Tampilkan postingan dengan label Riza Rizky Pratama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Riza Rizky Pratama. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 November 2011

Researchpreneur

Oleh: Riza Rizky Pratama

Tulisan ini dibuat setelah saya mencermati akun twitter seorang motivator. Celotehan twitternya sangat khas: kalo si otak KIRI bla bla bla, kalo si otak KANAN bla bla bla (anda pasti mulai mengenalnya :P). Saya akui bahwa pemikiran beliau memang sesuai dengan fakta bahwa orang yang mengandalkan otak kiri biasanya berpikir analitis dan hal apapun cenderung diperhitungkan sebelum dilakukan. Sedangkan orang yang cenderung mengandalkan otak kanan pada umumnya berjiwa nekat dan berani ambil tindakan meskipun berisiko tinggi.

Oke, kedua hal itu memang fakta. Namun saya kembali teringat bahwa ada satu ketentuan Tuhan yang tidak terbantahkan bahkan oleh fakta tersebut: Bukankah otak manusia terdiri dari 2 belahan otak yaitu kiri dan kanan? Kenapa kita harus merasa bangga dengan hanya satu belahan otak dan cenderung meremehkan belahan otak yang lain? Sudah, sudah (logat Nunung OVJ :P), saya tidak ingin berdebat tentang otak kiri dan kanan. Saya hanya mencoba “mengakurkan” kedua belah otak tersebut melalui tulisan iseng yang insya Allah bermanfaat: Researchpreneur. Apa sichresearchpreneur? Just cekidot, yow!

Researcher & Enterpreneur: Dua Profesi, Satu Nasib
Apa sich reseacher itu? Lalu kenapa pula saya “kawinkan” profesi tersebut dengan enterpreneur? Yo wiss sebelum tambah ngawur, mari kita bahas pengertian dari kedua profesi tersebut. Definisiresearcher di dalam bahasa Indonesia biasa disebut sebagai peneliti. Researcher berasal dari kataresearch yang dalam bahasa Londo bermakna:

“Systematic inquiry into a subject in order to discover or check facts”

Menurut Keputusan SA-ITB No. 032/SK/K01-SA/2002 disebutkan bahwa penelitian atau riset adalah kegiatan eksplorasi untuk menggali ilmu dan pengetahuan baru yang dilakukan menurut kaidah dan metodologi yang absah untuk memperoleh informasi, teori, model melalui eksperimen, ekspedisi, proses penemuan (discovery and invention). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa peneliti adalah orang yang melakukan penyelidikan terhadap suatu subjek dalam rangka untuk menemukan sebuah fakta atau penemuan terbaru.

Dalam konteks terapan, penelitian juga biasa digunakan untuk menemukan solusi untuk masalah tertentu dalam bisnis, seperti menurunnya kinerja keuangan perusahaan, menurunnya laba perusahaan, dll. Menurut Gay dan Diehl (1992) tujuan penelitian terapan yakni:
  • Untuk mengevaluasi suatu keputusan atau kebijakan.
  • Untuk kegiatan penelitian berikutnya (penelitian dan pengembangan)
  • Untuk menemukan rencana tindakan, yang digunakan dalam pemecahan masalah.
Kemudian profesi enterpreneur berasal dari istilah enterpreneurship yang dalam bahasa Indonesia biasa akrab disebut kewirausahaan. Enterpreneur memiliki tiga peran fungsional yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran utama tentang enterpreneurship yaitu:
  • Risk seeking: Entrepreneur yang menganut paham Cantillon atau Knightian bersedia mengambil risiko terkait dengan adanya ketidakpastian.
  • Inovativeness: Entrepreneur yang menganut faham Schumpeter mengakselerasi terjadinya, penyebaran dan penerapan ide-ide inovatif.
  • Opportunity seeking: Entrepreneur yang menganut faham Kiznerian memahami dan memanfaatkan peluang mendapatkan profit.
Wennekers & Thurik (1999) berhasil mensintesiskan peran fungsional enterpreneur ke dalam sebuah definisi sebagai berikut:

“Kemampuan dan kemauan nyata seorang individu, yang berasal dari diri mereka sendiri, dalam tim di dalam maupun luar organisasi yang ada, untuk menemukan dan menciptakan peluang ekonomi baru (produk baru, metode produksi baru, skema organisasi baru dan kombinasi barang-pasar yang baru) serta untuk memperkenalkan ide-ide mereka kepada pasar, dalam menghadapi ketidakpastian dan rintangan lain, dengan membuat keputusan mengenai lokasi, bentuk dan kegunaan dari sumber daya dan institusi.”

Ok deh, definisi keduanya sudah dibahas. Lantas dimana letak kesamaan nasib di antara keduanya? Mari kita bahas satu persatu. Dari sisi jumlah paper ilmiah, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Singapura (5781 paper), Thailand (2397 paper) dan Malaysia. Sementara jika dibandingkan negara-negara maju di Asia, jumlah paper ilmiah Indonesia jauh tertinggal dimana Jepang memiliki 83.484, Cina 57.740 paper, Korea 24.477 paper dan India 23.336 paper. Yang lebih memprihatinkan, jumlah paper ilmiah Indonesia juga hampir sama dengan paper ilmiah dari Vietnam yang memiliki 453 paper selama tahun 2004 tersebut.

Lalu, apa sebenarnya yang membuat hal tersebut terjadi? Berdasarkan fakta yang diungkap oleh Dahana (2009) bahwa di negara maju rasio biaya riset antara swasta dan pemerintah sekitar 80% berbanding 20% sedangkan di Indonesia keadaan tersebut justru berbalik. Dari sisi remunerasi, peneliti kita “dipaksa” kreatif untuk memenuhi pundi-pundi finansialnya. Seorang birokrat di Kementerian Kesejahteraan Rakyat (nama & jabatan dirahasiakan :p) di situs Kompas sekitar sebulan yang lalu menyatakan jika para peneliti kreatif, peneliti bisa memperoleh penghasilan Rp 15 juta sebulan. Beliau juga bilang bahwa profesor riset punya lima “amplop” pendapatan, yaitu gaji, tunjangan peneliti, intensif riset, hasil pendapatan negara bukan pajak dari kerjasama dengan industri dan hasil kerjasama riset dengan pihak asing.

Hal tersebut kemudian ditanggapi dingin (es kalee) oleh ilmuwan bidang kelautan LIPI, Aprilani Soegiarto. Menurutnya, peneliti seharusnya tidak disibukkan dengan mencari banyak “amplop” supaya aktivitasnya fokus untuk meneliti. FYI, pada periode 2006-2009 seorang peneliti Indonesia ditawari oleh Malaysia pendapatan 10 kali lipat dari pendapatannya di institusi tempat dia bekerja. Maka wajar saja jika profesi peneliti terlihat kurang menjanjikan di Indonesia. Pertanyaannya sekarang, pemerintah memang ingin menstimulus kreativitas para peneliti atau ingin lari dari tanggung jawab? Hanya Allah dan mereka (pemerintah-red) yang tahu.

Lalu, apa kabar dengan pengusaha Indonesia? Menurut beberapa survey, jumlah pengusaha di Indonesia relatif kecil yaitu 0,24 dari total penduduk yang ada. Salah satu begawan bisnis Indonesia, Helmy Yahya mengatakan suatu negara akan tumbuh dengan ekonomi yang baik apabila jumlah pengusahanya mencapai 2 persen dari total penduduk. Dia pun menambahkan jika pengusaha Indonesia mencapai 2 persen, pertumbuhan ekonomi nasional akan dapat mengalahkan China yang tumbuh di atas 10 persen. Dia berpendapat kecilnya jumlah pengusaha di Indonesia karena anak-anak kecil dari rumah ke sekolah hanya dididik untuk bisa menjadi dokter (cita-cita saya waktu bocah :P), polisi, tentara maupun pegawai negeri ditambah lagi kurikulum yang ada di sekolah tidak didesain untuk menjadi pengusaha. Pertanyaannya apakah orientasi karir kita yang sempit atau kurikulum yang salah yang membuat sebagian orang enggan menjadi pengusaha?

Researchpreneur: Tiga Kisah
Berdasarkan wangsit dari langit, saya terpikir untuk “mengawinkan” dua profesi beda otak tersebut menjadi sebuah tulisan: researchpreneur. Tidak selamanya orang “berotak kiri” hanya melakukan aktivitas di laboratorium atau perpustakaan kemudian melupakan aktivitas “otak kanan” yaitu pengembangan. Mereka adalah orang-orang “langka” yang mewakili peneliti yang terus mengembangkan ilmunya untuk kemanfaatan masyarakat. Berikut ini adalah tiga kisah researchpreneur Indonesia yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kita.

Pasukan Nyamuk Mandul ala Papa Saya
Kisah ini saya awali dari rumah saya. Ya, papa saya (ternyata) adalah seorang peneliti. Jujur, saya baru benar-benar tahu beliau berprofesi sebagai peneliti ketika saya kuliah semester 3 (anak durhaka :p). Selama ini saya pikir papa hanya berprofesi sebagai PNS di institusi yang berurusan dengan nuklir. Namun setelah beliau pulang dari Austria, saya pun akhirnya tahu bahwa beliau sedang membuat “sesuatu”.

Apa sich “sesuatu” itu? Suatu ketika saya berkunjung ke kantor papa, saya melihat beberapa “kerangkeng” besar terpampang di ruang kerjanya. Bukan kucing, anjing atau monyet yang ada di situ melainkan nyamuk. Nyamuk? Ya, binatang kecil yang selalu bikin pusing anak kost di malam hari tapi bikin bahagia produsen obat dan lotion anti nyamuk. Saya pun bertanya padanya untuk apa “memelihara” binatang menganggu seperti itu di kantornya. Beliau bilang bahwa nyamuk-nyamuk itu “dipelihara” untuk keperluan penelitian pengurangan populasi nyamuk pembawa penyakit seperti Aedes agypti (demam berdarah) dan Anopheles (malaria).

Saya bertanya lagi, bagaimana cara membasminya? Nyamuk-nyamuk yang ada d kerangkeng itu bukan dibunuh satu persatu pakai obat nyamuk melainkan “dimandulkan” dengan teknik radiasi. Beliau memaparkan secara teknis bahwa nyamuk-nyamuk jantan yang ada di kerangkeng tadi “dimandulkan” dengan sejumlah teknik radiasi (saya begitu paham dengan istilahnya, maklum bukan anak teknik nuklir :p). Selanjutnya, “pasukan nyamuk mandul” tersebut dilepas secara periodik ke habitatnya dan bersaing dengan nyamuk alam untuk kawin dengan nyamuk betina sehingga terbentuk telur-telur steril. Singkat cerita, akhirnya terputuslah generasi nyamuk serta siklus penyakit tersebut.

