Rabu, 30 Maret 2011

KIK-Nomics

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
 
Sebenarnya dari dulu saya ingin menulis hal ini terkait dengan masalah Kartu Identitas Kendaraan di UGM. Soal bagaimana KIK diindetikan dengan “komersialisasi” oleh satu pihak, sedang pihak lain lebih menekankan pada pendekatan “disinsentif” penggunaan fasilitas publik.  Tapi untuk pengantar, saya tidak perlu berteori yang macam-macam dulu. Mungkin tulisan awal ini masih menggunakan pendekatan make sense-nya ilmu ekonomi saja. Menggunakan analogi dan cerita-cerita sederhana. Jelas, pasti dengan cerita yang sederhana akan banyak kelemahan di sana-sini, tapi setidaknya ini sebuah artikel pengantar menuju artikel yang mungkin ke depan lebih “berteori”. Hal ini mengingat tidak semua pembaca akan memahami term teknis dari ilmu ekonomi.

Oke, mungkin cerita KIK ini ada baiknya dimulai dengan menjelaskan pengertian sederhana daripada barang publik. Sepanjang pengetahuan saya, pengertian yang paling mudah apa itu barang publik ada sebuah barang/komoditas yang tidak mungkin dapat disediakan oleh mekanisme umum (pasar, jual-beli, lembaga profit, dll). Sebenarnya pengertian barang publik bisa sangat luar tergantung dari karakter yang melekat pada barang itu, tapi mungkin kita pakai dulu pengertian itu. Jadi “barang” itu kalaupun dipaksakan untuk dijual seseorang maka sudah pasti tidak membawakan keuntungan finansial apa-apa bagi penyedia barang itu. Pasti ruginya, karena pasti ruginya, maka tidak ada yang mau mengusahakan pengadaan barang itu.

Misalnya apa ya? Saya kasih contoh ekstrim saja (mudah-mudahan contoh ini benar :P ), misal menjual “udara”. Jadi misal ada seseorang yang namanya Aulia, karena kekurangan uang, mencoba berpikir-pikir kira-kira bagaimana mendapatkan penghasilan tambahan. Ide gilanya adalah menjual “udara” yang ada di kamarnya. Jadi dia mengklaim, bahwa udara yang ada di kamarnya adalah udara yang Tuhan berikan kepadanya, dan menjadi hak privatnya. Sehingga, bisa dijual-belikan kepada orang lain. Jadi bagi siapapun yang masuk ke kamarnya harus membayar sekian rupiah untuk menghirup udara. Agar tampak menarik, maka Aulia membuat kemasan-kemasan udara di kantung plastik lengkap dengan selang. Tidak lupa melakukan inovasi-inovasi, seperti udara rasa apel, rasa jeruk, dan rasa cokelat. Yaitu dengan mencampurkan udara yang dia kumpulkan dengan parfum-parfum pewangi ruangan yang memiliki essence dari rasa-rasa tadi. Jadilah si Aulia menulis di pintu kamarnya: Masuk, Bayar Udara/Kg: Rp 5000,- tersedia rasa Cokelat, Jeruk dan Apel.

Baru tiga hari berjalan, bisnisnya bangkrut. Alasannya mudah, si Aulia tidak bisa memaksa temannya yang datang untuk tidak menghirup udara bebas yang masuk ke kamarnya yang mana udara itu gratis. Dalam kata lain, Aulia tidak bisa memaksa temannya untuk membayar udara yang dia klaim. Daripada membeli udara yang dijual Aulia, temannya lebih baik menghirup udara yang gratisan di alam. Aulia tidak kuasa melakukan pembatasan penggunaan udara bebas bagi konsumennya. Oleh karena itu, bisnis udara si Aulia bangkrut. Tidak mungkin ada di muka bumi, di mana udara bebas bergerak, bisnis udara menghasilkan uang. Nah, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu. Misal orang sakit dengan selang oksigen di rumah sakit atau suatu saat manusia sudah membuat koloninya di bulan. Udara langka dan terbatas, mungkin saat itu lah udara bisa jadi komoditas yang dijual-belikan.

