Tampilkan postingan dengan label Aulia Rachman Alfahmy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aulia Rachman Alfahmy. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Juni 2013

Apa Maksudnya "Jika ada wanita yang melamar saya terlebih dahulu, maka saya akan menjanjikan dia peluang 80%"

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Sebagai seorang “ekonom gila”, saya selalu terbiasa menggunakan angka dalam menjelaskan dan mengungkapkan sesuatu agar dapat dipahami dengan mudah. Kisah dari tulisan ini dimulai dari sebuah pernyataan yang cukup unik, “Jika ada wanita yang melamar saya terlebih dahulu, maka saya akan menjanjikan dia peluang 80% keberhasilan”. Terlepas saya suka dia atau tidak, dia cantik atau biasa-biasa saja, kaya atau miskin, intinya kita anggap tidak ada faktor lain yang memengaruhi (kecuali faktor agama kali ya? :P). Saya sudah berjanji memberikan “80%” saya kepada dia. Adapun saya melakukan ini karena 1) Saya menghormati keberanian perempuan menyatakan lebih dahulu; 2) Untuk saat ini, melihat dari kondisi saya yang belum mapan dan menjadi apa-apa, pastinya sang perempuan benar-benar melihat lebih dari sekedar materi, 80% adalah reward saya.

Tapi ada satu hal yang menganggu saya akhir-akhir ini. Apa sebenarnya makna dari ungkapan “80%” ini? Bagaimana praktik di lapangannya? Apa konsekuensi pernyataan ini bagi masa depan rumah tangga saya? Apakah ungkapan ini dapat menjelaskan siapa saya?  Apa manfaat mengetahui makna angka-angka ini bagi para pembaca Ekonom Gila?

Pengertian 80% pada Umumnya
Mari kita berasumsi 1) cateris paribus, pilihan atas pelamar objektif, tidak ada tendensi atau kecenderungan 2) bahwa yang namanya melamar hanya ada dua jawaban, “Ya” dan “Tidak”, jadi di sini kita beranggapan bahwa seseorang tidak akan memberikan jawaban menggantung, tidak ada jawaban, “sebenarnya saya menerima, tapi tunggu saya lulus/tunggu kamu lulus/tunggu kamu sudah kerja/tunggu kakak sudah nikah/dan jawaban-jawaban sejenis lainnya. Jika kita melamar seseorang, maka probabilitas normalnya adalah 50%, karena ada dua jawaban “Ya” dan “Tidak” (dalam rujukan hukum Islam, seorang wanita yang belum menikah, jika “diam” maka bisa dianggap menjawab “iya”, karena diasumsikan ia malu mengatakan “iya”). Nah, pencerahannya adalah dalam situasi normal, maka setiap lamaran yang kita ajukan ke seseorang sebenarnya memiliki probabilitas diterima 50%! (tentunya juga probabilitas ditolak 50% hehehehe), cateris paribus  :P.

Lalu apa makna 80%? Jika kita bersandarkan pada pengertian dan kasus 50%-50% di atas, maka bisa diartikan maksud dari 80% adalah sebuah ungkapan untuk memberikan penekanan atas probabilitas diterima yang lebih besar. Artinya hukum ya-tidak 50%-50% berubah menjadi 20% untuk tidak, dan 80% untuk iya. Dengan kata lain ini adalah sebuah ungkapan yang mengisyaratkan: “Ayo lamar aku duluan, InsyaAllah kamu akan saya berikan prioritas untuk diterima. Kemungkinan ditolakmu amat sangat kecil…”

Konsep Probabilitas ala Saya…
Penjelasan di atas tidak akan selesai begitu saja. Akan ada masalah jika ada yang bertanya, “Kalau memang hanya sekedar memberikan kecenderungan untuk diterima, kenapa gak 75%? Kenapa gak sekalian 99%? Apa bedanya 80% dengan 90%? Bukannya semua ungkapan ini sama saja? Kenapa harus 80%? Apa itu hanya retorika belaka, biar kelihatan cool dan keren?”.

Baiklah, mungkin memang saya dulu tidak sengaja beretorika. Terpaksa saya membuka buku-buku lama saya lagi, dan mungkin jawabannya ada di buku Basic Econometrics buatan Pak Gujarati dan logika yang dipakai cukup berbeda dengan logika 50-50 di atas. Dan mungkin nanti jika ada anak matematika yang membaca artikel ini, ia akan banyak mengkritisi tulisan ini karena mereka lebih mengetahui hakikat probabilitas ketimbang diri saya. Aka tetapi… lagi pula itulah kenapa ini blog ini disebut Ekonom Gila bukan? Hehehehehe. So nekat saja…

Pada Bab  5 yang ngomongin masalah interval estimation and hypothesis, pak Gujarati menyinggung apa yang dimaksud dengan confidence interval atau biasa disingkat dengan CF (biasanya dengan angka 90%, 95%, dan 99%). Misalnya dalam bagian ini Pak Gujarati menerangkan apa yang dimaksud dengan CF 95% dalam sebuah interval nilai 0.4268 sampai 0.5914. Beliau menjelaskan maksud CF itu seperti ini:
Given condition 95%, in the long run, 95 out of 100 cases interval like (0.4268, 0.5914) will contain true β2.   
Tapi beliau juga meningatkan!
We cannot say that the probability is 95% percent, that the specific interval (0.4268, 0.5914) contains the true β2 because this interval is now fixed and no longer random, therefore, either lies in it or does not: The Probability that specified fixed interval include the true β2 is therefore 1 or 0.
Anda bingung? Hahahahaha, Sama saya juga! Mungkin pengertian Gujarati di atas sebenarnya tidak bisa dipakai dalam kasus “dilamar = 80%” saya. Karena di atas adalah sebuah kasus yang harus digunakannya sebuah data empiris, ada observasi, ada standar deviasi, dan CF yang bergabung dan berujung pada sebuah kesimpulan pada diterima atau ditolaknya hipotesis. Tapi mungkin ada baiknya kita menggunakan sedikit pengertian di atas untuk kasus “dilamar = 80%” ala saya. Oke ini ala saya, silakan bagi teman-teman yang ahli matematika mengoreksi secara akademis tulisan ini, eheheheheh.

