Oleh: M Syarif Hidayatullah
Barack Obama memenangi Pemilu USA 2012 dengan perolehan 303
kursi Electoral College, sedangkan Romney hanya meraih 206 Electoral
College. Kemenangan ini sebenarnya sudah dapat diprediksi, karena pada
hakikatnya seorang incumbent lebih mudah dalam memenangi pemilihan karena masyarakat lebih menyukai calon incumbent daripada
alternatif (Laver, 2009, Ashwort, 2006). Kemenangan ini juga
mencerminkan kemenangan suatu mazhab ekonomi, yaitu Keynesian.
Satu hal yang paling menarik dari perdebatan yang terjadi selama masa
kampanye adalah perbedaan pandangan ekonomi kedua calon Presiden.
Dalam konteks ini, seperti yang sudah diketahui secara umum, Obama dari
partai demokrat cenderung kepada mazhab ekonomi Keynesian, sedang
Romney dari partai Republik cenderung pada neoklasik.
Saat ini, ada dua mazhab utama ekonomi, yaitu Keynesian dan
Neoklasik. Perbedaan mencolok dari kedua mazhab ini adalah pada besar
peran pemerintah dalam perekonomian. Mazhab Keynesian mendukung peran
pemerintah dalam mengatur dan menstimulus perekonomian. Sedangkan
neoklasik mendukung berjalannya mekanisme pasar dengan intervensi minim
dari pemerintah.
Menurut Mankiw (2003), Presiden dari Partai Republik tidak menyukai
inflasi, sehingga bersedia menahan resesi untuk menurunkan inflasi serta
menjalankan kebijakan kontraktif. Berbeda dengan para Presiden dari
Partai Demokrat yang cenderung ekspansif untuk menurunkan pengangguran
dan bersedia menahan inflasi. Hal ini terlihat dari data tren GDP riil
USA dari tahun 1948. Rata-rata GDP riil USA pada pemerintahan Presiden
Partai Demokrat pada tahun kedua mencapai 5,9%. Hal ini berbanding
terbalik dari GDP Riil presiden partai Republik yang hanya 0,6%. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kecenderungan kebijakan Presiden Partai Republik
untuk menahan pertumbuhan guna menekan angka inflasi (Mankiw, 2003).
Perbedaan pandangan ini sangat terlihat dari kebijakan pajak yang
diajukan oleh Obama dan Romney. Corak dari kebijakan pajak Roomney
adalah pemotongan pajak, perorangan dan bisnis untuk mendorong
perekonomian. Kebijakan utama Romney adalah memotong pajak penghasilan
korporasi dari 35% menjadi 25%. Selain itu, pajak penghasilan akan
dikurangi sebesar 20%, dimana pajak pada penghasilan tertinggi akan dari
35% menjadi 28%, sedangkan pada penghasilan terendah dikurangi dari
10% menjadi 8%. Romney memiliki visi pada penerapan keadilan pajak,
sehingga tax cut akan diarahkan untuk semua pembayar pajak.
Berbanding terbalik dengan Romney, kebijakan Obama justru akan
mempertahankan pajak korporasi dan pada warga berpenghasilan tinggi. Tax rate pada
Obama adalah sebesar 10% pada penghasilan terendah dan 35% pada
penghasilan tertinggi. Selain itu, Obama memiliki kebijakan untuk
menetapkan pajak sebesar 20% untuk long term capital gains dan 39,6 % untuk deviden, dan tambahan pajak 3,8% untuk capital gains dan
deviden pada rumah tangga berpenghasilan tinggi. Obama memiliki visi
untuk memberikan tax cut hanya pada golongan berpendapatan rendah, yang
berpendapatan US$ 200.000 (US$ 250.000 untuk pasangan), tidak akan
mendapat potongan pajak. Semua kebijakan yang diajukan oleh Obama
tersebut, dijanjikan oleh Romney akan dicabut.