Oke oke, ini baru contoh sederhana dan ekstrim, sangat ngawur memang bahkan sangat bersifat profit oriented, tapi setidaknya ada hal yang sederhana itu kita bisa peroleh pesan dari cerita itu: bahwa masalah memisahkan antara “pembeli sah” dan “free raider” atas sebuah manfaat barang adalah salah satu ciri khas barang publik.

Salah satu barang publik yang mungkin paling mendekati dengan kasus KIK adalah cerita soal Jalan Raya.  Semua orang tahu jalan raya itu akan sangat bermanfaat jika dia bersih, mulus, lebar dan tidak berlubang. Transportasi lancar, ekonomi bergerak, dan pada akhirnya masyarakat sejahtera. Tapi sekali lagi, jalan raya punya masalah juga yang pada akhirnya dia harus dikategorikan barang publik.

Anggap saja sekarang kita ada di suatu masa antah berantah, belum ada pemerintah dan negara yang berkuasa pada sebuah wilayah. Seorang Raden yang lagi-lagi kebetulan bernama Aulia (hahahaha, narsis banget!) dengan sombongnya mencaplok jalan-jalan umum di masyarakat yang ramai dilewati orang-orang. Lalu dia membisniskan jalan itu, “Wahai Rakyat Jelata, sekarang jalan ini saya caplok, yang mau lewat, silahkan bayar 1 Belly (mata uang jaman antah berantah itu). Saya akan mengelola jalan ini menjadi teratur, profesional dan rapi”. Banyak yang kontra, tapi bagi orang-orang yang mampu lebih memilih mengalah karena selain toh mereka mampu, alasan lainnya adalah 1) jalan itu sangat dibutuhkan, terutama bagi para penjual, pengusaha, dan lain-lain, 2) jalan itu toh, konon memang miliki nenek moyang Raden Aulia jadi biar saja dulu si Raden macam-macam, dan 3) janji bahwa jalan itu akan dirapikan, itu berarti juga akan ada manfaat bagi mereka.

Ternyata Raden Aulia lupa bahwa jalan-jalan sekitar itu banyak jalan “tikus-nya”. Sehingga Raden Aulia kewalahan untuk membatasi pengguna jalan itu. Bahkan sangking strategisnya jalan itu (bahkan tidak ada alternatif lain), pengguna dengan mudah seliweran tanpa bayar.  Walau tamak, Raden Aulia awalnya tetap amanah untuk mengelola jalan itu agar teratur, profesional dan rapi. Awalnya itu tidak masalah, tapi lama-kelamaan, bisnis jalan raya itu mandek. Banyaknya pengguna jalan membuat biaya perawatan jalan tinggi, di sisi lain pemasukan bisnis tidak sebanding dengan biayanya. Ya itu tadi, yang “free raider” lebih banyak dari yang “pembeli sah”.

Lama kelamaan lagi, si Raden Aulia ini kurang amanah, jalan sudah tidak lagi dirawat, tidak rapi dan profesional. Para pembeli sah mengeluh dan atas nama KEADILAN mengancam tidak mau membayar lagi. Raden Aulia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Akhirnya bisnis itu bangkrut. Jalan kembali terbuka, walau dengan kondisi yang kembali menjadi jelek dan tidak layak, tapi bagi semua pihak, ini jalan tengah yang bisa diambil. Di satu sisi akhirnya semua pihak merasa diberlakukan adil, Raden Aulia yang sudah tidak perlu lagi stress memikirkan bisnisnya yang bangkrut, “pembeli sah” yang sudah tidak perlu membayar karena toh jalannya tetap jelek, dan para free raider yang memang sejak lama “nothing to lose”. Untuk sementara semua pihak merasa diperlakukan adil oleh keadaan. 

Kemudian waktu terus berjalan dengan sisa-sisa kejayaan bisnis Jalan Raya Raden Aulia yang sudah mulai membusuk, jalan menjadi jelek, berbolong, berkubang dan ada genangan di mana-mana. Berkali-kali terjadi kecelakaan. Bisnis jadi tidak lancar dan daerah lama-lama tidak ramai dan ditinggalkan oleh peradaban.