Terinspirasi dari pengertian CF di atas, saya menggunakan pengertian 80% seperti ini: Dalam jangka panjang dari kasus 100 wanita yang duluan melamar saya, maka 80 lamaran yang ada adalah lamaran yang saya terima. Wah artinya, apa saya punya bakal 80 istri?

Interpretasi Liar…
Baiklah, mari kita kecilkan angka 80% ini menjadi 8 dari 10 atau 4 dari 5. Jadi misalnya dalam jangka panjang ada 10 wanita melamar saya duluan maka 8 lamaran itu saya terima, atau lebih kecil lagi, jika dalam hidup saya (jangka panjang) ada 5 wanita yang melamar saya, maka 4 lamaran itu akan saya terima. Nah, sekarang sudah ada 4 istri, kalau di Islam kan boleh punya 4 istri? Apa ini maunya penulis? Hehehe: Bukan. Itu bukan concern saya, bukan jumlah orang yang diterima, tapi justru jumlah orang yang ditolak.

“Hikmah” dari probabilitas ala saya di atas adalah dapat dijelaskan seperti ini: anggaplah saya memiliki fans 100 orang wanita, dan anggaplah ada pengamatan peneliti peradaban, saat ini 10% dari fans wanita biasanya mau dan rela melamar duluan. Jadi dengan fans yang saya estimasi sekitar 100 orang maka ada 10 orang dalam hidup saya yang akan melamar saya duluan. Maka jika demikian ada 8 yang diterima dan 2 orang yang tidak diterima. Dengan demikian, jika saya konsisten dengan prinsip 80% dan jika kondisi-kondisi soal estimasi fans dan wanita pelamar benar, maka jatah menolak “wanita pelamar duluan” sepanjang hidup saya hanya ada 2 orang. Jika fans saya hanya ada 50 orang sepanjang hidup, maka 5 orangnya akan berani melamar duluan. Dengan prinsip 80% diterima, maka jatah menolak saya hanya 1 orang. Bagaimana jika hanya ada 3 pelamar dalam hidup saya, tidak ada yang bisa saya tolak sedikit pun, karena ketika saya menolak satu orang saja maka rumusnya bukan lagi 80% tapi 66,6%.

Oke apa hikmah dari “logika-logika” di atas? Menjawab pertanyaan dasar di atas bahwa angka 80% ada bedanya dengan 90% dan 70%. Ternyata ungkapan-ungkapan 70%, 80%, 90% menunjukkan perbedaan 1) tingkat kepercayaan diri seseorang atas seberapa banyak jumlah fansnya dan 2) bisa mengetahui seberapa banyak jatah orang yang bisa dia tolak. Semakin tinggi nilai probabilitasnya maka menunjukkan bahwa orang tersebut kurang percaya diri = merasa fansnya sedikit, artinya dia memiliki prinsip “Siapa saja! yang penting mau sama saya…”, Semakin rendah maka bisa dikatakan adalah orang yang sangat pemilih dengan memperbanyak “jatah menolak” = yakin bahwa dalam hidupnya akan banyak yang melamar dia.

Note: ingat bahwa ini adalah kasus di mana kita dilamar oleh seseorang tanpa tendensi/kecenderungan apa-apa, murni tanpa ada chemistry, objektif tanpa ada rasa di hati :p, jadi tidak bisa kita bantah oleh orang yag sudah menikah, “Saya ini pemilih loh, tapi..lamaran pertama atas diri saya saya terima tuh, karena memang saya dari awal sudah suka sama dia! Kosep ini batal!”. Itu kasus dengan asumsi yang berbeda.

Perbedaan Kondisi-Kondisi yang Dibutuhkan
Ingat bahwa 80% itu adalah standard saya pribadi bagi wanita yang “melamar duluan”. Kredit lebih saya berikan bagi mereka yang berani mengambil inisiatif dengan landasan berpikir bahwa di era peradaban saat ini wanita yang berani melamar duluan adalah wanita yang punya perbedaan dan nyali (not ordinary). Mungkin bisa jadi kasus ini bagi wanita berbeda, bagi mereka “Pria Melamar duluan” adalah hal yang biasa, dan tidak perlu diberikan kredit lebih. Tetap kembali ke konsep probabilitas awal 50-50, “iya” atau tidak” (note: konsep 50-50 sebenarnya tidak bisa diartikan jika ada 10 orang melamar, 5 orang adalah jatah ditolak, karena concern-nya di opsi pilihan.”ya” dan tidak”, karenanya probabilitas 50%).