Hasil percobaan pelepasan nyamuk jantan mandul Aedes agypti pada area terbatas di kawasan Pasar Jumat, Jakarta menunjukkan bahwa pelepasan pertama mampu menurunkan populasi nyamuk di alam sebesar 35 persen dan pelepasan kedua menurunkan populasi sebesar 60-80 persen. Lebih lengkapnya, silahkan baca disini. Dalam hati saya bingung penuh tanya, untuk apa sich buat teknologi seperti itu? Bukankah sudah ada cara yang lazim kita gunakan sehari-hari seperti fogging dsb? Karena penasaran, saya tanyakan saja kepada papa pada saat makan malam beberapa waktu yang lalu.

Beliau katakan bahwa nyamuk DBD sudah makin kebal dengan insekstisida dan plasmodium (parasit penyebab malaria) sudah makin kebal terhadap obat. Jadi, cara-cara pembasmian nyamuk berpenyakit secara konvensional saat ini sudah kurang efektif. Selain itu, Teknologi Serangga Mandul (TSM) ini memiliki keunggulan yaitu ramah lingkungan, murah, efektif dan menekan jumlah serangga pengganggu yang ditargetkan. Namun ada satu hal yang membuat saya semakin kagum dengan papa. Ketika itu di meja makan beliau berujar: ”Kalau teknologi ini berkembang, semakin banyak orang yang terhindar dari penyakit berbahaya yang disebabkan oleh nyamuk. Penduduk Indonesia bisa lebih sehat dan produktif. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi kita semakin baik.”

Sebuah paradigma jangka panjang yang membuat saya semakin malu. Malu karena belum bisa berbuat banyak seperti papa. Saya salut sekaligus khawatir karena teknologi yang beliau buat pasti akan berhadapan dengan raksasa ekonomi yang kuat, Industri obat anti nyamuk dan produk turunannya. Namun saya tidak cemas karena dengan doa dan kegigihannya dalam membuat teknologi ini ditambah lagi pergi ke kantor pada saat akhir pekan guna mengembangkan TSM tersebut, suatu saat keajaiban dari Allah pasti akan datang. Seperti yang dikatakan om Mario Teguh, keajaiban hanya datang kepada yang berani. Info seputar riset papa saya bisa disimak di sini dan bisa didengarkan juga di sini (Sekedar info, produk TSM buatan papa saya menjadi riset unggulan yang mewakili institusinya (BATAN) di Kementerian Riset dan Teknologi, we proud of you, dad! :))

Tomografi: Teknologi Pemindai Objek 4D “Mata Superman” ala Dr Warsito
Lain papa saya, lain pula cerita Dr. Warsito. Siapakah Dr. Warsito? Lahir dengan nama lengkap Warsito P. Taruno, pria kelahiran Karanganyar, 16 Mei 1967 menghabiskan masa kecilnya di sawah membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai petani. Sebagai anak desa lereng Gunung Lawu, ia habiskan hidupnya dengan penuh kesederhanaan di tengah pergumulannya dengan sawah dan ternak. Meski anak petani, beliau sangat hobi membaca buku walau harus pinjam milik orang lain. Pak Warsito biasa membaca buku di sawah, ladang dan sungai (sambil berenang kali ye hehe). Intinya, hidup beliau tiada hari tanpa buku. Adapun prinsip yang beliau pegang kala itu “Kambing saya kenyang makan tanaman orang, saya kenyang baca buku.” Aktivitas tersebut dijalaninya hingga lepas masa SMA.

Sebagai siswa berotak encer, Warsito lalu hijrah ke Yogyakarta setelah namanya tertera sebagai mahasiswa Teknik Kimia UGM. Namun sangat disayangkan karena terbentur masalah biaya, Warsito gagal kuliah di kampusnya pak Boediono, Wakil Presiden RI (UGM pasti nyesel berat nich, piss :p). Beruntung, ketika Warsito merantau ke Jakarta, ia mendapat beasiswa di Universitas Shizuoka, Jepang pada tahun 1987. Beasiswa mengantarnya meraih gelar tertinggi akademik (S3), 1997.

Kemudian temuan apa yang membuat Warsito menjadi istimewa? Beliau adalah peneliti Indonesia dan satu-satunya di dunia yang berhasil mengembangkan teknologi tomografi. Apa pula itu tomografi? Teman mainnya si Tommy Soeharto-kah? Well, tomografi adalah teknologi memindai berbagai obyek, dari luar hingga kondisi bagian dalam, tanpa harus merusak penampangnya. Teknologi ini terdiri dari rangkaian sistem sensor, elektronika dan komputer.

Dengan teknologi ini, pemindaian bisa dilakukan dari luar, tanpa menyentuh obyek. Contoh gampangnya adalah mesin CT Scan dan MRI yang biasa digunakan di bidang kedokteran. Bedanya, kedua alat tersebut sekedar menghasilkan citra dua dimensi (2D), dengan obyek tidak bergerak. Sedangkan tomografi ciptaan Warsito mampu memindai 3D atau volumetrik dengan obyek bergerak berkecepatan tinggi. Bahkan dia menambahkan bahwa teknologi ini sudah bisa menampilkan 4D yakni tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Aplikasi dari teknologi ini pun sangat luas, mulai dari reaktor yang dipakai di pabrik-pabrik, tubuh manusia, obyek-obyek skala nano, hingga perut bumi.

Temuan Warsito segera menjadi incaran sejumlah perusahaan terkemuka di dunia. Teknologi pemindai 4D pertama di dunia itu kemudian dipatenkan di Amerika Serikat dan lembaga paten international PTO/WO pada 2006. Tak tanggung-tanggung, NASA menjadi lembaga luar yang pertama kali mengakui teknologi ini dan kemudian dipakai walaupun masih dalam taraf riset (pemerintah kita dimana yaaa? :P). Kalau saya ceritakan semua bisa habis puluhan halaman jadi silahkan simak selengkapnya di sini.

Terlepas dari semua hal membanggakan yang Warsito buat, ada satu hal yang membuat saya memasukan beliau ke dalam kategori researchpreneur. Meski ia sudah memiliki prestasi berskala internasional dan mendapat tawaran kerjasama dengan berbagai institusi elit di dunia, ia memilih untuk kembali ke Indonesia guna membesarkan Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs) di sebuah ruko mungil di kawasan Tangerang. Dan cita-cita mulia beliau yang membuat saya merinding: ”Cita-cita saya ingin membangun institusi riset yang tidak kalah dengan insitusi riset mana pun di dunia, dan itu di Indonesia.” Pak Warsito, Indonesia sangat bangga punya ilmuwan hebat seperti anda.

Dr. Cindy Priadi: Ahli Sungai Muda dari Bandung
Peneliti biasanya identik dengan usia matang (dibaca tua :P), ubanan, hanya sibuk di lab dan lain sebagainya. Tapi hal itu tidak terdapat pada sosok Cindy Priadi. Gadis kelahiran Bandung, 30 Januari 1984 ini merupakan doktor muda Indonesia yang berhasil menamatkan studi doktoralnya pada usia 26 tahun di Universitas Paris-Sud 11, Perancis. Sejak muda, ia memang sudah tertarik dengan kebudayaan Eropa dan isu-isu lingkungan. Berkat ketertarikan itu dan kemahiran dalam berbahasa Perancis, di tahun 2005 ia berkesempatan melanjutkan studi pascasrjana di Universite Paris-Sud 11, setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Perancis melalui Pusat Kebudayaan Perancis di Indonesia.

Singkat cerita, pada studi S2nya, Cindy mengambil program studi mengambil program studi ilmu lingkungan dengan tesis berjudul “Caracterisation des Phases Porteuses: Metaux Particulaires en Seine” (bang Aul pasti paham dah :P) dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2007. Dikisahkan bahwa tesisnya adalah sebuah penelitian mengenai logam berat yang terkandung di sungai Seine, Perancis. Secara mendalam, ia meneliti perilaku logam yang terkandung dalam aliran sungai tersebut untuk kemudian mencari tahu interaksi dan dampaknya.

Bagai mendapat durian runtuh, pemerintah Perancis dan sebuah lembaga penelitian di Perancis kemudian tertarik untuk membiayai keberlanjutan penelitiannya di jenjang S-3. Secara resmi, tesis S2 Cindy dijadikan proyek resmi oleh sebuah badan penelitian di Perancis sehingga ia mendapat pendanaan penelitian selama tiga tahun. Adapun lembaga yang membiayai riset Cindy adalah pengelola sungai Seine atau semacam Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia. Mereka tertarik dengan penelitian Cindy karena mereka ingin mengetahui kadar air di sungai tersebut serta untuk keperluan membuat instalasi dan pengelolaan air sungai dalam jangka panjang (woiii PDAM Indonesia, heloww?!!).

Satu hal yang membanggakan dari sosok Cindy yaitu pada saat dirinya disebut sebagai doktor termuda di Indonesia, dia menolaknya. Menurutnya, semua orang pasti bisa meraih seperti apa yang didapatkannya asal memiliki kemauan dan kemampuan menetapkan prioritas, apakah melanjutkan studi atau mencari pekerjaan. Saya masih ingat ketika Cindy diwawancara oleh wartawan sebuah televisi swasta, dia berharap ilmu yang dia pelajari saat ini suatu saat akan mampu membuat sungai-sungai yang ada di Indonesia menjadi cantik dan bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya. Cindy Priadi, sosok yang ingin berhasil semuda mungkin.

Well, tiga sosok yang saya ceritakan tadi hanya sebagian kecil dari sekian banyak peneliti hebat yang ada di Indonesia ataupun yang sedang berkarir di luar negeri. Kegigihan dan kerja keras yang mereka perlihatkan membuat saya terinspirasi untuk menjadikannya sebuah cerita penggugah. Ya, penggugah bangsa agar penduduk Indonesia tahu bahwa masih ada warganya yang memiliki asa dan karsa. Terlepas dari persoalan remunerasi dan apresiasi setengah hati yang justru dilakukan oleh bangsa sendiri, para researchpreneur tadi tetap berkarya sepenuh hati melalui inovasi tiada henti. Saya bermimpi suatu saat nanti orang-orang seperti mereka, para pengusaha kreatif atau bahkan kita mampu mengubah wajah negeri ini menjadi lebih disegani di hadapan bangsa lain yang telah mandiri. Semua itu sangat mungkin terjadi jika nasehat om Mario Teguh senantiasa terpatri di hati: “Keberhasilan hanya ada di alam tindakan bukan di alam pikiran”. Dengan tegas, nasehat itu kemudian dikuatkan oleh Dahlan Iskan, sang menteri melalui mantra sakti: “Bekerja! Bekerja! Bekerja! Sekian dan terima kasih.