Pada akhirnya, masyarakat di peradaban antah berantah itu sadar bahwa mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa jalan yang baik dan rapi itu adalah sebuah kebutuhan vital, tapi di sisi lain mereka sadar bahwa tidak ada satu pun mahluk hidup yang kuat untuk mengelolanya, karena pasti bangkrutnya. Ini adalah pilihan hidup mereka. Mereka berandai-andai seandainya ada sebuah mekanisme yang juga tetap ADIL tapi juga tetap mampu memberikan mereka manfaat dan kesejahteraan (welfare) yang seluas-luasnya. Akhirnya peradaban itu tanpa mereka sadari mulai mengenal konsep “barang publik” walaupun mereka saat itu tidak menyebutnya barang publik.

Dari cerita no. 2 ini apa pesan yang bisa kita ambil? Bahwa pada hakikatnya manusia menyadari pentingnya pengelolaan atas barang publik, tapi mereka tetap menuntut adanya sebuah mekanisme yang ADIL. Ya keadilan adalah sebuah tema yang cukup sentral dalam pengelolaan barang publik dan umumnya dalam diskursus welfare economics. Tentu saja banyak bentuk perwujudan kebijakan dalam rangka menuju keadilan yang bisa dijalankan, namun tentu saja yang dipilih adalah mana yang paling mensejahterakan. Dalam bahasa ekonominya, sering disebut-sebut mana yang paling “optimal”. Mungkin bahasa mudahnya, “mana bentuk kesejahteraan yang paling adil dan mana bentuk keadilan yang paling mensejahterakan” (Upps, saya sedang tidak membicarakan sebuah partai di sini, awas kalau ada yang mepolitisir, seperti kasus PSSI akhir-akhir ini, hehehehhe).

Pada akhirnya, semua permasalahan yang ada terkait dengan kasus-kasus berbau “barang publik” ini adalah, pada esensinya, bagai mana manifestasi keadilan yang dijalankan oleh manusia. Lalu ketika berbicara keadilan, maka inilah yang sulit dan meluas ke mana-mana. Mana yang paling adil dalam membangun sebuah kejsahteraan, maka akhirnya kita masuk pada wilayah doktrin. Doktrin sosialis, kapitalis, Islam masing-masing punya world view dalam mengejawantahkan bentuk-bentuk keadilan. Nah, bagi saya, bentuk pengejawantahan keadilan ini lah yang juga terjadi dalam kasus KIK di UGM. Itu yang paling esensi, dan yang lain-lain hanya bumbu-bumbu yang tidak terlalu penting.

Saya pernah membaca ulasan bahwa di jaman Kekhalifahan Abbasyah di bawah kekuasaan Harun Al-Rasyd, yang mana dia memberikan semacam proyek bagi ekonomnya yang bernama Abu Yusuf soal bagaimana melakukan pengelolaan Baitul Maal yang adil bagi rakyat, apa yang harus Khalifah lakukan agar benar-benar mensejahterakan masyarakatnya. Maka dengan penelitian yang seksama lahirlah sebua kitab terkenal yang berjudul Al-Kharaj karya Abu Yusuf itu. Sebuah kitab yang dari artikel-artikel saya baca banyak mengulas bagaimana pembebanan tarif/pajak dalam barang-barang publik (misalnya irigrasi) yang adil. Tentu saja di luar keadilan versi Abu Yusuf yang kental dengan doktrin Islam, ada banyak versi keadilan yang bisa saja melengkapi atau berlawanan. Namun demikian, pada esensinya, pencarian keadilan itu punya banyak versi. 