Sebenarnya konsep 80% saya bisa diterapkan menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Misal mbak A, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia seorang lulusan S1”, Mbak B, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia adalah seorang yang alim dan faqih dalam agama”, Mbak C, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melama saya jika dia adalah seorang yang kaya raya, atau Mbak D, “Saya akan memberikan 99,99% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia adalah seorang yang lulusan S1, alim dan faqih dalam agama, seorang yang kaya raya dan ganteng…”, ingat: cateris paribus.
  1. Bagi mbak A: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria lulusan S1 melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok S1 itu
  2. Bagi mbak B: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria yang alim dan faqih dalam agama melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok alim dan faqih itu
  3. Bagi mbak C: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria yang kaya raya melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok kaya raya itu
  4. Bagi mbak D: Semisal dalam hidupnya ada 1 saja atau bahkan 100 orang pria lulusan S1, alim-faqih, kaya raya, dan ganteng melamar dia, maka tidak ada satu pun yang “sempat” dia tolak (satu aja belum tentu ada dalam hidup…)

Sama seperti saya, “Saya akan memberikan 95% bagi wanita yang melamar dulu, sholehah dan pinter”, dari 80% menjadi 95%, ada peningkatan probabilitas dan pengertian secara teknis di lapangan akan berbeda.

Hikmah dan Kesimpulan
Bagi orang yang ingin melamar saya: lihat kira-kira seberapa terkenal saya, seberapa keren saya, berapa kira-kira jumlah fans saya, berapa kira-kira orang yang akan melamar saya dalam jangka panjang, lalu cari tahu sudah berapa orang yang saya tolak, lamarlah saya ketika jatah menolak sudah habis dan anda akan saya terima sebagai bentuk konsistensi saya terhadap apa yang saya janjikan pada diri sendiri. Hehehehehehehe

Bagi kita semua (penulis dan pembaca Ekonom Gila): Menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik akan meningkatkan probabilitas diterimanya lamaran kita kepada seseorang, karena orang yang kita lamar akan kehabisan “jatah” untuk menolak.

Sekali lagi, mungkin banyak yang akan mengkritik pedas tulisan saya mulai dari konsep probabilitasnya yang ngawur hingga ke masalah “perasaan” hati dan kejelimetan saya soal hal-hal yang remeh temeh ini: Pernikahan, “Sudahlah Aulia, ngapain pusing-pusing hitung-hitung probabilitas, kalau suka ya terima aja, kalau gak suka tolak saja, tidak usah banyak dipikirkan, dirasakan saja….”.

Selama menjalani kehidupan ini, saya akhirnya sadar bahwa masa depan, serapi apapun manusia merencanakan, Allah yang berkendak. Manusia sebatas merencanakan, rencana Allah niscaya lebih indah. Termasuk dalam hal jodoh, kita tidak bisa tahu apakah memang benar-benar pasangan hidup yang ada di depan kita adalah yang terbaik dari kacamata pribadi dan perasaan kita saja, Allah-lah yang akan menunjukkan kepada kita siapa yang terbaik bagi kita, sekali lagi, manusia hanya bisa merencanakan”. Probabilitas yang rumit di atas adalah rencana saya, Allah-lah yang berkehendak di hasilnya. Saya akan kesampingkan emosi dan perasaan saya dalam menentukan sebuah pilihan yang besar dalam hidup saya: Istri, lalu akan menggantinya dengan bersikap objektif dan profesional melalui sebuah rencana dan doa agar selalu diberikan ilham yang benar dan baik bagi hidup dan agama saya. Semua kembali ke Allah...
"..either lies in it or does not: The Probability that specified fixed interval include the true β2 is therefore 1 or 0."

Selasa, 4 Juni 2013
Waktunya untuk merenung dan merenungkan..



Selasa, 02 Oktober 2012

Kasus Tentang Ngutang

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
Ini sebenarnya sebuah kasus sehari-hari yang mungkin sering kita temui, saya tidak tahu apa nama resminya (mungkin yang anak akuntansi bisa membantu), tapi bercerita tentang pengalihan utang. Begini ceritanya, ada tiga orang sahabat, Aulia, Rachman, dan Alfahmy. Aulia ini orangnya suka berutang di sana-sini, hidupnya cukup aneh dan berantakan (kasihan sekali dia!). Rachman adalah orang yang sangat penyayang dengan setiap orang, bahkan terkadang dia rela berkorban untuk orang lain. Alfahmy, adalah orang yang sangat pintar dan cerdas. Seseorang yang sangat paham segala situasi dan apa sumber permasalahan yang sedang dihadapinya.

Pada suatu ketika, Aulia yang gemar berutang meminjam uang sebesar Rp50,000.- kepada Rachman. Tanpa berpikir panjang, Rachman yang dasarnya adalah orang yang sangat pengasih (suka ngasih-ngasih sana-sini hehehe) mengabulkan permintaan Aulia. Jadilah Aulia saat ini berutang kepada Rachman sebesar Rp50.000. Entah digunakan apa uang itu oleh Aulia.

Selanjutnya justru Rachman terkaget-kaget dengan kondisi finansialnya, karena dasarnya hanya belas kasih sosial, dia tidak sempat melihat kondisi pribadi dan kebutuhannya. Ternyata gajinya bulan ini terlambat dibayarkan oleh kantornya. Padahal Ibu kos di mana dia tinggal sudah menagih uang kamar sebesar Rp100.000 (kok murah? Anggap aja ini kejadiannya 10 tahun silam! Hehehehe). Akrhinya dia bertemu dengan Alfahmy.