-SemangatInovasi,SemangatMuharam1433H-


Senin, 26 September 2011

Karena Kau Telah Mensteam Hatiku


Oleh: Riza Rizky Pratama

A: Bapak kamu tukang cuci steam yah??
B: Iya, kok tau sich??
A: Karena kau telah mensteam hatiku #eaaa
Candaan di atas mungkin sudah lazim anda dengar, khususnya bagi OVJ mania (termasuk saya). Saya bukan sedang ingin berlebay ria atau berlagak ababil jaman sekarang, apalagi gantiin Andre Taulany di OVJ. Mukadimah di atas hanya sebuah pengantar cerita saya yang terjadi sore kemarin, di sebuah tempat cuci steam motor dekat komplek rumah saya. Apa istimewanya tempat cuci steam motor? Toh bukankah saat ini sudah banyak tempat cuci steam motor bertebaran? Cerita ini adalah sebentuk kesan menyebalkan dan menyenangkan dari seorang konsumen cuci steam motor. Selamat menikmati.

Mr. X, You Make Me Down!
Bagi anda yang memiliki kendaraan roda dua tipe paling in saat ini, berbahagialah karena anda pasti diterima dengan senyum manis dari para pekerja cuci steam motor. Sedikit curcol, dahulu saya pernah punya pengalaman tidak menyenangkan dengan salah satu tempat cuci steam motor. Di suatu pagi 3 tahun lalu sepulang menginap dari tempat teman, saya bersama partner kesayangan (scooter vespa thn 1996) berniat mendatangi sebuah tempat cuci steam motor. Pilihan itu saya ambil karena scooter saya sudah sangat dekil dan saya tidak ada waktu karena saking (sok) sibuk dan lelah setelah semalam beraktivitas cukup padat (hayo ngapain??).

Akhirnya, saya tiba di tempat tersebut. Meski pada waktu itu cukup banyak motor yang sedang dicuci bahkan ada pula beberapa motor yang antri menunggu giliran, saya putuskan untuk tetap mampir di tempat itu. Ketika saya masukan motor saya, entah kenapa tempat cuci steam motor yang tidak bisa disebutkan namanya itu (karena memang gak ada papan namanya) langsung menolak mencuci motor saya. Kalau memang karena antrian panjang, kenapa motor lain masih boleh berada di situ? Padahal saya siap membayar lebih jika dia mau mencuci motor saya (sok kaya).

Saking gondoknya, saya pun langsung pergi dari tempat tersebut untuk pulang ke rumah. Saya sempat berpikir apa alasan dia menolak kehadiran motor saya. Sekonyong-konyong, ingatan saya pun kembali ke tempat cuci steam motor yang tadi saya datangi. Suatu kali saya memang pernah menggunakan jasa cuci steam motor di tempat itu (biar gampang, saya sebut saja dengan Mr. X).

Ketika itu memang motor saya dicuci walau dengan ekspresi setengah hati. Suudzon? Nggak kok. Saya punya bukti kuat kalau si abang pencuci motor itu gak ikhlas cuci motor saya. Begitu saya sodorkan Si Gendut (panggilan sayang scooter saya), si abang kontan langsung garuk-garuk kepala meski dia tidak berketombe ditambah ketawa-ketiwi sambil lirik-lirik teman sekerjanya (curiga :P). Memang sich waktu itu Si Gendut terlihat kotor dan banyak noda-noda coklat laksana baru pulang dari perang Vietnam. Akan tetapi bagaimana pun kotor dan bututnya scooter saya, motor saya juga berhak mendapat perlakuan yang sama dengan motor konsumen lain (hidup HAM!). Begitulah hingga partner kesayangan saya pun akhirnya ‘dimandikan’ oleh si abang X (nama tidak diketahui :P).

Ternyata kejengkelan saya tidak berhenti sampai di situ. Setelah selesai ‘dimandikan’, saya tanya ke si abang X: “Berapa ongkosnya, bang?” Si abang X ini lalu menjawab: “Hmmm Rp 8000”. Saya pun kaget dengan ongkos yang di luar kebiasaan itu. Sekedar info, pada saat itu ongkos cuci motor masih Rp 5000,- , untuk motor bebek maupun motor batangan (motor yang tangkinya di luar). Saya tanya lagi:”Kok Rp 8000 bang, bukannya biasanya cuma Rp 5000?”. Si abang X menjawab dengan jawaban diskriminatif:”Karena motornya vespa bang, ribet nyucinya”. Saya heran apa ribetnya sich untuk men cuci motor saya. Tinggal disemprot dengan semburan kuenceng dari mesin steam, rontok deh daki-daki yang menempel di badan Si Gendut. Tak ingin berpanjang kata, saya bayarkan saja uang Rp 8000 tersebut ke si abang X. Di sepanjang jalan pulang, saya bersumpah tidak akan pernah menggunakan jasa cuci steam motor apapun. Lebih baik badan berkalang tanah bekas cucian motor sendiri daripada dihina tukang cuci steam motor, -loehh guweh end!?-.

Mr. Klin, I Louph You Pull! ^_^
Setelah sempat trauma karena dikecewakan oleh tempat cuci steam motor X, dengan terpaksa saya menarik sumpah saya untuk tidak menggunakan jasa cuci steam motor. Alasannya sederhana, motor saya sudah 3 bulan tidak dicuci dan saya sedang tidak berhasrat (baca:malas) memandikan Si Gendut. Setelah melihat-lihat, saya pun menjatuhkan pilihan pada sebuah tempat cuci steam motor bernama Mr. Klin (seingat saya namanya itu). Kebetulan tempat Mr. Klin ini jauh lebih dekat dengan rumah saya.
Well, awalnya saya sempat ragu untuk datang ke Mr. Klin. Saya khawatir partner kesayangan saya (kali ini vespa tahun 2000, yang dulu udah dijual) mengalami penolakan yang sama seperti scooter saya terdahulu. Finally, saya beranikan diri untuk mampir ke situ setelah pulang bekerja. Dan keraguan saya pun luntur setelah mendapat sambutan hangat dari salah satu crew pencuci motor Mr. Klin. Alhamdulillah yah, sesuatu banget buat saya :-).

Mr. Klin memiliki fasilitas yang lengkap untuk ukuran sebuah tempat cuci sepeda motor. Selain crew yang handal, mereka juga mempunyai pengangkat motor bertenaga hidrolik (yang biasa ada di tempat cuci steam mobil) yang dapat membuat proses pencucian motor menjadi lebih mudah. Fasilitas ini nampaknya sudah mulai lazim di beberapa tempat cuci motor sejenis. Kemudian di Mr. Klin, proses pencucian dilakukan sebanyak 2 kali, yang pertama dicuci dengan sabun biasa pada bagian yang sulit dibersihkan dan yang kedua menggunakan sabun cuci motor khusus yang penampakannya menyerupai es krim. Jika menelisik ke belakang, fasilitas dan pelayanan yang saya dapatkan dari Mr. Klin jauh berbeda dengan tempat yang dahulu saya kunjungi.

Pengalaman cuci motor di Mr. Klin begitu menyenangkan untuk saya. Maklum biasanya Si Gendut hanya dimandikan dengan sabun cuci piring yang ada di rumah saya. Singkat cerita, setelah scooter saya selesai dicuci dan dikeringkan oleh crew Mr. Klin, saya pun berniat membayar ongkos kerja mereka. Berdasarkan pengalaman terdahulu, saya sudah siapkan uang lebih jikalau mereka meminta. Ketika saya membayar uang di kasir, saya semakin takjub karena mereka menilai motor saya tergolong kecil sehingga saya hanya perlu membayar Rp 8.000,-. Saya baru ingat kalau di depan terdapat papan tarif yang dibedakan berdasarkan ukuran motor yang dicuci.

Karena penasaran, saya pun bertanya kepada si kasir:”Kok cuma Rp 8.000,-?, bukannya Rp 10.000,-? Motor saya kan besar bang hehe”. Si kasir menjawab: ” Bayarnya Rp 8.000,- aja bang, motor besar itu yang tangkinya di luar hehe”. Saya pun paham bahwa kami memiliki definisi yang berbeda tentang motor berukuran besar. Definisi motor berukuran besar menurut saya adalah yang berbody gendut seperti scooter saya sedangkan menurut si abang kasir adalah motor yang tangkinya di luar seperti Honda Tiger dan sebangsanya. Saya pun ikut saja dengan perkataan si abang kasir untuk membayar Rp 8.000,- meskipun hati ini masih ingin mengembalikan uang kembalian sebagai tanda terima kasih. Sore itu saya kembali menemukan arti sebuah pelayanan yang memuaskan, tanpa diskriminasi.

Mr. X vs Mr. Klin: Perspektif Service Quality
Dua pengalaman berbeda ketika menggunakan jasa cuci steam motor mengingatkan saya pada teori service quality (servqual) yang biasa dijadikan parameter kepuasan terhadap sebuah pelayanan. Tjiptono (1995) mengemukakan bahwa dimensi servqual meliputi bukti langsung atau ketampakan (tangibles), kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (emphaty). Untuk itu saya ingin membuat analisis perbandingan pelayanan Mr. X dengan Mr. Klin dengan 5 parameter tersebut, tentunya dengan perspektif subjektif dari diri saya sendiri.
  • Bukti langsung atau ketampakan (Tangibles)
Untuk Mr. X, tempatnya cukup strategis karena berada di pinggir jalan raya meski tidak ada papan nama (hanya ada papan kayu biasa bertuliskan CUCI STEAM MOTOR, itu pun tidak terlihat jelas). Perlengkapan yang dimiliki hanya berupa mesin steam , bak air dan sabun cuci sekedarnya, minus pengangkat motor bertenaga hidrolik. Seragam karyawan? Tidak ada. Baju kerja karyawan adalah pakaian kotor yang biasa mereka gunakan ketika mencuci motor pelanggan. Oh ya kalau anda haus, tinggal pergi ke warung seberang untuk beli teh botol atau air mineral dalam kemasan.

