Minggu, 27 Maret 2016

Mengejar Valuasi, Cerita Perusahaan yang Sengaja Rugi


“Serem”. Kata yang tak saya sangka akan diucapkan oleh Pak W, salah satu petinggi biro iklan multinasional ketika mengomentari belanja iklan jor-joran dari perusahaan e-commerce. 

Malam itu pertengahan tahun 2015. Kami sedang makan malam dalam rangka memperkenalkan direktur baru kami kepada partner, salah satunya media agency dimana Pak W bekerja. Kita sedang berdiskusi tentang hebohnya startup. Karena tiga tahun terakhir adalah surga bagi “perusahaan online”. Semua berinvestasi jor-joran, termasuk untuk belanja iklan.

“Kelihatannya sih bagus, tapi siapa siapa bisa jamin tahun depannya? Contohnya si Rocket internet (group dibalik Lazada, Zalora dll), tahun lalu dia spending gila-gilaan. Tapi kalo tiba-tiba dia decide untuk tutup operasinya dari Indonesia? Kita yang pusing dikejerin media”.

Dia kemudian menyinggung strategy “burning money” serta “cut loss” yang biasa terjadi dalam dunia start up. Burning money berarti mereka rela rugi, sedangkan cut loss maksudnya mereka bisa kapan saja hengkang saat dirasa perusahaan yang mereka bangun tidak berkembang.

 “Sekarang di dunia ini, ada dua jenis perusahaan”. Pria botak yang sempat menjadi direktur salah satu airlines itu lalu bercerita.

“Ada operation company, dimana perusahaan mencari untung dari proses operasi yang dilakukan. Mereka memproduksi barang dan jasa, lalu dijual dengan margin untuk mendapatkan keuntungan. Nah selain itu, ada namanya valuation company. Mereka tidak mengejar keuntungan dari operasi, tapi valuasi bisnis yang dilakukan oleh potensial investor”.

Bakar Duit, Dapat Duit

Ia lalu mencontohnya Traveloka. Online travel agent yang iklannya bisa kita lihat setiap hari. Bagaimana mungkin tiket yang dijual di Traveloka bisa lebih murah dari website airlines sendiri?

“Karena mereka tidak mengejar keuntungan. Komisi di bypass ke konsumen, ditambahin subsidi. Convenience fee tidak dibebankan ke pembeli. Mereka berani rugi, yang penting traffic masuk, dapat user gede yang pada ujungnya membuat Traveloka seksi dimata investor”.

Beberapa media meng-klaim Traveloka berpotensi menjadi startup unicorn, perusahaan dengan valuasi 1 milyar dollar. Dengan tingginya potensi traffic, user, dan masa depan industri travel di Indonesia, tak heran jika mereka mendapat suntikan dana dari Global Founders Capital, salah satu venture capital elit dunia yang punya uang ga berseri.

Mungkin karena itu juga start up macam Go-jek dan Grab Bike melakukan hal yang sama. Rela “bakar duit” dengan mensubsidi tarif antar penumpang dan barang, ngasih komisi lumayan ke driver, hingga ngiklan kemana-mana.

Go-jek dikabarkan mendapat pendanaan dari beberapa private equity macam Northstar Group dan Sequoia capital yang nilainya lumayan gede (konon total bisa ratusan juta dollar). Sedangkan Grab dapat 350 juta dollar dari China Investment Corporation. Pokoknya , kalo duit para venture capital ini dibelikan es dawet, kita bisa bikin kali Ciliwung full of dawet.

Valuasi

Apa yang dicari oleh venture capital ketika memodali sebuah perusahaan startup?

Back to basic: duit. Venture capital bukan orang bego atau sinterklas yang rela duitnya dibakar begitu saja. Seperti kata pepatah:

“Dibutuhkan ikan kecil untuk menjadi umpan ikan besar”

Mereka berinvestasi karena percaya akan nilai dari business model yang diciptakan. Sekaligus pasti berharap return di kemudian hari. Setiap investasi yang dilakukan pasti sudah ada perhitungannya. Berapa tahun harus merugi, kapan harus mulai melepas subsidi, kapan harus profit taking, termasuk menghitung valuasi saat “exit strategy”.

Ya, mayoritas venture capital mensupport startup untuk “dijual” lagi. Mereka mendanai masa inkubasi, mendapat jatah saham, untuk kemudian dijual ke pemodal lain  dengan keuntungan yang berlipat-lipat. Itulah yang disebut “exit”. Studi dilakukan Tyebjee and Bruno (1984), mayoritas venture capital sudah punya strategy untuk keluar saat mereka baru mendanai startup itu.

Sedangkan berdasarkan riset yang dilakukan Miloud et al (2015), valuasi startup yang dilakukan venture capital berdasarkan beberapa faktor:
a.      
 Product differentiation – sejauh mana produk itu benar-benar unik dan punya “disruptive effect”
b.       
Industry growth – apakah industri ini berprospek cerah?
c.       
 Entrepreneur dan manajerial – siapa dibalik tim manajemennya?
d.      
 Network – sejauh mana startup itu mampu membangun jaringan

Intinya jika Anda ingin dapat funding jutaan dollar dari venture capital: temukan industry yang akan booming, ciptakan produk yang inovatif, miliki tim yang solid, dan kembangkan jaringan seluas-luasnya.

Karena mimpi utama semua venture capital adalah ketika startup yang didanai-nya bisa go public dan listing di bursa saham. Ketika itu terjadi, mereka telah lulus ujian sebagai seorang kapitalis yang sukses menciptakan mesin pencetak uang. Seperti kata salah satu maestro valuasi saham, Warren Buffett:

“Price is what you pay. Value is what you get”.

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

3 Komentar:

  1. persaingan yang ketat...
    aku jadi lebih tertarik untuk bisnis di dunia online...

    BalasHapus
  2. dunia online, spertinya jenis TUHAN yang baru

    BalasHapus
  3. Sekarang marketplace2 yg ada di indonesia lagi gencar2nya bakar duit, persaingan makin ketat skrg..

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...