Rachman meminta pinjaman kepada Alfahmy. Alfahmy, yang dasarnya adalah orang yang paham betul tentang ekonomi, langsung bertanya, “Kapan utang ini akan dikembalikan”. Rachman menjawab, “Seminggu lagi, setelah gaji saya turun, InsyaAllah”. Alfahmy, lalu melihat wajah Rachman dengan seksama dari atas hingga ke bawa (kayak di sintetron-sinetron itu loh!). Sok-sok menilai kredibilitas si Rachman. Lalu menjawab, “Baiklah Rachman, ini saya berikan pinjaman Rp100.000, kembalikan minggu depan. Tidak perlu ada bunga, yang penting uang saya utuh. Kamu beruntung karena saya paham bunga itu haram.” Jadilah Rachman sekarang berutang kepada Alfahmy sebesar Rp100.000.

Seminggu berselang, Alfahmy datang kepada Rachman. “Hai Rachman, mana piutang saya Rp100.000”. Rachman yang sudah dapat gaji tanpa mengelak langsung mempersiapkan uang dari dompetnya Rp100.000, awalnya. Lalu dia berpikir tentang sesuatu dan akhirnya berkata dalam hati, “Ohya! Saya kan masih ada piutang sama Aulia sebesar Rp50.000”. Akhirnya dia mengambil uang sebesar Rp50.000 dari dompetnya dan berkata pada Alfahmy, “Ini utang saya Rp50.000, sisanya Rp50.000 kamu bisa tagih ke Aulia ya, aku masih punya piutang sama dia. Oke kan?”

Dahi Alfahmy mengerut, matanya menyorot tajam Rachman sambil berkata, “Tidak! Saya tidak mau membeli ‘obligasi’ mu yang kamu beli dari si Aulia pengutang itu! Rate obligasinya di mata saya sangat rendah, kamu tidak boleh memaksa saya untuk membeli obligasi itu, tidak ada paksaan dalam jual dan beli”. Rachman bingung, mengapa hal yang simpel dan mudah ini jadi rumit? Kenapa ada kata-kata “obligasi” dan “rate” kenapa ada kata-kata “jual” dan “beli”. Rachman bingung terhadap si Alfahmy yang memang sempat kuliah di ilmu ekonomi itu.

Maksudnya Apa?
Ini adalah cerita simpel soal kasus pengalihan utang yang mungkin sering kali terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Rachman yang lugu mungkin kaget dengan konstruksi berpikir si Alfahmy yang anak Ekonomi ini. Kasusnya sebenarnya simpel.

Dalam dunia ekonomi dikenal obligasi atau surat utang. Jika Anda membeli surat obligasi, itu dalam bahasa “kampungannya” adalah anda memberikan pinjaman alias utang. Maka anda akan berhak memegang surat obligasi. Dalam praktiknya, obligasi seringkali melekat kupon atau rate bunga di dalamnya. Kemudian, di dunia keuangan, obligasi ini juga dapat diperjual-belikan atau berpindah tangan. Jadi cerita di atas adalah cerita di mana tanpa sengaja si Rachman memaksa Alfahmy membeli obligasinya (yang awalnya dia dapat dari si Aulia).

Lalu di pasar obligasi apa yang menentukan harganya? Dasar umumnya adalah bunga atau kupon yang melekat pada obligasi itu. Maka jika kita menggunakan penghitungan berbasis konsep future value of money akan sangat mudah ditentukan berapa harga yang fair dari sebuah surat utang atau obligasi, coba cari di Google apa maksud konsep future value of money ini. Namun, penghitungan ini akan bisa diterapkan kepada obligasi yang berisiko nol (risk free), dalam praktiknya satu-satunya surat utang yang bebas risiko adalah SUN alias Surat Utang Negara (di negara lain tentu saja punya nama yang berbeda, misalnya US dengan treasury bond-nya, bahasa inggris obligasi adalah “bonds”, jadi kalau James Bond apa yang maksudnya? :P).

Namun demikian, obligasi ini tidak hanya dikeluarkan oleh negara saja, perusahaan pun bisa mengeluarkan instrumen keuangan ini. Nah, seiring perkembangan jaman dan dunia finansial sangat berkembang pesat, obligasi-obligasi ini akhirnya turut diperdagangkan juga layaknya saham-saham perusahaan di pasar saham (obligasi dijual di “pasar obligasi”). Maka jika saham sebuah perusahaan memiliki rate maka obligasi pun juga demikian.

Satu perusahaan dengan perusahaan lain punya kekuatan keuangan yang berbeda-beda. Nah, inilah yang akhirnya yang menjadi bobot penilaian atas rating surat-surat berharga yang mereka miliki baik dalam bentuk saham ataupun obligasi. Bayangkan bahwa obligasi adalah sebuah kertas belaka yang di atasnya adalah pernyataan bahwa perusahaan A telah berutang pada Mr. B sebesar sekian. Sekilas Mr.B terlihat kaya karena iya memiliki obligasi perusahaan A, tapi jika ditelusuri ternyata perusahaan A adalah perusahaan fiktif, maka akan sangat menyesal sekali jika ada seseorang yang membeli obligasi dari mr. B ini. Ini namanya obligasi bodong!

Sama halnya dengan kasus Aulia, Rachman dan Alfahmy. Alfahmy menilai bahwa obligasi Aulia itu nilainya lebih rendah dari Rp50.000. Mengapa? Karena reputasi Aulia dalam berutang sudah terbukti buruk. Memang iya, si Alfahmy akan menerima Rp50.000 juga kelak dari Aulia. Tapi usaha untuk membuat  si Aulia yang gemar berutang ini untuk membayar utangnya juga menimbulkan biaya dan pengorbanan, mulai dari pengorbanan waktu, bensin hingga pengorbanan perasaan. Setelah Alfahmy hitung-hitung dalam kepalanya, nilai obligasi Aulia yang dipegang Rachman tidak lebih dari Rp25.000 saja. Maka benarlah si Alfahmy yang sangat cerdas ini bahwa Rachman tidak boleh semen-mena memaksa dia membeli obligasi itu. Adapun Rachman yang sudah terlanjur memberi pinjaman kepada Aulia dengan terburu-buru, menurut Alfahmy itu adalah “salah” Rachman sendiri.