Untuk Mr. Klin, tempatnya tidak kalah strategis bahkan lebih dekat dengan rumah saya. Perlengkapan? Mereka punya mesin steam, bak air, kompresor untuk pengering motor, pengangkat motor bertenaga hidrolik dan sabun cuci khusus motor (bahasa jaman sekarangnya snow wash). Para karyawan menggunakan seragam khusus sebagai penanda identitas tempat mereka bekerja. Di sini kita juga bisa melihat gambar proses pencucian yang dilakukan oleh para karyawan. Kalau haus? Tenang, ada refrigator berisi teh botol dan teman-temannya yang dapat menyegarkan tenggorokan anda. Adapun poin plus berikutnya yang tampak oleh penglihatan saya yaitu adanya pemisahan antara bagian pencucian, pengeringan dan pembayaran.

  • Kehandalan (Reliability)
Untuk Mr. X, kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan rasanya hanya diperuntukkan bagi motor tertentu, tidak termasuk scooter saya. Pelayanannya terasa diskriminatif termasuk harga yang dibebankan kepada motor saya. Ketidakjelasan tarif juga menjadi poin minus bagi Mr. X.
Untuk Mr. Klin, pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang dijanjikan. Satu hal yang penting, tidak ada diskriminasi pelayanan di sini. Tarif yang ditawarkan memiliki diferensiasi yang jelas sesuai dengan ukuran motor. Para karyawan bekerja dengan sigap membersihkan setiap motor konsumen yang datang ke tempat mereka tanpa terkecuali.

  • Daya Tanggap (Responsiveness)
Ketika akan mencuci scooter saya, karyawan Mr. X terlihat tidak tanggap bahkan cenderung tidak peduli dengan scooter saya. Buktinya pada kesempatan kedua ketika saya datang ke situ, saya langsung “diusir” oleh karyawannya. Kalau ada bang Rhoma Irama di situ, dia pasti akan bilang: ”TER..LA..LU”.
Berdasarkan apa yang saya lihat dan rasakan, para karyawan Mr. Klin mampu memberikan pelayanan dengan tanggap dan paham dengan jenis motor yang akan mereka tangani. Hal itu terbukti ketika scooter saya dinaikkan ke atas pengangkat motor, mereka langsung menambahkan papan di bawah penyangga agar scooter saya bisa berdiri lebih tinggi.

  • Jaminan (Assurance)
Untuk parameter yang satu ini, Mr. X jelas-jelas telah gagal memberikan jaminan berupa keramahan kepada customer seperti saya. Selain tidak ramah, informasi tarif cuci motor yang tidak jelas dan absennya proses pencucian menjadi faktor pengurang kenyamanan pelayanan berikutnya.
Mr. Klin telah berhasil memberikan jaminan berupa keramahan yang akhirnya membuat saya kembali yakin untuk memakai jasa cuci steam motor. Long Live Mr. Klin!!

  • Empati (Emphaty)
Secara head to head, Mr. X jelas kalah dengan Mr. Klin. Ketiadaan papan informasi mengenai tarif dan gambar proses pencucian motor menunjukkan bahwa Mr. X tidak terlalu serius dalam menangani konsumennya. (Sampe poin terakhir ini kenapa gak ada kelebihan sama sekali yak??)
Teng...teng..teng, Mr. Klin, you are the winner!! Selain kejelasan informasi tentang tarif dan proses pencucian, saya pasti mendapatkan bonus satu kali cuci motor gratis setelah 7 kali cuci motor di Mr. Klin.

Kesimpulan:
Dalam bahasa bisnis, Mr. X menjalankan bisnisnya dengan standar yang biasa saja. Bahasa kerennya business as usual. Terima motor, cuci sampai bersih, keringkan motor terus terima duit deh. Beres perkara. Lain halnya dengan Mr. Klin, mereka sudah mulai menerapkan prinsip-prinsip service quality meski dalam tataran sederhana. Melihat tingkat pertumbuhan kendaraan roda dua yang semakin meningkat ditambah sempitnya waktu bagi pengendara motor untuk mencuci sendiri motor mereka, bisnis cuci steam motor dengan pola pelayanan Mr. Klin nampaknya akan semakin berkembang dan menjanjikan. Tamat.

nb: tulisan berdasarkan pengalaman pribadi dengan bumbu lebay sedikit. Kalau ada yang salah di teori servqual-nya, tolong diperbaiki ya #maksa.

Senin, 29 Agustus 2011

Zakat: Menjaga Keikhlasan Si Kaya, Memuliakan Si Miskin




Tak terasa kita sudah berada di penghujung bulan Ramadhan. Bulan yang menjanjikan keberkahan baik spiritual maupun ekonomi. Mudah-mudahan kita diberikan kesempatan untuk bertemu lagi dengan bulan penuh berkah ini (amin). Menjelang lebaran ini, saya ingin sekali mengangkat tema tulisan yang saat ini tengah menjadi buah bibir di media massa. Anda pasti sering melihat dan mendengar berita tentang kericuhan pembagian zakat di beberapa daerah. Bahkan salah satu kasus terparah pernah terjadi di Pasuruan dimana arena pembagian zakat berubah menjadi arena meregang nyawa bagi orang-orang miskin yang tak berdaya.

Hal-hal tersebut memunculkan banyak pertanyaan di benak saya, apakah itu yang dinamakan zakat? Apakah orang-orang kaya itu tidak paham aturan zakat atau saking pahamnya mereka dapat mengubah aturan zakat dengan “kreativitas” masing-masing? Apakah orang-orang miskin itu memang harus antri mengambil sesuatu yang memang sudah seharusnya menjadi hak mereka? Saya memang bukan ulama atau ahli fiqh zakat. Saya hanya ingin mengikuti panggilan hati sekaligus mencoba menyampaikan ilmu yang dahulu saya dapat ketika “nyantri” di sebuah kampus Islam negeri Jakarta. Semoga kontribusi kecil saya ini dapat membantu meluruskan pemahaman tentang zakat yang terlanjur mewujud menjadi fenomena yang sangat salah kaprah di masyarakat. Selamat menikmati artikel EG edisi khusus Ramadhan kali ini.


Zakat: Sebuah Definisi
Boleh jadi, kesalahkaprahan pembagian zakat yang sekarang berkembang merupakan buah dari pemahaman yang salah tentang definisi zakat itu sendiri. Untuk itu, mari kita telaah kembali makna dari ibadah berdimensi sosial ekonomi ini. Secara bahasa, zakat memiliki makna: tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah (Hadis Riwayat At-Tirmidzi). Dalam Q.S. At-Taubah: 10 dijelaskan pula bahwa pengertian zakat juga berarti membersihkan atau mensucikan.

Kemudian secara istilah seperti yang dimuat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 1 bab 1 ketentuan umum dijelaskan bahwa definisi zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Secara bahasa, kita dapat memahami bahwa makna dasar dari zakat adalah pertumbuhan, perkembangan atau pertambahan. Hal ini tentu sangat sejalan dengan konsep ekonomi yang berprinsip senantiasa mengalir (flow concept). Kemudian dipandang dari sudut hukum positif, jelas bahwa zakat adalah bagian harta orang lain yang keberadaannya untuk sementara “dititipkan” oleh Allah kepada orang muslim yang lebih mampu. Artinya, jika si kaya tidak segera memenuhi kewajibannya untuk membayar zakat sama saja mereka telah mencuri harta si dhuafa.


Zakat: Syarat Wajib dan Sah beserta Jenisnya
Adapun hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Selanjutnya kita juga perlu mengetahui syarat-syarat yang wajib diketahui para penunai kewajiban zakat atau biasa disebut muzakki. Fakhruddin (2008) berdasarkan kitab al-fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu membaginya menjadi 2, yaitu syarat wajib dan syarat sah zakat. Adapun syarat wajib zakat di antaranya:
1. Merdeka
2. Islam
3. Baligh dan berakal
4. Harta tersebut merupakan harta yang memang wajib dizakati
contoh: emas dan perak, barang tambang dan barang temuan (rikaz), barang dagangan, tanam-tanaman dan buah-buahan, serta hewan ternak.
5. Harta tersebut telah mencapai nishab (ukuran jumlah yang memenuhi untuk dikeluarkan zakat). Kadar nishab dari harta yang wajib dizakati adalah 20 Dinar emas atau 200 Dirham perak.
6. Harta tersebut adalah milik penuh dari pemiliknya (al-milk al-tam)
7. Harta yang dimiliki telah berlalu satu tahun atau cukup haul (ukuran waktu atau masa)
8. Tidak adanya hutang
9. Melebihi kebutuhan dasar atau pokok
10. Harta tersebut harus didapatkan dengan cara baik dan halal
11. Harta yang dimiliki berpotensi untuk terus berkembang
Selanjutnya yang termasuk syarat sah zakat yaitu:
1. Adanya niat muzakki (orang yang mengeluarkan zakat)
2. Pengalihan kepemilikan dari muzakki ke mustahiq (orang yang berhak menerima zakat)
Setelah memahami syarat-syaratnya, mari kita pahami jenis-jenis dari zakat. Secara umum, Shiddieq (2007) membagi zakat ke dalam dua kategori yaitu:
  1. Zakat maal: bagian dari harta kekayaan seseorang (juga badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertentu setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu. Contoh: zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga.
  2. Zakat fitrah: adalah pengeluaran wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idul Fitri.
Zakat: Dari Muzakki, Oleh Amil, Kepada Mustahik
Pada pembahasan pertama, saya telah membahas definisi zakat dari sudut pandang bahasa dan istilah. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mewujudkan definisi tersebut menjadi sebuah aktivitas yang berperan penting bagi pengembangan ekonomi umat? Siapa saja stakeholder yang harus terlibat agar aliran dana zakat bisa berjalan dengan lancar? Untuk itu, mari kita bahas satu per satu.
Zakat merupakan ibadah yang pelaksanaannya terdiri dari tiga komponen utama: muzakki¸amil dan mustahiq. Adapun definisi singkat dari ketiga komponen tersebut yakni:
a. Muzakki : orang yang wajib mengeluarkan zakat
b. Amil : orang yang bertugas menerima zakat dan menyalurkannya kepada mustahiq
c. Mustahiq : orang yang berhak menerima zakat yang terdiri dari delapan golongan:
- Faqir
- Miskin
- Amil (orang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat)
- Mu’allaf (orang yang baru masuk Islam yang masih lemah sehingga memerlukan bantuan moril dan materiil)
- Riqaab (untuk memerdekakan budak, termasuk untuk melepaskan orang muslim yang ditawan oleh orang yang bukan muslim)
- Ghaarim (orang yang berhutang atau bangkrut)
- Sabilillah (orang yang berjuang di jalan Alla, baik individu seperti guru agama atau lembaga seperti pesantren maupun instansi)
- Ibnu Sabil (orang yang sedang dalam perjalanan atau terlantar)
Sebuah ketentuan agama tentu memiliki maksud dan tujuan, termasuk zakat. Allah telah menciptakan skema yang indah dalam ibadah ini melalui ketiga komponen tersebut. Zakat memiliki fungsi social intermediary yang pelaksanaannya dimulai dari muzakki, dikelola oleh amil dan diperuntukkan bagi mustahiq.

