Rabu, 07 Januari 2015

Apakah "Membunuh" Tiket Murah bisa Menyelesaikan Masalah?

Anda ingin menjadi jutawan? Gampang. Jadilah milyader dan mulailah bisnis penerbangan.

Joke diatas sering digunakan untuk menggambarkan ketatnya bisnis penerbangan. Industri yang tergolong canggih, keren, tapi anehnya: tidak terlalu menguntungkan! Ga percaya? Coba baca report CAPA (center of aviation) yang menyebutkan bahwa 80% maskapai di Asia Tenggara mengalami kerugian pada semester I 2014.

14206171391453461062

Derita industri penerbangan masih belum berlanjut. Kejadian yang menimpa salah satu maskapai yang terbang dari Surabaya menuju Singapura membuat menteri perhubungan kita yang baru punya solusi yang radikal: menerapkan tariff batas bawah untuk tiket penerbangan.

Alasannya mulia, demi keselamatan bersama. Dia beranggapan jika low cost berarti low safety, sehingga solusinya simple: Untuk meningkatkan keselamatan, tingkatkan harga tiket.

Pertanyaannya: apakah kebijakan ini cukup bijak untuk diterapkan?

Berkenalan Dengan LCC

Sebelum mengkritisi maskapai berbiaya hemat, ada baiknya kita mengetahui prinsip dasar LCC (low cost carrier). Oh ya, saya menulis ini karena merupakan pengguna setia LCC. Tanpa LCC, golongan masyarakat sudra seperti saya takkan mampu menginjakkan kaki diluar negeri, atau pun merasakan pipis di ketinggian 38 ribu kaki di dalam sebuah benda bernama pesawat terbang.

LCC adalah sebuah pilihan business model dimana efisiensi dilakukan untuk menekan biaya yang tidak diperlukan. Ingat ya, biaya yang tidak diperlukan! Bukan berarti karena LCC, berarti avtur hanya diisi separuh, atau mesin yang nyala cuman satu. Sepanjang pengalaman saya numpang maskapai biaya hemat (mulai dari Singa Terbang, si Macan, Citi ijo, sampai Air warna merah) alhamdulilah belum menemui masalah soal safety.

LCC hanya mengurangi komponen-komponen pelayanan yang tidak esensial, dan mengubahnya menjadi profit center. Kalo naik LCC, siap-siap aja puasa karena ga dapat makan and harus beli. Ada yang milih kursi pake bayar. Ada juga yang bagasi internasional dikenakan biaya tambahan. Pokoknya banyak biaya “plus-plus” yang sifatnya “sunnah”. Ga wajib seperti full service airlines. Kalau situ mau ya silahkan beli, kalo ga butuh ya ga beli gak papa. Masalah buat lo?

Saya jatuh cinta dengan konsep LCC setelah membaca buku Jim Collins, Great by Choice. Di buku itu, Collins membahas salah satu perusahaan LCC terbaik sepanjang masa: Southwest Airlines. Ia menobatkan Southwest sebagai one of most valuable company sepanjang abad 20. Terus menerus menghasilkan laba, growth yang stabil, kepemimpinan yang unik dari Herb Kelleher, dan tetap terbang disaat maskapai lain dinyatakan bangkrut.

Southwest bisa survive dan terbang tinggi karena menerapkan aturan basic LCC: menjaga safety, menerapkan efficiency di segala lini, focus ke penerbangan rute jarak pendek, menggenjot pendapatan dari service tambahan, dan tetap melakukannya dengan cara yang “fun”. Jangan kaget jika melihat CEO airline ini memakai baju badut dan menyambut Anda di pesawat.

Bagaimana dengan LCC yang memberikan harga jor-joran sampai nol rupiah? Gimana bisa safe kalau murah banget? Kalau ada yang ngomong kaya gini, berarti dia bukan traveler sejati yang masuk golongan PPT (bukan Para Pencari Tuhan) tapi “Pemburu Promo Tiket” hehehe.

Mana ada airlines mau rugi? Harga yang dipromosikan belum termasuk fuel surcharge, IWJR (iuran wajib jasa raharja), and biaya lain-lain. Total, bisa sampai ratusan ribu rupiah. Terakhir teman saya mendapatkan harga 350rb untuk Jogja-Singapura return. Padahal dia mengaku sudah mendapatkan tiket “NOL rupiah”. Selain itu, tingkat ketersediaan seat juga ga banyak. Saya terkadang kudu stand by malam-malam nemenin hansip ronda untuk rebutan kursi dengan harga miring seperti yang diiklankan.

Golongan Tidak Mampu Dilarang Terbang?

Jika kebijakan tarif batas bawah jadi diterapkan, setidaknya ada tiga pihak yang dirugikan: maskapai berbiaya hemat, pemerintah sendiri, dan masyarakat luas pada umumnya. Maskapai LCC jelas dirugikan karena selama ini mereka menggunakan harga sebagai competitive advantage. Jika harga tidak berbeda jauh dengan full service, konsumen tentu memilih full service.

Harga yang dinaikkan sudah tentu pada ujungnya menurunkan permintaan akan pesawat terbang. Padahal 
baru 15% orang Indonesia yang bepergian lewat udara. Angka ini pun bisa tumbuh karena didorong berkembangnya maskapai berbiaya hemat. Turunnya penumpang berarti turunnya pendapatan angkasa pura, yang berarti turunnya pendapatan negara.

Intinya saya sebagai konsumen setia LCC ingin agar kita semua menggunakan kepala dingin. Biarkan tim KNKT bekerja dan menemukan penyebab musibah, ambil hikmah dan pelajaran dari kejadian ini, perketat safety regulation, dan jangan gelap mata dengan mengorbankan business model yang terbukti sudah membantu jutaan orang untuk terbang di udara.

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

3 Komentar:

  1. Nice article...sy yakin Jonan punya pertimbangan lain memutuskan menaikan ambang batas tiket pesawat..

    BalasHapus
  2. trimakasih infonya,,,
    sangat menarik dan bermanfaat,,.
    salam sukses,,.

    BalasHapus
  3. Safety mmg costly... tp tanpa disadari safety adalah penghematan cost di jangka panjang... sooo safety first... lcc tetep hrs safe...

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...