Mungkin, bagi Rachman memberikan utang adalah bentuk amal ibadah dan tolong menolong tanpa memandang siapa yang berutang, toh semua akan mendapat balasan dari Allah SWT. Dia tidak menggunakan itung-itungan rumit ala Alfahmy. Sebaliknya, Alfahmy yang punya dasar berpikir ekonomi yang kuat dan sedikit condong ke arah prinsip dagang yang adil, hanya berpegangan bahwa dalam berdagang tidak boleh ada paksaan dan tidak boleh ada yang dianiaya.
Semua sama-sama benar. Wallahu alam bishawab

Jogja 1 Oktober 2012

Selasa, 28 Agustus 2012

Harga Barang dan Moral Manusia

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Kali ini saya akan sedikit berbicara soal “moral”. Hahahaha, sesuatu yang mungkin sangat diasingkan dari dunia ilmu ekonomi. Tapi, tidak apa lah, sekali-kali kita berbicara sebuah hal yang agak abstrak dan membosankan. Karena kalau tulisan saya bagus terus, jadinya gak normal (emang tulisan saya bagus? :P)

Mungkinkah para pembaca Ekonom Gila yang budiman pernah berpikir sejenak di tengah kegalauan malamnya, di tengah jari-jari yang berdzikir dengan BB sambil berkicau di Twitter atau update status di Facebook, yakni berpikir soal dari manakah datangnya harga?

Pikiran paling awam soal bagaimana harga muncul adalah ongkos produksi. Mbah Adam Smith menjelaskan, yang singkatnya, bahwa harga itu munculnya dari biaya tenaga kerja untuk membuat barang itu, ditambah ‘sedikit’ agar kegiatan produksi itu dapat dilakukan lagi. Jadi misalnya ada pak Ahmad yang berdagang sate rusa, maka harga sate rusa yang dijual dikalikan dengan jumlah unit yang dijual hasilnya lebih besar dari biaya dia menggaji pegawainya untuk memburu rusa, menyewa senapan, menguliti rusa, dan membakar sate-sate di atas bara. Juga tidak lupa biaya untuk membeli tusuk sate, bumbu sambel kacang dan lain sebagainya. Mudah bukan?

Melompat jauh dari masa Adam Smith (percayalah! bahwa pencarian nilai atau harga adalah cerita yang panjang dan penuh intrik seperti sinetron, hahaha lebay, maaf saya melompat-lompat), Karl Marx melihat lebih jauh dari Adam Smith bahwa harga itu adalah dari biaya untuk tenaga kerja (ditambah alat-alat kerjanya), biaya tenaga kerja sebelumnya yang membuat alat kerja produksi tersebut, biaya tenaga kerja untuk membuat alat yang digunakan untuk membuat alat produksi, dan demikian seterusnya. Lalu, Karl Marx mengangkat teori nilai lebih yang sudah saya tulis di awal berdirinya blog Ekonom Gila ini. Nah terlepas perdebatan Marx itu, Eduardo Porter dalam buku The Price of Everything menyimpulkan bahwa dari pikiran Karl Marx ini justru dapat diambil sebuah pelajaran lain yakni, “harga dari barang berkaitan ‘lebih jauh’ atas barang itu sendiri dari yang kasat terlihat”. Maksudnya, terkadang atau mungkin seringkali, harga bukan hanya masalah biaya produksi.

Mau contoh? Buat kamu yang suka minum kopi tapi bukan pakar kopi, mungkin akan terbingung-bingung mengapa harga kopi di Kedai Kopi dan Starbuck sangat berbeda jauh. Mungkin, tidak perlu jauh-jauh harga kopinya, harga ice tea-nya (alias es teh!) saja, pasti sudah berbeda. Tapi mungkin saja bagi mereka yang memang pakar dan penggila kopi akan melihat kopi dari sudut pandang yang berbeda dan akhirnya menjatuhkan nilai atau harga kopi Starbuck jauh di atas Kedai Kopi. Sama seperti kalau kalian pergi ke galeri-galeri lukisan di Bali, bagi yang awam pasti akan terbingung-bingung bagaimana lukisan abstrak gak jelas seorang maestro harganya jauh melangit dibandingkan lukisan abstrak pelukis pemula. Padahal biaya kuas, cat dam kanvas-nya mungkin tidak jauh berbeda. Bapak Adam Smith salah dong? Lalu dari mana datangnya harga itu?

Saya sebenarnya paling suka dengan teorinya harganya Walruss, yakni harga itu ditentukan oleh mekanisme pasar. Coba lihat kasus kopi dan lukisan di atas, faktor yang terlibat di dalamnya amat luas. Mulai dari perspektif konsumen awam, ahli, kapasitas, pengalaman, nama besar dan lain sebagainya. Akhirnya harga dijatuhkan pada pasar. Maka pasarlah yang menentukan harga. Logika pasar tanpa intervensi penguasa adalah simpel, ongkos produksi adalah batas bawah harga, dan harga yang terjadi adalah tergantung oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. 

