jakarta, proyek MRT akan tetap berjalan. Hal ini yang akan menimbulkan bias kebijakan dan akan berujung pada klaim atas keberhasilan suatu kebijakan.

Ketiga, tidak ada detail kebijakan. Setiap Cagub DKI Jakarta pada dasarnya membawa isu yang sama, yaitu seputar kemacetan, banjir dan isu ketimpangan sosial. Persoalannya adalah, solusi yang ditawarkan seringkali mengambang dan tidak bisa diukur secara jelas. Para Cagub dengan mudah mengklaim akan mengatasi banjir dan kemacetan. Akan tetapi, bagaimana caranya (how) dan timeline pelaksanaan kebijakan (when) tidak tercantum secara detail.

Contohnya, banyak Cagub yang menyatakan akan mengatasi problem kemacetan. Tapi tidak ada yang mencantumkan bagaimana langkah-langkahnya. Apakah harus membuat jalan baru?jika iya seberapa panjang jalan baru akan terbangun setiap tahunnya dan dibangun dengan anggaran apa (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau dengan skema public private partnership).

Saat ini rata-rata kecepatan kendaraan di Jakarta hanyalah 13-15 Km/jam, sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan kecepatan tempuh perkotaan di kota-kota di Jepang (20 Km/jam) ataupun di Inggris (40 Km/jam) (Parikesit, 2011). Seorang Gubernur harusnya dapat membuat parameter yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan tersebut. Seorang calon Gubernur harus berani mengatakan bahwa dia menargetkan rata-rata laju kecepatan kendaraan di tahun 2012 menjadi 18 Km/jam, 2013 menjadi 25 Km/Jam, dan seterusnya. Dari situ, masyarakat dapat melakukan penilaian atas realisasi dari janji yang sudah dibuat.           

Tiga kelemahan tersebut akan menyebabkan kebijakan publik yang buruk (bad public policy). Calon Gubernur menawarkan berbagai program yang mengambangkan tanpa ada parameter keberhasilan dan langkah kebijakan yang jelas. Hal ini menyebabkan masyarakat (pemilih) akan kesulitan untuk melakukan evaluasi ketika sang Cagub menjabat.

Disisi lain, masyarakat Indonesia cenderung memilih calon gubernur bukan berdasarkan substansi kebijakan. Sehingga apabila pemerintahan sudah berjalan, masyarakat tidak akan melakukan pengawasan melekat  terhadap sang gubernur, karena semenjak awal masyarakat tidak peduli akan program-program dan kebijakan yang ditawarkan. Pada akhirnya, kombinasi atas tidak adanya akuntabilitas rencana kebijakan dan ketidakpedulian pemilih ini akan menimbulkan kebijakan publik yang buruk.

Hal ini tentunya harus dihindari agar roda pemerintahan di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Politisi (pada calon gubernur) harus melakukan edukasi politik kepada masyarakat terkait pentingnya substansi dari janji kampanye yang ada dan memperbaiki tahapan perencanaan kebijakan publik yang mereka tawarkan. Disisi lain, masyarakat harus mulai lebih peduli terhadap detail dari program yang ditawarkan oleh para calon Gubernur, karena bargaining terkuat masyarakat adalah ketika pemilihan dilakukan. Pemilih dapat memberikan punishment kepada calon yang membawa program yang buruk.

Pilkada DKI Jakarta bisa menjadi percontohan bagi Pilkada yang cerdas dan edukatif. Tingkat pendidikan dan ekonomi yang tinggi seharusnya menjadi jaminan bahwa pemilih di Jakarta siap menerima pola kampanye yang lebih edukatif. Jangan sampai Pilkada DKI Jakarta berlangsung seperti pilkada lainnya, dimana janji hanya sebatas jargon politik.


***

NB: Source pict.: sorotnews.com

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...