Maka pada perjalanan ke depannya peradaban Raden Aulia yang punah tad pada akhirnya memasuki era dengan bentuk sebuah negara Republik Indonesia, ada Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif. Lalu ujung-ujung mekanisme barang publik yang ada di bawah kekuasaan RI inilah diselesaikan dengan mekanisme pajak pemerintah. Seolah-olah pemerintah berkata, “Oke daripada ribet soal bagaimana membatasi pengguna jalan dan ribet mencari bagaimana mekanisme yang paling adil, kita gunakan saja distribusi manfaat ini dengan mekanisme yang paling simpel, pajak. Kalian semua, rakyat Indonesia membayar pajak pada kami (pemerintah) sebagai yang memiliki kekuasaan dan kewenangan mengatur, dan segala kebutuhan barang publik yang muncul di wilayah ini adalah tanggungan kami”.

Lalu Apa Hubungannya dengan KIK?

Nah, ketika masuk dalam pembahasan soal KIK dan tetek bengeknya, maka sangat wajar jika salah satu paradigma konstruksi berpikir yang dipakai adalah terkait dengan “barang publik” dan public economics. Karena dari situasi yang terlihat sepintas, kasus KIK di lingkungan UGM terkait dengan permasalahan-permasalahan “barang publik”.

Dalam konteks ini, apa barang publik itu? Dia adalah jalan-jalan di wilayah UGM termasuk di dalamnya adalah masalah nilai fisik, kebersihan, keindahan, dan keamanannya.  Itu adalah barang publik yang dalam konteks analogi UGM sebagai pemerintah yang memiliki tanggungan dan amanah memberikan pelayanan kepada “stake holder mereka”, Mahasiswa, seluruh Civitas UGM, dan pihak-pihak yang memiliki kerja sama dengan UGM.

Masalah awalnya adalah, 1) Jalan-Jalan di UGM aksesnya terbuka 2) ada sebagian pihak yang mungkin secara alamiah merasa tidak adil karena merasa membayar ke UGM tapi fasilitas jalan-jalan dipakai oleh individu-individu yang tidak kaitannya dalam mekanisme ini. Maka secara naluriah juga dilakukan “utak-atik” cara bagaimana cara membatasi penggunaan jalan, agar sekali lagi manfaat yang diberikan dari barang publik ini bisa adil bagi semua pihak.  Mulailah dicari jalan agar semua distribusi “biaya” benar-benar bisa dimanfaatkan oleh civitas UGM secara adil.

Nah kalau dalam kisah Raden Aulia dia memiliki kesulitan untuk melakukan batasan-batasan pengguna jalan karena banyak jalan tikus. Di sini UGM memiliki sedikit keuntungan, dengan terbukanya kesempatan membangun “portal-portal” jalan. Tapi di sisi lain, mungkin saja UGM sadar bahwa ada kasus-kasus tertentu bahwa orang-orang di luar UGM benar-benar membutuhkan jalan UGM secara isidental. Mengingat jalur UGM sangat strategis untuk dijadikan shortcut. Sebenarnya bisa saja UGM tidak membatasi apa-apa bagi mereka, dengan membiarkan masuknya orang-orang tersebut dengan kendaraanya. Tapi dengan satu konsekuensi, orang-orang yang tidak memiliki kepentingan mendesak melewati UGM, masuk dan memanfaatkan fasilitas ini.  Mungkin inilah orang-orang yang di ekonomi dengan sebutan “free raider”. Apakah ini baik-baik saja?

Maka salah satu konsekuensi logis dari pembiaran itu adalah munculnya sebuah ketidakadilan bagi kelompok yang memiliki hak lebih, seperti para mahasiswa, terutama mereka yang misalnya, gemar berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain di dalam UGM (dan tentu saja membayar SPP ke UGM). Mereka akan merasa terganggu dengan berkurangnya nilai fisik, kebersihan, keindahan, dan keamanannya dari barang publik yang ada. Adapun preferensi masing-masing orang berbeda-beda. Misalnya saya, yang tidak memiliki motor dan senang jalan kaki ke mana-mana, saya sangat menginginkan jalan-jalan UGM yang aman bagi pejalan kaki.

Lalu, apa sebuah kebijakan yang dianggap adil dan paling relevan dalam tataran teknis? Maka keluarlah kebijakan KIK dan teknik disinsentif bagi non-civitas UGM. Mungkin, bagi UGM,  cara ini adalah pendekatan yang paling adil dan “mensejahterakan” bagi semua pihak.