Walaupun jujur saja, saya terkadang masih ‘grogi’ untuk berani mendefinisikan apa itu “pasar”.  Saya hanya sering berpikir dan merenung apakah pasar-pasar yang ada selama ii sudah benar-benar manusiawi? Atau kalau mau pertanyaan yang lebih berbau ekonom ketimbang sosialis, apakah pasar yang tercipta memang benar-benar berujung pada sebuah kesejahteraan masyarakat seperti yang selama ini dijanjikan oleh ilmu ekonomi?

Mengapa demikian? Coba saja, jika kita berikan lukisan Sang Maestro ke sebuah lingkup khusus dan spesifik, seperti misalnya pada suatu kasus: berikan pilihan kepada para keluarga korban perang di Palestina atau Iraq berupa Lukisan Sang Maestro atau Bahan Pangan dan Pakaian, mana yang lebih mereka pilih? Jika harga itu adalah “logika” dasar penentuannya, maka semua manusia akan memilih si Lukisan bukan? Tentu karena harganya yang lebih tinggi? Tapi dalam konteks ini, saya tidak yakin pilihan itu akan dibuat. Lalu mengapa harus ada orang/pasar yang menilai itu sangat tinggi padahal lebih banyak orang lain yang tidak menganggap itu hal yang bernilai?

Kalau mau contoh kompleksitas pasar yang lain dan tidak sesentimentil di atas: misalnya seperti kamu pilihan Es The Kotak vs Hot Coffe Latte Starbuck di hari yang terik seolah-olah matahari ada dua. Mana yang kamu pilih? Prediksi saya adalah para pembaca yang budiman akan memilih Es The Kotak. Dari sini setidaknya dua pelajarannya adalah 1) Pasar itu adalah sebuah entitas yang rumit dan dinamis, sampai-sampai mahasiswa ilmu ekonomi hampir selalu dititipi untuk tidak lupa mengucapkan kata-kata “cateris paribus” di setiap penjelasannya tentang kurva-kurva penawaran-permintaan, 2) Antara harga dan nilai dapat terlihat jelas sedikit perbedaannya, setidaknya menurut saya (dari tadi saya menyamakan dulu term “harga” dan nilai”).

Harga bagi saya adalah apa yang sudah terjadi di pasar, apa yang sudah umat manusia sepakati ketika melakukan transaksi. Seperti harga saham, label harga di toko-toko pakaian, dan lain sebagainya. Nilai adalah dibalik harga, memengaruhi harga, tapi dia lebih kompleks dan menyangkut banyak hal, mulai dari situasi, selera, paradigma bahkan kepercayaan.  Nah,  pencarian nilai-harga inilah yang sudah dilakukan oleh banyak para ahli agama dan ekonom di jaman dahulu hingga modern. Tentang sebuah pencarian nilai, tentang sebuah keadilan, tentang etika manusia, tentang gaya hidup peradaban manusia, tentang kesejahteraan umat manusia. Semua bisa dimulai dari sini.

Baiklah, mungkin para pembaca yang budiman sudah membaca alur berpikir saya yang kali ini cukup jelimet kali ini, bahwa ini adalah kegalauan saya tentang masih banyaknya orang yang miskin dan membutuhkan banyak pertolongan oleh kita, namun di sisi lain banyak orang yang menghambur-hamburkan hartanya (berkaca dari harga yang mereka bayar) untuk sesuatu yang saya pribadi rasakan masih kurang fungsional, relevan dan kekinian dengan kesejahteraan manusia.

“Sayangnya”, saya tahu benar bagaimana konsep teori preferensi individu membangun konsep harga di masyarakat. Saya tahu alur model dan gambar-gambar kurva ala microeconomics yang mengantarkan kita pada rasionalisasi yang solid dan tidak terbantahkan tentang harga. Harga adalah hak mereka bagi manusia untuk memilih atau tidak. Semua diselesaikan secara fair di meja perundingan bernama pasar. Produsen yang meskipun punya andil dalam sebuah inovasi barang dan jasa, mereka pada dasarnya juga tergantung pada daya tarik dari permintaan konsumen. Bahkan mereka jauh lebih mulia karena seringkali menanggung risiko bisnis yang tidak pernah ditanggung oleh konsumen dalam proses inovasi. Konsumen pada dasarnya adalah raja (meskipun memang Say berkata supply creates its own demand).

Akhirnya, mengapa tulisan kali ini saya beri judul Harga Barang dan Moral Manusia karena sebagai manusia biasa dan bukannya pejabat, sebagai seseorang yang hanya menulis di Ekonom Gila, saya hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg bahwa salah satu cara untuk memberikan kesejahteraan pada umat manusia bermula dari paradigma preferensi konsumsi masing-masing manusia. Harga bermula dari paradigma, budaya, moral dan kepercayaan individu tentang sebuah perkara atas harga. Yap! Terkadang pemerintah bisa mengaturnya dengan kebijakan dan otoritasnya, tapi benar kata mereka yang anti-intervensi, bahkan pemerintah sendiri terkadang tidak tahu mana yang paling benar, tepat dan optimal. Jadi saya yang orang kecil ini hanya bisa membagikan ide tentang melakukan perubahan dari diri sendiri. Tentang keadilan menilai barang, tentang mendorong inovasi-inovasi umat manusia yang berdaya guna dan barokah, tentang kepedulian untuk berbagi dan menyadari bahwa memang terkadang kita diberikan kelebihan dan sudah semestinya mengikhlaskan hasil kerja keras kita kepada mereka yang lebih lemah dari kita.