Namun yang sangat disayangkan, konsep tersebut harus ternoda dengan cara-cara yang seolah dibenarkan di mata agama. Beberapa muzakki mengumpulkan mustahiq layaknya pengantri BBM bersubsidi dan mustahiq hanya bisa pasrah untuk mengambil harta yang seharusnya menjadi hak mereka.

Rekan-rekan muzakki yang terhormat, ingatlah bahwa zakat yang anda keluarkan bukanlah harta anda melainkan hak dari mustahiq yang wajib anda penuhi. Jaga keikhlasan anda dengan menyalurkan zakat anda melalui lembaga amil zakat yang terpercaya. Utamakan ketentuan yang benar sebagai ukuran, bukan dalih kepuasan yang tanpa sadar membungkus niat ingin pamer harta.

Untuk para amil, yuk berikan kepercayaan kepada para muzakki agar mereka mau menyalurkan zakatnya melalui lembaga zakat anda masing-masing. Tugas anda sangatlah mulia, maka dari itu yuk saling berlomba dalam kebajikan untuk menyejahterakan para mustahiq.

Untuk para mustahiq, ingatlah bahwa zakat merupakan hak anda. Allah ingin memuliankanmu melalui para muzakki yang sadar bahwa sebagian hartanya adalah milikmu. Semoga zakat yang diberikan kepadamu dapat membuatmu lebih bersemangat lagi dalam menjalani kehidupan. Amin
Akhir kata, saya ucapkan selamat Idul Fitri 1432 H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita semua dapat kembali kepada kefitrahan, amin.


Referensi
Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Hafidhuddin, Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Shiddieq, Umay M. Dja’far. Harta, Kedudukannya Dalam Islam. Jakarta: Al-Ghuraba, 2007.



Kamis, 21 Juli 2011

Spiderman Career Cycle Part 2 & 3 (End of Story)

Oleh: Riza Rizky Pratama

Setelah mendapat banyak permintaan dari penggemar, saya akan menutup pembahasan siklus karir spiderman dengan artikel pamungkas (dua siklus sekaligus :P). Sedikit cuplikan, artikel pertama lebih banyak membahas tentang kisah Peter Parker mengawali karirnya sebagai pahlawan super serta hubungannya dengan siklus awal yang biasa dialami kalangan pekerja pada umumnya. Nah, untuk artikel ini saya akan membahas tentang fase dimana seorang Spiderman pun bisa menjadi “galau” di tengah perjalanan karirnya (apalagi kita:P) dan sindrom lupa diri ketika Spidey berada di puncak karir. Selamat menikmati.

Spiderman #2 Career Cycle: Ketika Rasa Galau Melanda
Di film kedua, Peter mulai memasuki babak baru sebagai mahasiswa. Untuk menyambung hidup, dia juga bekerja sebagai fotografer amatir di Daily Bugle. Selain menjalani hidup secara normal, aktivitas utama Peter sebagai superhero tetap dijalankan di sela-sela kesibukan menimba ilmu dan mencari nafkah (superrrrr :d).
Well, sepertinya tidak ada masalah yang berarti pada aktivitas tokoh pahlawan super dari komik Marvel ini. Setelah Peter bertransformasi menjadi pribadi “multitasking”, rasa lelah yang amat sangat mulai melanda. Kegiatan membasmi kejahatan, melompat dan menempel dari satu gedung ke gedung lainnya membuat kuliah Peter menjadi kurang fokus. Hal ini diperparah lagi ketika pujaan hatinya, Mary Jane terancam direbut orang. Akibatnya Peter mengalami sindrom galau tingkat tinggi (ngarang banget :P).
Rasa “galau” akibat komplikasi kegagalan di beberapa lini kehidupan Peter mulai memunculkan pertanyaannya di benaknya: siapa saya? Apa tujuan utama saya menjadi Spiderman? Mengapa aktivitas kepahlawanan ini merenggut kehidupan pribadi saya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggiringnya kepada suatu keputusan: saya harus berhenti dari profesi Spiderman!! (kata-kata ini hanya karangan belaka :P). Akhirnya Peter kembali memulai hidup sebagai mahasiswa biasa yang rajin kuliah dan meninggalkan profesi utamanya sebagai seorang Spiderman.

Ternyata keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Suatu kali, Mary Jane mengajak Peter bertemu di sebuah restoran. Tujuan Mary Jane yaitu ingin mengetahui apakah Peter benar-benar mencintainya atau tidak. Belum selesai mereka berbicara, sekonyong-konyong sebuah mobil terlempar ke restoran tempat mereka bertemu. Untung saja insting spidey Peter muncul kembali dan dengan sigap dia menyelamatkan Mary Jane dari terjangan mobil tersebut. Ternyata ini adalah ulah Doctor Octavius alias Doc-Oc yang dahulu adalah ilmuwan panutan Peter yang kini menjelma menjadi makhluk mengerikan akibat ciptaannya sendiri.

Ternyata aksi brutal Doc-Oc bertujuan untuk memancing Spiderman keluar dari persembunyiannya. Marah karena MJ diculik, naluri spidey Peter pun kembali. Dia bersumpah akan menyelamatkan MJ bagaimanapun caranya. Singkat cerita, peristiwa itu meneguhkan kembali tekad Peter untuk kembali jadi Spiderman, pahlawan super sahabat masyarakat. Bagi yang sudah nonton film kedua Spiderman pasti tahu akhir ceritanya, jadi saya tidak perlu sampaikan lagi ya hehe (bisa jadi blog movie maker gila nanti :D).

Lalu apa sich hubungan sekuel Spiderman dengan siklus kedua dalam karir kita sehari-hari? Kalau anda menyimak petikan ilustrasi pada bagian sebelumnya secara seksama, anda pasti sudah bisa menebak bahwa saya akan cerita tentang fase galau di pertengahan karir. Saya dan anda pasti pernah mengalami kondisi hati seakan-akan pekerjaan yang kita lakukan begitu melelahkan dan merenggut kehidupan pribadi kita. Tujuan ilustrasi yang saya paparkan di atas yaitu ingin menggambarkan kondisi bosan, kelelahan hati & fisik serta disorientasi dalam bekerja yang biasa kita alami di tengah perjalanan karir kita.

Well, hal itu lumrah kok. Mengutip perkataan Dr. Yusuf Qardhawi (sumber dari time organizer board saya hehe), beliau menyatakan bahwa:

“Didalam membagi waktu kerja sebaiknya harus ada waktu yang terluang meskipun sedikit untuk beristirahat atau melepas lelah, karena hati atau jiwa juga bisa merasa lelah dan bosan seperti halnya tubuh atau raga”.

Meski “berprofesi” sebagai Spiderman, toh Peter juga manusia biasa sama seperti kita. Sang Pencipta “menginstall” rasa lelah, galau dan bosan pada diri kita dan Peter untuk digunakan sebagai alarm pertanda tubuh dan jiwa perlu istirahat dan melepas lelah. Saya dan anda pasti punya cara masing-masing untuk menghilangkan kepenatan setelah bekerja. Keputusan Peter untuk berhenti menjadi Spiderman memang ekstrem. Namun di saat dia meluangkan waktunya sebagai “warga biasa”, kegundahan hati selama “resign” dari profesi Spiderman perlahan membawanya kembali kepada pemahaman tanggung jawab sebagai pahlwan super: menolong orang lain yang sedang kesulitan. Bermain futsal, bermain game online, jalan-jalan, belanja dll merupakan hal umum yang sering dilakukan para pekerja untuk melepas penat. Tapi jangan kelamaan ya hehehe. Setelah “baterai” jiwa kita telah kembali penuh, bersegeralah untuk menyelesaikan semua pekerjaan kita. Always remember to work hard, play hard and pray hard to make your life happier :-).
Spiderman #3 Career Cycle: Sebuah Ujian di Puncak Karir
Seperti pada 2 cerita Spiderman sebelumnya, saya pun akan mengambil secuplik bagian dari cerita Spiderman 3 yang ada kaitannya dengan siklus karir. Di film yang ketiga, Peter mulai merasakan nikmatnya berprofesi sebagai Spiderman. Keberadaan Spiderman kini telah diakui menjadi pahlawan penegak keadilan dan sahabat terbaik polisi dalam memburu bandit. Bukan hanya itu, Peter pun berhasil mendapatkan cinta MJ dan ingin segera melamarnya. Sebuah kehidupan yang sempurna.

Namun ujian datang di tengah-tengah kebahagiaan Peter dan MJ. Sesuai kata pepatah, semakin tinggi pohon semakin kuat angin menerpa. Ujian pertama datang ketika Peter berhasil menyelamatkan seorang teman wanitanya yang hampir jatuh dari gedung tinggi. Karena telah berhasil menyelamatkan anak seorang sherif kota (teman wanitanya tadi), Peter alias Spiderman mendapat apresiasi luar biasa berupa pesta meriah di tengah kota atas jasanya. Di sinilah masalah pertama itu muncul.

Mary Jane sangat cemburu dengan apa yang dilakukan oleh Peter kepada teman wanitanya itu di tengah pesta (ups sensor :P). Selain itu MJ juga mulai merasakan perbedaan pada diri Peter yang lebih mementingkan kejayaannya sendiri. Padahal saat itu dia sangat membutuhkan dukungan dari Peter sehabis dipecat dari teater tempatnya bekerja. Hubungan mereka pun mulai merenggang.

Kemudian dari sisi kehidupan kerja, Peter mendapat saingan baru di tempatnya bekerja. Fotografer baru saingan Peter (saya lupa nama tokohnya hehe) berkata bahwa ia bisa mendapatkan foto-foto eksklusif Spiderman dengan angle yang lebih baik. Merasa terantang, Peter pun berupaya membuat foto-foto Spiderman yang lebih baik dari saingannya itu (memfoto diri sendiri :D).