Tujuan memberikan pelayan yang terbaik baik bagi civitas akademika UGM (yang konon dikenal dengan konsep educopolis, dll) diejawantahkan pada pembagian manfaat dan nilai guna fasilitas UGM dengan adil melalui analisis teori ekonomika publik dan  kebijakan KIK serta disinsentif.  Apakah ini yang paling adil? Relatif, setiap orang punya persepsi masing-masing. Agar jelas, Mungkin saya berikan contoh-contoh kebijakan alternatif yang bisa diambil dalam rangka menuju keadilan tersebut:

1. Pendekatan strict: bagaimanapun caranya, semua orang, tidak peduli non-UGM dan maupun UGM tidak boleh membawa kendaraan masuk ke dalam lingkungan UGM. Bagaimana caranya, semua kendaraan di luar dan semua berjalan kaki menuju kampus masing-masing.

Catatan: pendekatan ini bisa dilengkapi dengan fasilitas publik internal, misal bis kampus, sepeda, dsb. Masalahnya adalah, diperlukan biaya tambahan dan UGM tentu saja memiliki budget constrain. Konsekuensi terusan bisa berupa peningkatan biaya kuliah atau pengurangan anggaran-anggaran lain untuk memenuhi tambahan ini. Tinggal pilih mana yang lebih adil? (lagi-lagi masalah keadilan).

2. Pendekatan bebas: semua orang boleh masuk dan UGM membebaskan. Tentu saja konsekuensi ada dua. Ada sebagian orang yang mungkin terganggu (bisa jadi ini justru mencederai asas keadilan itu sendiri) Kedua, berkurangnya nilai aset (depresiasi) dan jenis manfaat-manfaat lain dari fasilitas publik UGM tersebut. Konkritnya, jalan-jalan bolong,  udara tercemar, keamanan terganggu.

Nah tinggal pilih mana yang paling adil? (Tentu saja kebijakan-kebijakan itu dipilih juga atas adanya batasan-batasan ruang dan waktu, pada artikel selanjutnya InsyaAllah saya akan bahas apa maksudnya ini)

Baiklah, mungkin ini baru pengantar dari saya soal KIK dalam kacamata seorang yang pernah mengenyam pendidikan ekonomi di UGM. Apakah pendapat saya paling benar? Tentu saja tidak, tapi yang paling terpenting di sini kita bisa berbagi perspektif secara adil. Saya juga sadar banyak hal yang belum saya bahas, misal dengan nilai-nilai “kerakyatan” yang selama ini melekat pada UGM. Soal bagaimana UGM itu didirikan di atas Sultan Ground. Soal bagaimana proses ini akan memberikan dampak bagi semakin menjauhnya UGM dari rakyat dan asyik di Menara Gadingnya yang tinggi. Belum lagi soal permasalahan-permasalahan teknis di lapangan.

Nah, untuk itulah mari kita bagikan perspektif kita dalam bentuk yang sehat. Sanggahlah tulisan ini dengan tulisan juga yang menarik dan berborbot (bukan dengan hujat menghujat). Lalu dengan proses belajar dan dialektika kita bisa menjadi lebih dewasa dalam menyikapi segala sesuatu yang ada di hadapan kita. Karena semua orang bisa salah dan bisa benar. Saya tunggu sanggahan dan dialektiknya, untuk sementara saya juga sedang mengumpulkan artikel penolakan KIK yang ada untuk saya cari titik-titik kelemahan dalam argumennya. 

Semoga artikel ini bermanfaat. Amin.

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 Komentar:

  1. kalau mau dipelihara bersama sih, nggak usah pake bayar-bayar. pejalan kaki jg bikin kotor kok. contoh: sambil jalan makan apa dibuang gt aja sampahnya. jadi, balik lagi kesadaran masing-masing.

    sayangnya, karena nggak sadar harus ada aturan2. insight dari konsep audit sedikit: aturan termasuk preventif control, tapi bila dijalankan, kuncinya bukan eksis atau tidaknya aturan, tapi dijalankan oleh orang.

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...