Aghh.. tulisan ini kacau sekali :P
28 Agustus 2012

Tulisan perenungan bulan Ramadhan, sambil membaca buku The Price of Everything dan ingin dipost ketika lebaran, namun apa daya, internet di Balikpapan Lemot jadi di-post di sedapatnya.
Selamat Lebaran. Semoga Allah menerima amalan ramadhan saya, kamu dan kita semua. Aamiin

Jumat, 06 Juli 2012

Teka-Teki Opportunity Cost

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

 Ada satu teka-teki unik di Ilmu Ekonomi yang menguak sebuah kenyataan yang pahit: bahwa para mahasiswa dan doktor lulusan Ilmu Ekonomi masih banyak yang tidak mengerti salah satu konsep dasar dalam Ilmu Ekonomi: opportunity cost. Loh kok bisa? Ya bisa-bisa saja. Sebelum kita mencari tahu mengapa, ada baiknya kita simak dulu sebenarnya teka-teki semacam apa sih itu? Baiklah, jika kamu memang mahasiswa ekonomi dan ekonom sejati, maka jawablah teka-teki ini. Begini teka-tekinya:
Kamu memenangkan tiket gratis untuk menonton Eric Clipton (tiket ini tidak bisa kamu jual ulang). Di malam yang sama, Bob Dylan juga sedang melangsungkan konsernya, dan menonton Bob Dylan adalah alternatif terbaik untuk aktifitasmu malam itu. Untuk menonton konser Bob Dylan, panitia menjual harga tiket sebesar $40. Dalam diri Kamu sebenarnya rela membayar maksimal $50 untuk menonton Bob Dylan. Dengan asumsi tidak ada kos yang lain untuk menonton salah satu pertunjukan, maka berapakah opportunity cost yang kamu hadapi jika pada malam itu kamu memutuskan untuk menonton Eric Clipton?

A. $0
B. $10
C. $40
D. $50

Sebelum melihat jawabannya di bawah, ada baiknya kamu menjawab dulu dalam hati, mana jawaban yang menurutmu paling benar. Sudah?

Sebelum menjawab, mari kita bahas sedikit apa definisi paling mudah dari opportunity cost. Dari semua definisi yang pernah saya pelajari, maka yang paling mudah untuk diingat adalah: opportunity cost adalah kesempatan terbaik yang hilang. Pada banyak pilihan, ketika kita memilih satu hal, maka yang menjadi opportunity cost­­-nya adalah hanya kesempatan yang terbaik saja.

Nah, maka dari konsep di atas, jawaban dari teka-teki di atas adalah $10. Loh kok bisa? Mari kita lihat sebenarnya kesempatan terbaik apa yang hilang jika kamu menonton Eric Clipton.  Biaya untuk membeli tiket Bob Dylan adalah sebesar $40 padahal kamu rela membayar maksimal $50 untuknya. Nah, kalau kamu ingat, berarti sebenarnya kamu memiliki apa yang dikenal dengan “surplus konsumen” sebesar $50-$40 = $10. Inilah kesempatan terbaikmu yang hilang jika kamu memutuskan untuk menonton Eric Clipton. Apakah kamu termasuk yang menjawab salah?

Fakta Menarik
Pertanyaan di atas bukanlah hanya sekedar anekdot yang berkembang di kalangan Ilmu Ekonomi. Pertanyaan di atas adalah sebuah penelitian yang sempat dilakukan oleh Paul Ferraro dan Laura Taylor untuk menguji perbedaan pemahaman konsep-konsep dasar Ilmu Ekonomi antara “kalangan ilmu ekonomi” vs kalangan non-ilmu ekonomi. Hasilnya cukup mengejutkan.
  1. Ketika pertanyaan ini ditanyakan kepada 270 mahasiswa yang pernah mengambil mata kuliah ilmu ekonomi, maka hanya 7,4% yang menjawab benar. Namun ketika ditanyakan pada mahasiswa yang belum pernah mengambil kelas ilmu ekonomi, maka yang menjawab benar justru lebih tinggi: 17,4%. Ingat! Dengan hanya 4 pilihan jawaban, kemungkinan benar untuk menjawab pertanyaan ini adalah 25% (jika menjawab dengan random). Dengan kata lain, jika opportunity cost adalah konsep yang sulit, at least ada 25% yang bisa menjawab benar. Tapi yang terjadi adalah adanya kecenderungan pemahaman yang salah atas opportunity cost oleh mahasiswa ekonomi.  Banyak mahasiswa Ilmu Ekonomi yang sudah merasa benar atas jawabannya, akan tetapi ternyata itu adalah jawaban salah.
  2. Ketika pertanyaan ini ditanyakan kepada 199 para profesional di bidang ekonomi, maka hasilnya adalah 21,6% responden menjawab benar, 25,1% responden menjawab A ($0), 25,6% responden menjawab C ($40) dan 27,6% menjawab D ($50).
Pada akhirnya, Paul Ferraro dan Laura Taylor menarik kesimpulan bahwa banyak buku teks Ilmu Ekonomi yang kurang mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan meresap ke hati sanubari mahasiswanya (caeeellahh..). Akhirnya, salah satu konsep dasar terpenting dalam Ilmu Ekonomi, opportunity cost, masih banyak yang kurang bisa mengerti dan memahaminya.