Di tengah rasa bangga yang berlebih, Peter diingatkan kembali pada kejadian saat pamannya terbunuh oleh perampok. Di luar dugaan, polisi ternyata salah mengidentifikasi perampok yang membunuh pamannya beberapa waktu lalu. Perampok yang sebenarnya ternyata telah melarikan diri dari penjara dan masih buron hingga sekarang. Di dalam hatinya, Peter bersumpah akan mencari perampok itu dan membalas dendam atas kematian pamannya. Oh ya maaf ya kalo alur ceritanya lompat-lompat :D.

Singkat cerita, akumulasi rasa bangga berlebih dan dendam atas kematian pamannya membuat Peter menjadi pribadi yang egois dan agresif. Bahkan hal ini diperparah dengan kekuatan negatif yang secara tak sengaja datang dari luar angkasa yang kemudian masuk ke tubuh Peter dan membuatnya menjadi lebih beringas. Alhasil, komplikasi tersebut membuat Peter semakin jauh dari orang-orang yang dicintainya termasuk Mary Jane. Kumpulan momen tersebut membawa Peter kepada titik nadir: Apa yang telah saya lakukan? Apakah semua itu baik untuk saya?

Pada kondisi terpuruk seperti itu, Peter beruntung masih punya keluarga yaitu bibinya yang selalu mendukungnya. Peter kembali teringat perkataan sang bibi: kalau kau menjadi suami, kau harus bisa mendahulukan kepentingan istrimu daripada dirimu. Cerita moral sang bibi ditambah diculiknya MJ oleh SandMan dan Venom membuat Peter tersadar dan ingin segera melepaskan sifat-sifat negatifnya itu. Momen tersebut menjadi titik balik bagi Peter untuk kembali menjadi Spiderman yang sesungguhnya.

Kesimpulan apa yang dapat kita ambil dari rangkaian cerita moral dari trilogi Spiderman ini? Pada cerita pertama, kita diajarkan untuk memaknai setiap tugas yang diberikan kepada kita sebagai tanggung jawab yang besar tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga orang lain. Pada cerita kedua, kita harus bisa mulai “bersahabat” dengan rasa bosan karena itu adalah alarm alamiah dari Tuhan agar kita beristrahat sejenak dari rutinitas pekerjaan. Pada cerita ketiga, kita harus selalu ingat ketika kita mencapai posisi puncak karir, ada andil orang lain di belakangnya baik itu keluarga, kerabat, kekasih bahkan masyarakat. Saya ingin meyimpulkan bahwa apapun fase karir yang kita alami, akan ada suatu kondisi yang akan membawa kita pada suatu titik balik: untuk apa dan siapa kita bekerja. Melalui ilustrasi “gila” ini, saya ingin mengajak diri saya dan anda untuk kembali mengingat nasehat yang baik ini:
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain”
Semoga bermanfaat dan selamat berkarya untuk anda semua :-).

Minggu, 10 Juli 2011

Spiderman’s Career Cycle Part 1



Oleh: Riza Rizky Pratama
Seperti yang dikatakan oleh mbak Oliv, jangan ragu untuk mengeluarkan setiap genggam tacit yang kita miliki. Setelah menyelami beberapa ide yang ada di kepala, sekonyong-konyong muncullah ide untuk kembali mengangkat artikel seputar karir (sebelumnya sudah pernah loch, bisa cekidot di sini). Inspirasi itu datang dari film laba-laba superheroHollywood, Spiderman. Film yang dibintangi oleh Tobey McGuire ini (mirip saya loch haha :P) berkisah tentang seorang pemuda bernama Peter Parker yang mendapat “amanah” superhero setelah digigit laba-laba hasil rekayasa genetika. Film Spiderman telah dibuat dalam 3 seri (ketiganya sudah saya tonton hehe) dan seri keempatnya akan segera dirilis. Eittsss, kok malah jadi bahas film sich?? Ini kan blog ekonomi bukan blog film??. Hehehe tenang saja, saya hanya ingin mengangkat tentang siklus “karir” yang dialami oleh Peter Parker, mulai sebagai mahasiswa culun hingga menjadi pahlawan super yang bermanfaat bagi semua orang serta kaitannya dengan siklus karir kalangan pekerja. Hmmm lantas apa hubungannya siklus karir si spidey dengan siklus karir kalangan pekerja pada umumnya? Untuk mengetahui korelasi di antara keduanya, simak hasil “pertapaan” gila saya berikut ini :-D.

Spiderman’s #1 Career Cycle: Welcome Great Power!!

Alkisah, ada seorang pemuda pintar nan sederhana bernama Peter Parker. Meski pintar namun tampilannya tidak menunjang kecemerlangan otaknya. Jadilah ia mahasiswa culun yang sering dilecehkan teman-temannya. Namun nasibnya berubah ketika ia dan teman-temannya sedang studi tur di sebuah museum di Amerika. Di museum itu dia digigit laba-laba super yang lepas dari sarangnya. Singkat cerita, Peter “resmi” menjadi superhero professional sejak kejadian tersebut.

Ok, terus apa hubungannya dengan siklus karir di dunia kerja? Saya akan sedikit kembali ke bagian awal film garapan Sam Raimi ini agar alur pikir “gila” saya menjadi jelas. Selanjutnya, ketika Peter mulai menyadari bahwa ia dianugerahi kekuatan super, muncullah beragam keinginan dibenaknya. Salah satunya adalah dia ingin membeli mobil agar bisa bergaya di depan Mary Jane a.k.a MJ (tebar pesona :P). Agar keinginannya terwujud, dia kemudian mengikuti kompetisi gulat dengan ganjaran uang tunai yang mampu memenuhi keinginannya tersebut.

Ketika Peter berniat pergi ke kompetisi itu dengan dalih pergi ke perpustakaan kota, Ben Parker (paman Peter) bersikukuh ingin mengantarnya. Meskipun tidak mengetahui niat Peter, insting paman Ben yakin bahwa keponakannya telah mendapatkan kekuatan besar. Singkat cerita, si paman memberikan “petuah sakti” kepada Peter sebelum ia keluar dari mobil: with great power, comes great responsibility. Setelah itu, paman Ben akhirnya mati karena tertembak oleh perampok mobilnya (end of first story, to be continued :P).

Hmmm nampak seperti resensi film ya? Well, saya sengaja menampilkan fragmen itu karena tanpa disadari dibalik cerita itu terkandung pesan siklus pertama ketika memasuki dunia kerja. Siklus itu saya namakan welcome to the jungle (saya namakan sendiri haha). Bagi kalangan fresh graduate (seperti saya :P) atau yang dulu pernah mengalaminya, pasti tidak asing dengan kalimat “sakral” tersebut.

Ya, siapapun kita pastilah bangga ketika berubah status dari hanya seorang mahasiswa menjadi pekerja profesional di bidang masing-masing. Pada masa itu, timbul bermacam-macam keinginan sebagai wujud “kompensasi” atas pekerjaan yang telah kita dapat. Keinginan untuk mentraktir teman, beli barang-barang yang dahulu hanya bisa dilihat di etalase toko (curcol haha), beliin hadiah buat pacar (bagi yang punya :P) dan segudang keinginan lainnya begitu membuncah dalam dada. Eitsss, tapi kita semua perlu ingat nasehat paman Ben tadi.

Mungkin jika dianalogikan dalam konteks karir, paman Ben ingin bilang kepada kita dengan kalimat berikut: with great job, comes great responsibility (halah opo iki :P). Saya dan mungkin juga anda yang berprofesi di bidang apapun terkadang sering lupa bahwa dibalik profesi yang kita lakukan terdapat tanggung jawab besar tidak hanya terhadap diri sendiri tetapi juga keluarga, kerabat dan masyarakat luas. Makna power yang disampaikan paman Ben kepada Peter dapat kita artikan sebagai kekuatan untuk menghasilkan kinerja yang prestatif dan bermanfaat bagi orang lain. Untuk hal yang satu ini, saya pun masih terus belajar :-).

Ok, artikel ini merupakan bagian perdana dari hasil pemikiran saya setelah beberapa kali nonton film Spiderman di televisi (thank you Trans TV :-D). Silahkan diendapkan terlebih dahulu di alam bawah sadar anda sambil menunggu artikel siklus karir Spiderman 2 dan 3 yang tak kalah gokilnya (Pede Abiss :P). Salam Ekonom Gila.

Kamis, 02 Juni 2011

Para Atlet Ekonomi Ibukota

Oleh: Riza Rizky Pratama

Fiuhhh!!.. Itulah ungkapan perasaan paling melegakan ketika berhasil masuk gerbong KRL JaBoDeTaBek. Meskipun pengalaman itu tidak saya alami setiap hari, tetap saja menegangkan karena saya harus bersaing dengan “atlet-atlet ekonomi” Jakarta. Hmmm atlet ekonomi? Siapa mereka? Ya, mereka adalah masyarakat kelas pekerja atau bahasa kerennya disebut working class people. Tulisan ini saya angkat dari perspektif pribadi saya tentang siapa dan bagaimana analogi aktivitas mereka dengan atlet sesungguhnya serta kaitannya dengan roda perekonomian bangsa. Selamat menikmati J. (nb: istilah atlet ekonomi adalah karangan saya sendiri hehehe)

Pertama, saya ingin mendefinisikan terlebih dahulu tentang siapa “atlet-atlet ekonomi” atau masyarakat kelas pekerja ini. Agar terasa lebih ilmiah, saya ambil definisi mereka menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) bulan Agustus tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas menurut status pekerjaan utama berjumlah 108.207.767 juta orang. Adapun komposisi yang membentuk jumlah tersebut berasal dari 7 kelompok utama yaitu:

1. Berusaha Sendiri

2. Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar

3. Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar

4. Buruh/Karyawan/Pegawai

5. Pekerjaan Bebas di Pertanian

6. Pekerjaan Bebas di Non Pertanian

7. Pekerja Keluarga/Tak Dibayar

Untuk cerita ini, definisi yang tepat adalah status no. 4. Menurut saya dibandingkan dengan status pekerjaan yang lain, profesi buruh/karyawan/pegawai lebih sering terlihat bersliweran di ibukota. Ini asumsi pribadi saya loch, kalau anda kurang sependapat mari kita diskusi kapan-kapan (kapan ya?? :p). Oke kembali ke topik. Selanjutnya menurut hasil SAKERNAS terakhir bulan Agustus tahun 2010, penduduk yang berprofesi no. 4 tadi berjumlah 32.521.517 juta orang. Nah, orang-orang inilah yang kemudian saya sebut sebagai atlet-atlet ekonomi. Mengapa demikian? Alasannya meskipun berbeda bidang, kalangan pekerja dan atlet memiliki beberapa kesamaan dalam pola rutinitas sehari-hari. Dan untuk hal ini, saya masih menggunakan asumsi pribadi. Subjektif ya? Hehe tenang saja, insya Allah masih ada sisi objektifnya kok hehehe (maksa :p).

