Oleh: Yoga P.S
Dalam diskusi “Great Thinker” ekonomi kerakyatan untuk mengenang almarhum Prof Mubyarto yang diselenggarakan Pasca Sarjana UGM pada 24 Maret 2011 lalu, para pembicara mendapat tantangan hebat. Pertanyaan datang bertubi-tubi kepada Edi Suandi Hamid (ketua forum Rektor Indonesia) dan Mudrajad Kuncoro (guru besar FEB UGM). Inti semua pertanyaan sebenarnya sederhana:
Dalam diskusi “Great Thinker” ekonomi kerakyatan untuk mengenang almarhum Prof Mubyarto yang diselenggarakan Pasca Sarjana UGM pada 24 Maret 2011 lalu, para pembicara mendapat tantangan hebat. Pertanyaan datang bertubi-tubi kepada Edi Suandi Hamid (ketua forum Rektor Indonesia) dan Mudrajad Kuncoro (guru besar FEB UGM). Inti semua pertanyaan sebenarnya sederhana:
“Bagaimana sih, aplikasi ekonomi kerakyatan itu?” Ini  adalah pertanyaan klasik yang ditembakkan sejak zaman saya masih  imut2  (semoga Prof Mubi dialam kubur memaafkan saya dan sudah  menemukan  jawabannya). Tentang bagaimana membawa konsep ekonomi, yang  katanya baru  dan khas Indonesia (ada yang menyebutnya sistem ekonomi  Pancasila),  kedalam ranah praktis dikehidupan sehari-hari.
Karena secara konsep, hampir semua orang akan memberikan standing ovation  kepada sistem ekonomi ini. Bagi Anda yang belum tahu “hewan” jenis apa   itu ekonomi kerakyatan (sebenarnya saya juga tidak tahu :p), intinya   mungkin seperti ini:
Ekonomi  kerakyatan adalah sistem ekonomi dari rakyat, oleh  rakyat, dan untuk  rakyat yang berlandaskan asas keTuhanan, kemanusiaan,  persatuan,  kerakyatan, serta keadilan social.
Indah  sekali bukan? Sayangnya ahli ekonomi dibayar bukan untuk  melahirkan  puisi, karena kita harus kembali kepertanyaan dasar:  “Bagaimana  praktiknya?”. Dalam hal inilah, banyak dari kita menderita  “rabun jauh”  sistem ekonomi. Penyakit apa lagi itu?
Rabun Jauh
Menurut saya Mubiarto telah “mengkotakkan” teori yang dikembangkannya sendiri. Ia beranggapan bahwa ekonomi kerakyatan hanyalah sistem ekonomi mikro yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan. Wong cilik bahasa gampangnya.
Jika  sistem ekonomi kerakyatan hanya berbicara dalam  tataran ekonomi  sub-mikro, bagaimana ia dapat menjawab tantangan  perkembangan ekonomi  yang mau tidak mau, suka tidak suka, akan menata  dirinya sendiri menjadi  sebuah korporasi? Sistem kelembagaan ekonomi  yang lebih powerful,  efektif, dan efisien daripada koperasi ala wong  cilik yang  digembar-gemborkan sistem ekonomi kerakyatan.
Inilah  yang menurut saya menjadi sebuah penyakit “rabun  jauh”. Kita hanya  dapat melihat sistem ekonomi kerakyatan pada tataran  subsistem sub-mikro  tanpa pernah mampu melihat jauh kedepan dalam  konteks visi evolusi  sistem ekonomi tingkat tinggi.
Size vs value
Rabun  jauh kedua yang menyergap pendukung ekonomi kerakyatan adalah  kebiasaan  hanya menggunakan ukuran ekonomi untuk menentukan  “kerakyatan” atau  tidaknya sebuah entitas ekonomi. Kita menganggap  ekonomi kerakyatan  hanyalah milik petani gurem, penjual angkringan,  atau perajin gerabah.  Kita membonsai pemikiran kita sendiri dengan  menganggap korporasi multi  nasional bukan bagian dari ekonomi  kerakyatan karena mereka terlalu  besar untuk dianggap sebagai “rakyat”.  Kita juga seolah-olah  mengharamkan pelaku ekonomi mikro, untuk dapat  berkembang menjadi  raksasa korporasi.
Lalu pertanyaannya, yang menentukan “kerakyatannya” itu ukuran ekonomi atau value  kerakyatan itu sendiri? Apakah tidak mungkin korporasi multinasional   menerapkan asas keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan   keadilan social? Bagaimana dengan Grameen Bank yang assetnya sudah   menggurita? Apakah haram menyebutnya hasil pengembangan ekonomi   kerakyatan?
Menurut  saya, daripada paranoid terhadap cengkeraman  asing dan berlindung dalam  jubah “anti neoliberal”, sebaiknya kita  berpikir bagaimana caranya  angkringan dapat dipatenkan dan buka cabang  di Amerika sana.

bukannya kalau menjadi besar bagus? ya, asal nggak lupa --> untuk rakyatnya setelah menjadi besar (jangan seperti kacang lupa kulit). nggak usah jauh2 jadi korporasi, tempat makan yg skrg terkenal (dulunya kecil) umumnya tidak memperlakukan konsumen dengan baik. seolah-olah konsumen itu 'mengemis' makanan, tidak dilayani dengan ramah, padahal kita bayar loh!
BalasHapus