Kedua kebijakan pajak tersebut mencerminkan perbedaan pandangan yang
sangat mencolok. Kebijakan Romney sangat melindungi korporasi dan
masyarakat berpenghasilan tinggi. Diharapkan, dengan adanya pemotongan
pajak, maka korporasi akan lebih leluasa untuk berkembang dan pada
akhirnya akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sedangkan Obama lebih
condong untuk meningkatkan pajak untuk korporasi dan masyarakat
berpenghasilan tinggi, karena dibutuhkan untuk mendukung program jaminan
sosial dan kesehatan, serta menjaga defisit anggaran pada level
rendah.
Kebijakan pajak di atas menjadi contoh pertentangan mazhab neoklasik
dan keyenesian yang terjadi di Amerika. Masyarakat Amerika ditawarkan
dua jenis obat mujarab bagi Perekonomiannya. Dari sinilah warga Amerika
memilih pendekatan mana yang lebih dipercaya untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Kemenangan Obama
Kemenangan Obama memperlihatkan kemenangan Keynesian. Kemenangan ini
menunjukkan bahwa rakyat Amerika membutuhkan Pemerintah dalam
perekonomian. Krisis ekonomi yang melanda Amerika menyebabkan tingginya
angka pengangguran dan kemiskinan. Fenomena tersebut menyebabkan
semakin banyak warga Amerika yang membutuhkan bantuan Pemerintah
(berupa subsidi) untuk menjaga tingkat konsumsinya. Obama menjanjikan
hal tersebut melalui kebijakan jaminan kesehatannya, disisi lain Romney
justru “mengancam” akan mencabut semua hal tersebut. Hal ini yang
menyebabkan warga Amerika lebih menyukai kebijakan ala Obama daripada
Romney.
Pemerintahan periode kedua Obama diharapkan dapat menyelesaikan
berbagai persoalan Amerika Serikat. Menurut penulis, kebijakan fiskal
yang ditawarkan oleh Obama sudah tepat. Obama menjanjikan akan
mengurangi belanja negara dan meningkatkan pajak untuk masyarakat
berpenghasilan tinggi. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan
tabungan nasional (S), sehingga akan meningkatkan persediaan dana pinjaman. Semakin besar dana pinjaman yang ada, maka tingkat bunga equilibrium (r)
akan menurun, dan pada akhirnya investasi domestik akan meningkat.
Peningkatan investasi domestik inilah yang dibutuhkan untuk menciptakan
lapangan pekerjaan bagi warga Amerika Serikat.
Kemenangan Obama ini menjadi cerminan bahwa ide-ide ala keynesian
menjadi preferensi di hati masyarakat di saat krisis. Hal ini sangatlah
normal, karena ketika krisis terjadi, masyarakat akan sangat bergantung
pada Pemerintah. Bertolak belakang, ketika ekonomi sedang tumbuh
pesat, maka ide anti intervensi pemerintahlah muncul.
Bagaimana dengan Indonesia
Pemilu Amerika Serikat menunjukkan kuatnya identitas dari Partai
Politik. Bagaimana dengan Indonesia. Penulis dapat mengatakan bahwa
partai politik di Indonesia tidak memiliki identitas dan mazhab ekonomi
yang jelas. Kebijakan yang diambil tidak lebih dari pertimbangan
politik semata. Contohnya adalah pada kebijakan bailout. Di Amerika, para kaum liberalis sangat menentang kebijakan bailout, karena mempercayai market akan
memperbaiki kondisinya sendiri tanpa perlu campur tangan pemerintah.
Di Indonesia, Partai Politik berhaluan Sosialis dan anti kapitalis,
justru berbondong-bondong menolak kebijakan bailout. Kondisi sangat mencerminkan inkonsistensi ideologi yang dialami partai politik di Indonesia.
Pemilihan di Amerika Serikat dapat dijadikan pelajaran bagi Partai
Politik di Indonesia. Platform dari setiap kandidat jauh lebih jelas
daripada yang ditawarkan di Indonesia. Mazhab yang dianut tegas, pro
pasar atau pro intervensi pemerintah, tanpa perlu takut dikatakan tidak
pro rakyat. Partai Politik Indonesia terjebak dalam politik pencitraan
yang semu sehingga kehilangan identitias pemikirannya. Hal ini yang
harus direvisi dalam menyongsong Pemilu di 2014 nanti. Masyarakat
menunggu Partai Politik yang memiliki identitas dan platform yang jelas.
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...