Kalangan pekerja yang diwakili buruh/karyawan/pegawai ini biasanya memulai aktivitas dari pagi buta atau sekitar jam 5 pagi. Mereka sengaja berangkat pagi-pagi sekali agar terhindar dari macet bagi yang naik motor, mobil dan bus atau supaya tepat waktu tiba di stasiun bagi yang naik kereta. Baik bus maupun kereta, keduanya sama-sama padat (pengalaman pribadi :p). Namun dari kedua moda transportasi tersebut, kereta/KRL masih lebih baik karena lebih tepat waktu (meski kadang suka telat juga). Kalau sampai mereka telat tiba di tempat kerja, mereka bisa kena semprot atasan. Bisa repot urusannya kalau begini. Lantas apa hubungannya dengan atlet? Berdasarkan pengalaman teman SMA saya yang seorang atlet renang, dia bahkan harus berangkat jam 4 pagi agar tiba di tempat latihan tepat waktu. Weww pagi buta sudah harus nyebur?? Brrrr. Saya sempat menanyakan alasannya dan dia menjawab bahwa itu adalah ketentuan pelatih dan juga agar setelah latihan dia bisa segera pergi ke sekolah. Kalau sampai dilanggar tentu akan mendapat sanksi dari om pelatih. Anyway, saya salut dengan teman saya ini karena meskipun harus latihan renang di pagi buta tapi prestasi belajarnya tidak terpengaruh sama sekali bahkan dia selalu peringkat pertama di kelas (ngiri :p). Nah, dari sini mulai tampak kan letak persamaan kedua profesi tersebut? Tapi cerita baru dimulai, masih banyak lagi yang akan diungkap disini hehe.

Setelah berjuang keras untuk sampai ke kantor, mereka pun harus menghadapi setumpuk pekerjaan dengan deadline yang semakin dekat. Terkadang saking banyaknya deadline, mereka harus rela lembur hingga larut malam. Sebagai contoh, kakak saya yang bekerja di salah satu bank di Jakarta harus bersiap pulang agak malam jika sudah menjelang akhir bulan. Hal itu merupakan aktivitas rutin yang umum dilakoni oleh karyawan lembaga keuangan. Dari situ jelas bahwa deadline menjadi kosakata yang lazim bagi working class people. Semua itu mereka tempuh dengan tujuan ingin memperbaiki kualitas hidup. Hal ini pun terjadi pada aktivitas para atlet Indonesia. Belum lama ini, kita lihat di tv bagaimana kerasnya latihan ala militer tim sepakbola U-23 Indonesia di Batujajar guna menghadapi SEA Games Palembang. Bahkan yang anehnya mereka sampai harus makan daging ular untuk melatih mental bertanding (come on, they are athletes not army!!). Well, meski berat dan kadang tak masuk akal mereka harus menjalaninya demi mewujudkan prestasi terbaik di SEA Games nanti (we proud of you, guys! J).

Kemudian dari sisi pendapatan, terkadang apa yang mereka kerjakan tak sepadan dengan gaji yang mereka dapat. Beberapa di antaranya dialami oleh karyawan/pegawai yang disalurkan melalui perusahaan outsourcing (termasuk kakak saya). Biasanya perusahaan outsourcing yang melakukan ketidakadilan ini memang punya track record yang buruk. Senior saya yang bekerja di salah satu bank syariah di Jakarta mengungkapkan bahwa perusahaannya pernah mem-blacklist beberapa mitra outsourcing-nya. Alasannya karena mereka sering telat membayar gaji karyawan dan bahkan tidak pernah memberikan uang tambahan apabila si karyawan tersebut lembur (what the hell!!). Ternyata kemirisan ini pun terjadi di kalangan para atlet khususnya pada atlet senior yang pernah berjaya di masa lalu. Kejayaan mereka di masa lalu baik di kancah regional maupun internasional berbanding terbalik dengan kehidupan mereka di masa tua. Bahkan terkadang mereka terpaksa menjual medali kebanggaan mereka demi menyambung hidup (Mr. President, pay attention please!). 
Namun ada juga beberapa atlet yang sukses secara ekonomi meskipun tidak menjadi atlet lagi. Salah satunya adalah pasangan pebulutangkis Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma. Pasangan ini berhasil memanfaatkan “masa pensiun” mereka dari dunia bulutangkis menjadi masa panen keuntungan finansial. Mereka membuat industri perlengkapan bulutangkis dengan label ASTEC (Alan Susi Technology). FYI, pabriknya dekat dengan tempat tinggal saya loch (bangga hahaha).

Terakhir, dari sederet rutinitas mereka yang telah saya bahas di awal tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan mereka membuat aktivitas ekonomi menjadi lebih dinamis. Menurut financial planner Ligwina Hananto, masyarakat kelas pekerja merupakan komponen masyarakat kalangan menengah yang keberadaannya dapat menggerakkan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Contohnya, jika mereka lapar atau sekedar ingin mengganjal perut setelah seharian bekerja, mereka akan membeli makanan semisal gorengan, siomay dan sebagainya. Rasa lapar mereka membentuk demand (permintaan) terhadap gorengan dan siomay. Permintaan tersebut kemudian membentuk supply (penawaran) yang berimplikasi pada penciptaan profesi tukang gorengan dan tukang siomay (sok-sok ekonom :D). Di sini terlihat betapa peran sosial ekonomi working class people begitu terasa manfaatnya bagi golongan ekonomi lemah. Sebagai catatan, analogi atlet yang dipaparkan pada tulisan ini hanya sebagai gambaran betapa kerasnya upaya mereka mengadu nasib di ibukota seperti halnya atlet yang terus berlatih keras agar bisa berprestasi. Harapan terakhir adalah semoga ada sekitar 2 % dari mereka (termasuk saya :p) yang bisa “naik kelas” menjadi pengusaha sehingga mereka tidak hanya menaikkan derajat kualitas hidup diri dan keluarga mereka tetapi juga orang lain. Amin J.

*Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil desak-desakkan di KRL JaBoDeTaBek, curhatan pribadi dan pengalaman teman. Maaf jika terlalu ngawur karena yang nulis lagi dikejar deadline :P

Senin, 23 Mei 2011

Tanggung Jawab Sosial Industri Otomotif dan Segala Seluk Beluk Permasalahannya

Oleh: Rizki Arditya

Awalnya pemikiran ini lahir dari sebuah fenomena sosial Jakarta atau kota besar lainnya yang sepertinya sudah jadi bagian hidup. Ya, kemacetan di mana mana, yang seakan akan terlihat seperti parade mobil dan motor atau pameran otomotif terbesar yang pernah ada namun diadakan setiap hari atau bahasa kerennya "The Biggest Auto Show", atau bisa juga dibilang jalan raya yang seharusnya sebagai sarana untuk "berjalan" tiba tiba menjadi "lahan parkir" karena macet tidak bergerak!.

Sisi positif dari kejadian ini adalah sebagai sarana untuk silaturahmi antar manusia, karena mobil atau motor susah bergerak kita bisa mengobrol bersama, menambah kenalan, bahkan merokok bersama atau saling menawarkan makanan kecil (Indah nya Silaturahmi). Sisi negatif dari hal ini ya saya yakin anda semua pasti bisa menebaknya. Ya betul! Ledakan eksplosif caci maki, beraneka ragam nama nama hewan bahkan bahasa imajinasi yang tidak ada kesan EYD yang pada kamus bahasa apa pun tidak akan pernah anda temukan.

Okey, sekarang saya mencoba mencurahkan isi hati, sisi positif atau mungkin sisi negatif yang berbaur menjadi sebuah pemikiran dan akhirnya menjadi "surat cinta" ini.




CSR sebagai singkatan dari bahasa Zimbabwe, Corporate Social Responsibility. Entah mengapa yang terlintas pada pikiran saya pertama adalah Industri Otomotif, produsen kendaraan bermotor bukannya pemerintah yang sudah dengan sangat susah payahnya berusaha dan menasihati warga masyarakat untuk memakai kendaraan umum (padahal yang memerintah itu pakai mobil mewah). Cukup sudah curahan hati saya, sekarang kita coba kembali ke permasalahan dan pemikiran saya tadi.



Industri otomotif, salah satu penyumbang terbesar bagi Kas negara kita ini tiap tahunnya selalu mencoba untuk menjual lebih dan lebih atas produk produk andalan mereka. Model model yang mengesankan, performa mesin atau iming iming efisiensi bahan bakar pun terus dikembangkan untuk menarik perhatian, dan menjual sebanyak banyak nya setiap tahun kepada konsumen Indonesia yang bangga disebut sebagai pasar potensial ini (bukan kah seharusnya malu atas "sanjungan" itu). Sebuah pengamatan kecil kecilan pun pernah saya lakukan sewaktu masih kuliah dulu, saya melihat bagaimana dealer dealer otomotif khususnya motor akan selalu "panen besar" atas penjualan produk produk motor di saat para petani di daerah khususnya pedesaan juga panen atas sawah mereka, selalu saja beraneka ragam dealer motor akan datang dan menawarkan kredit motor yang menggiurkan, katakanlah hanya dengan uang 300rb - 500rb rupiah para petani sudah dapat memboyong motor ke rumah. Pertanyaan yang muncul di benak saya adalah, apakah mereka mampu membayar cicilan setiap bulannya? Saya pun mencoba memberanikan diri bertanya kepada salah satu petani, dan alangkah terkejutnya mendengar jawaban mereka "Ya yang penting punya motor Mas, kaya tetangga tetangga yang lain" ada indikasi bahwa ternyata mereka membeli motor salah satunya untuk status sosial, bukan semata mata hanya untuk functional value, ya wajar sebenarnya, namun itu tadi bagaimana dengan cicilan tiap bulannya? Jawaban mereka adalah, "Gampanglah Mas, kalau ga lunas ya paling kan ditarik lagi, yang penting pernah punya motor" Dan kenyataan yang ada pun ternyata sangat banyak kredit kredit kendaraan yang macet di daerah seperti ini. Bukankah ini sebenarnya cukup merusak ekonomi dengan banyaknya kredit kendaraan yang macet? (Mungkin teman teman dari bidang Ilmu Ekonomi bisa membantu).

