Senin, 24 Desember 2012

Pelajaran dari Senegal


Sebuah pelajaran berharga dari ASEAN Economic Summit 2012

Pada tulisan kali ini, mungkin tinggalkan dahulu sejenak segala analisa ekonomi, politik dan sebagainya, walau mungkin masih ada beberapa aroma hal tersebut. Lebih dari itu yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini.

“jangan Pesimis. Mengapa kalian melihat Negara kalian sejelek itu terhadap Negara lain dan terhadap integrasi ini (AEC), padahal kalian punya banyak kesempatan lebih dari pada kami”.

Pernyataan itulah yang dilontarkan oleh seorang sahabat yang berasal dari negeri jauh di tanah kaya, benua Afrika, tepatnya Senegal. Sebuah Negara nan jauh disana, tapi masih memiliki harapan untuk terus maju, ingin menjadi seperti Negara-negara di eropa, bahkan menjadi seperti Indonesia pun, mereka sudah bersyukur.

Senegal merupakan Negara bekas colonial asal Napoleon Bonaparte berkuasa, Perancis. Dari A hingga Z, Senegal diatur oleh Negara besar ini, bahkan hingga sekarang belum dapat lepas ketergantungannya dari Negara tersebut. Bagaimana dengan Negara kita, secara kasat mata, KITA BEBAS!

Pernyataan sahabat berkulit gelap ini mau tidak mau telah menusuk hati para pemuda Indonesia di konfrensi tersebut yang amyoritas menjadi peserta. Pemuda dari benua seberang pun masih mengakui kalau Indonesia punya banyak kesempatan dari mereka, lalu mengapa pemuda kita masih tidak yakin dengan Negara kita. Wah, takut nanti kita tidak bersaing, takut nanti kita bakal dikuasai dan diperalat oleh Negara lain, atau kita takut integrasi ini bakal mengarah pada hal-hal yang sebelumnya tidak bisa kita terima sebelumnya. Mari kita putar balik, bung.

“Pemuda tidak seharusnya pesimis, tapi harus menjadikan dirinya sebagai pilar pengembangan, jadilah lebih kompetitif”.

Sebuah kutipan lagi dari sang sahabat, pemuda haruslah optimis. Free flow of labor mengindikasikan aritnya kelak saat AEC 2015 dimulai, pemuda dari seluruh ASEAN akan dengan mudah keluar masuk Negara anggota untuk mencari pekerjaan. Pemuda Malaysia akan dengan mudah kerja di Yogyakarta, pemuda dari papua pun akan dengan lebih leluasa untuk bisa bekerja di Singapura. Siapa yang tidak ingin memperkerjakan atau bekerja sama dengan orang yang memiliki kualifikasi yang mumpuni. Jangan sampai pemuda Indonesia tidak lebih kompetitif dari pemuda Vietnam. Ya, seharusnya kita menjadikan AEC sebagai motivasi kita untuk bisa lebih baik dari pemuda yang ada di Negara anggota ASEAN, bukan malah menjadikan AEC sebagai momok dengan alasan kemampuan bersaing.

Lagipula, AEC adalah sebuah laboratorium yang akan mempersiapkan Negara- Negara ASEAN terhadap ekonomi global yang kelak akan makin terintegrasi seiring dengan perkembangan tekonologi, yang pasti perekonomian global akan jauh lebih kompetitif. Bagaimana Negara ini menjadi lebih maju adalah tugas kita, kurangi resistensi terhadap perubahan untuk kemajuan. AEC bukanlah hantu yang akan menakuti kita dengan ketidakberdayaan dalam menghadapi persaigan ini, tetapi AEC adalah sebuah batu loncatan untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih bisa menyatu dan saling berintegrasi.

“Never Complain with other country competitiveness, but make us, the youth and your country to be more competitive”.

Ardhi Hiang

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 Komentar:

  1. Takut itu wajar karena kita melihat dampak yang [mungkin] tidak begitu menguntungkan untuk Indonesia, melihat dunia pendidikan kita yang belum mupuni, tapi untuk kata kemajuan kita harus optimis karena yang namanya kompetisi ya kita harus hadapi [ini apa ya]... ah seoragn sahabat pernah bilang "kita tak akan tau kalau belum mencoba" so mari kita coba :))

    BalasHapus
  2. Memang benar dunia persaingan kini sangat kompetitif, oleh karena itu kita harus bisa lebih optimis dan lebih mempersiapkan diri untuk itu

    visit n folbak y ^_^

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...