Saya pun berpikir, mengapa mereka tidak membeli peralatan pertanian seperti traktor atau bajak sawah, atau mungkin hewan ternak, yang jelas bisa menjadi investasi mereka, bukan dengan membeli motor tiap tahunnya yang pada akhirnya harganya pun turun. Hal ini hanyalah sedikit dari permasalahan yang ada khususnya yang berdampak pada ekonomi di daerah daerah kemudian masalah lain yang cukup membuat saya miris adalah banyaknya kendaraan di kota besar yang setiap tahunnya makin membludak. Apakah sebenarnya mereka (produsen otomotif) tidak berpikir bahwa produk mereka terus membanjiri pasar namun sarana wilayah atau jalan raya tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan produk produk hebat mereka? Lalu di sisi lain terkait lingkungan, apakah mesin high tech yang efisien bahan bakar dan menjadi andalan mereka itu pada akhirnya justru malah menjadi alat hebat mutakhir untuk membakar lapisan ozon dan justru terbuang sia sia (sangat efisien kah)?



Sekarang kita lihat tentang CSR, yang seharusnya menjadi wadah solusi atau bentuk kepedulian dan tanggung jawab perusahaan terkait lingkungan di mana mereka tumbuh besar. Kita lihat sebagai contoh, produk sabun kesehatan yang melakukan CSR atau Community Development dengan cara meng edukasi konsumen untuk melakukan gerakan cuci tangan, hal yang cukup relevan dan sangat berguna bukan? Kemudian salah satu perusahaan tambang mineral yang selama ini "merusak tanah" untuk mendapatkan hasil bumi, mereka menerapkan program untuk menanam pohon atau membuat taman dengan menutup kembali lahan garapan mereka dengan tanah yang sebenarnya sudah "dirusak", serta memberikan penyuluhan dan pelatihan dengan mengikut sertakan warga masyarakat dan komunitas sekitar untuk turut berpartisipasi dan memberikan mereka lahan pekerjaan.


Nah, industri otomotif yang selama ini memberikan solusi transportasi nyaman dengan menjual produk produk andalan mereka, justru malah tidak membuat nyaman dan menyadarkan kita bahwa terkadang jalan kaki ternyata selain sehat juga bisa lebih cepat dan efisien bahan bakar (Yup, saya pernah membuktikannya!). Hal yang mereka lakukan dengan pemahaman CSR mereka adalah dengan membuat program touring keluarga bersama dengan mobil atau motor hasil produksi mereka (menghabiskan bahan bakar dan membuat kemacetan atau tidak menurut anda?), atau malah terkadang membuat perayaan besar dan memberikan undian atas tercapainya target penjualan mereka yang sudah berjuta juta unit (apakah ini bentuk tanggung jawab dan memberikan solusi? Ayo beli terus produk kami ya biar dapat undian lagi!).


Akhirnya saya sebagai orang awam mencoba berpikir mencari sebuah solusi dengan batas pemahaman saya yang apa adanya ini. Apakah lebih baik pada akhirnya jika produsen otomotif melakukan recycle bahan baku atas produk produk lama mereka? Okey penjelasannya adalah, anggap saja saya memiliki sebuah mobil dari produsen A, saya memiliki mobil tersebut sudah 5 tahun atau lebih, kemudian pemikiran konsumtif saya membawa saya untuk ingin membeli mobil model terbaru dari produsen A tersebut, dan pihak dealer produsen A tersebut menawarkan sebuah solusi untuk menjual mobil lama saya tersebut kepada mereka ya seperti tukar tambah dengan mobil baru, berarti saya mendapatkan mobil baru itu dengan potongan harga atas penukaran mobil lama saya, di satu sisi jelas itu cukup menguntungkan bagi saya, kemudian bagi produsen jelas menguntungkan adalah mereka dapat me recycle bahan baku dengan "menghancurkan" mobil model lama itu untuk di cetak kembali bahan baku nya menghasilkan mobil mobil terbaru mereka. Hal ini juga akan membuat konsumen loyal kepada produsen A dengan program potongan harga tersebut, dibandingkan dengan mereka menjual kepada pihak kedua, dan membeli mobil model baru yang pemikiran saya adalah justru menambah populasi kendaraan bermotor.

Pada akhirnya tulisan ini hanyalah sebuah pemikiran dari fenomena yang menurut saya meresahkan dan saya mencoba untuk mencari solusi dengan keterbatasan pikiran saya ditengah stress saya dengan keadaan ini setiap harinya. Semoga pemikiran ini pun bisa menjadi sebuah pilihan dan sedikit solusi, bagaimana pemikiran anda? Mari kita berbagi.

Selasa, 17 Mei 2011

Ketika Pasar Tradisional Menjadi Well Organized

Oleh: Riza Rizky Pratama

Pasar tradisional. Apa yang terlintas di kepala anda jika mendengar dua kata tersebut? Becek, bau, kotor dan segala tetek bengek kekurangannya. Ok cukup main kotor-kotorannya hehe. Mungkin anggapan seperti itu sangat relevan di masa lalu. Namun anggapan itu sekarang mulai terbantah dengan bermunculannya pasar tradisional gaya baru di Indonesia. Pasar-pasar tersebut diberi nama pasar modern (aneh ya,tapi itulah nama yang diberikan oleh si developer  :)).

Baiklah, saya mulai cerita ini dari pasar modern yang ada di dekat lingkungan rumah saya. Kebetulan saya tinggal di dekat salah satu kawasan elit di selatan Jakarta yaitu Bumi Serpong Damai atau biasa disingkat BSD (biar di pinggir tetap elit :p). Kawasan yang dibangun oleh om Ciputra ini sekarang tengah menjadi sentra bisnis properti yang menjanjikan. Di masa si om, pasar tradisional yang ada di sekitar BSD hanya dibiarkan begitu saja. Kotor, bau, becek plus asap knalpot angkot campur jadi satu kayak gado-gado yang gak enak rasanya (hueeekk). Namun keadaan itu berubah ketika BSD diambil alih atau lebih tepatnya dibeli oleh Sinar Mas Grup. Grup bisnis yang cukup ternama di Indonesia ini menyulap BSD menjadi kawasan bisnis terpadu lengkap dengan fasilitas pendidikan, kesehatan dan beragam kemewahan lainnya. Untuk info lebih lanjut hubungi no 555xxx (loh kok jadi promosi property,hehehe).

Ok, kembali ke tooopiiikkk (tukul mode on :p). Singkat cerita, setelah tampuk manajemen kawasan BSD beralih dari om Ciputra ke pihak Sinar Mas Grup, pasar tradisional yang tadinya sumpek ikutan "disulap" menjadi pasar tradisional bernuansa modern. Ketika pertama kali saya dan keluarga datang ke pasar ini, bapak saya bilang kalau pasar modern ini mirip dengan freshmarket di Jepang (jadi pengen ke Jepang hoho). Kenapa bisa begitu? Hal ini bisa terjadi berkat kerjasama yang apik antara pihak pengelola pasar modern dengan para pedagang yang dulu berjualan di pasar yang lama. Para pedagang direlokasi ke tempat yang baru sehingga mereka tidak kehilangan mata pencaharian. Selanjutnya mereka pun dikelompokkan sesuai dengan barang dagangannya. Jadi bagi anda yang berniat belanja di pasar ini tak perlu khawatir dan kebingungan mencari kebutuhan sembako sehari-hari. Bagi yang ingin cari jeroan, daging sapi, daging kambing dan lainnya, tinggal meluncur ke lapak daging. Kemudian bagi yang ingin cari daging ayam baik yang sudah mati ataupun hidup, anda tinggal langkahkan kaki ke lapak daging ayam. Terus kalau yang mau cari sayuran gimana? Anda tinggal mendatangi lapak sayuran yang tentunya segar dan hijau.

Ah kayaknya cerita saya sama saja ya dengan pasar tradisional lainnya. Eits tunggu dulu hehehe. Sebagai catatan, semua lapak tersebut ditandai dengan "traffic sign" seperti yang ada di supermarket (sangat mirip loch). Lapak-lapak tersebut diposisikan secara terpisah, jadi anda tidak akan menemukan sayuran bau ayam hehehe. Kemudian selain memiliki pasar basah seperti yang saya sebutkan sebelumnya, pihak pengelola juga menyediakan pasar kering yang berisi aneka produk kelontong, baju dll. Terus kalau lapar habis belanja seharian gimana? don't worry be happy. Di dalamnya juga disediakan beraneka ragam tempat makan dengan pilihan makanan mulai dari baso, bubur ayam, mie ayam, aneka soto, chinese food, etc. Belakangan pihak pengelola juga menjadikan area di sekitar pasar menjadi tempat wiskul alias wisata kuliner di malam hari (suasananya kayak hongkong or singapore di malam hari loch). Sayangnya untuk yang satu ini saya belum pernah mencoba tapi hanya melihat saja hehehehe :p. Oh ya satu lagi, bagi anda yang bawa kendaraan gak usah takut kemalingan karena di sini disediakan area parkir yang cukup luas dilengkapi pengamanan ala mal-mal getoh hehe. Hal menggembirakan lainnya bahwa langkah ini mulai diikuti pengembang properti lain di sekitar BSD seperti Bintaro, Pamulang dan sekitarnya.

Lantas hikmah apa yang bisa dipetik dari cerita ini? Secara pribadi, saya melihat nuansa keadilan ekonomi di pasar ini. Selama ini jika melihat atau mendengar tayangan properti, saya cenderung skeptis dan apatis karena tayangannya hanya menampilkan kemewahan serta cicilan yang konon hanya puluhan juta per bulan (itu duit apa daun pak???). Tapi dengan konsep pembangunan pasar modern BSD City yang ditawarkan oleh Grup Sinar Mas ini setidaknya menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi tetapi juga kemanfaatan bersama. Meskipun hal ini tidak lepas dari kepentingan promosi si pengembang,  upaya ini patut kita apresiasi. Last but not least, mengutip ungkapan begawan  manajemen dunia Peter Drucker dengan sedikit gubahan dari saya, "Tidak ada pasar tradisional yang sumpek, yang ada hanya pasar tradisional yang salah kelola" (nyambung ga ya?? piss om hehehe)