Teka-teki ini pertama kali saya temukan dari teman saya, Marcella Chandra (yang sekarang jadi Pengajar Muda di Pulau Rote) yang dia kuiskan kepada saya, dan dua rekan saya yang lain, Andhisa Hapasari dan Syarif Hidayatullah (yang baru aja nikah, dengan kenang-kenangan buku EG!) pada sekitar tahun 2007-2008. Sejujurnya, dari kami bertiga, sayalah yang menjawab salah! Hahahahaha, sialan. Tak lama kemudian, saja juga tahu bahwa salah satu dosen IE di kampus saya (yang ternyata masih berteman dengan si Bapak Paul Ferraro) juga menggunakan pertanyaan ini sebagai salah satu soal di ujian semester (hayo yang anak IE UGM, siap-siap aja, siapa tahu nanti keluar soal ini). Jadi, bisa dikatakan mungkin teka-teki ini sudah menjadi teka-teki yang umum bagi anak Ilmu Ekonomi.

Kasus ini membuat Robert H Frank menulis sebuah buku berjudul The Economic Naturalist: Why Economics Explain Almost Everything. Sebuah buku yang menjanjikan pemahaman yang mudah dan ringan dari Ilmu Ekonomi kepada para mahasiswanya karena ternyata masih banyak dari para pencari ilmu ekonomi yang kurang mendapatkan konsep pemahaman yang tepat. Jawaban saya yang salah atas pertanyaan di atas, membuat saya bersemangat untuk membangun blog Ekonom Gila!

6 Juli 2012
Setelah sekian lama hibernasi, saya akhirnya nulis lagi! hahaha, maap2

Sabtu, 12 November 2011

Lagi-Lagi Soal Emas (part 1)

Oleh: Aulia Rachman Alfahhmy

Sudah lama saya sangat ingin menulis artikel masalah emas ini. Tapi dalam bayangan saya, nulis hal ini akan butuh artikel yang panjang. Nah, artikel sebelumnya dari Munadi “yang-berjudul-sangat-panjang” itu, sangat membantu saya dalam menjelaskan masalah ini dengan lebih sistematis dan singkat, ada baiknya sebelum membaca artikel ini, pembaca yang budiman mebaca dulu artikelnya mas Munadi pada post sebelumnya.

Ya, artikel ini lagi-lagi membahas apa yang selama ini dikenal dengan bisnis “berkebun emas” atau apapun kalian menyebutnya, tapi yang jelas bisnis melibatkan setidaknya 2 elemen penting 1) emas; 2) pegadaian (syariah). Belakangan ini bisnis ini heboh dibicarakan masyarakat. Beberapa teman saya, baik di dunia maya dan nyata menanyakan hal ini kepada saya, baik dari sisi 1) soal rasionalisasi bisnis sampai pada pertanyaan 2) “apakah bisnis ini halal atau tidak?”, khusus pertanyaan no.2 adalah sebuah pertanyaan yang sulit sekali! Mungkin butuh menjadi ulama yang ahli hukum Islam yang juga mumpuni soal dasar-dasar teori ekonomi, utamanya masalah finansial dan moneter agar bisa menjawab pertanyaan itu dan ber-ijtihad dengan lebih komperhensif. Anyway, mari kita lanjutkan kembali ke masalah emas ini.

Pertama-tama, sebagai orang yang belajar ilmu ekonomi, saya termasuk orang yang konservatif dalam memandang segala kegiatan perekonomian dalam kehidupan manusia. Jadi, setiap ada segala sesuatu mekanisme yang keluar dari “kodrat” alamiah (gak make sense atau gak rasional), saya seketika itu juga akan langsung skeptis dan pesimis atas mekanisme tersebut. Insting ekonomi saya seolah-olah mengatakan “Pasti ada yang salah di dalamnya!”. Termasuk dalam bisnis “berkebun emas” yang beberapa waktu terakhir ini heboh. Bahkan sampai-sampai salah satu harian besar di Indonesia membuat semacam laporan khusus dan membuat walkthrough berbisnis kebun emas ini. Luar biasa.

Mungkin bagaimana bisnis emas dijalankan, artikel dari saudara Munadi pada posting sebelumnya sudah panjang lebar membeberkan rahasianya. Bahkan jika saat ini para pembaca budiman punya uang Rp8 juta rupiah, maka saat ini juga anda semua sudah bisa langsung menjalankannya. Luar biasa, dari perhitungan dengan modal Rp8juta saja, setahun anda sudah bisa memiliki ROI 61.5%. Sebuah angka yang tinggi!

Lalu “Salahnya” Di Mana?
Entah, sebenarnya saya sangat menghormati sikap orang lain yang mengatakan bisnis macam itu adalah riil, konkrit dan hasilnya nyata. Tapi, sebagai seseorang yang belajar ilmu ekonomi, dan punya paham rada klasik dan konservatif, hati saya menolak-nolak semua praktik ini. Baiklah, saya harus saya akui, ini mungkin bicara masalah paradigma dan keimanan. Jadi maafkan saya jika menggunakan term “salahnya”. Tapi setidaknya saya punya alasan-alasan logis di balik sikap ini.

Pertama, yang membuat hati saya gundah adalah berubahnya orientasi “menggadaikan” barang menjadi sebuah wahana investasi yang sebenarnya sangat dekat dengan aset-aset yang bersifat utang.  Menggadai barang sudah jauh dari sifat, “kebutuhan mendesak”, seperti cerita humor dosen-dosen saya yang konon dulu rajin ke pegadaian tiap akhir bulan untuk bisa sekedar mencari uang makan karena “wesel” belum dikirim. Juga, bagaimana seseorang yang salah satu anggota keluarganya sakit, membutuhkan uang cair, lalu pergi ke pegadaian yang konon “menyelesaikan masalah tanpa masalah”, demi kesembuhan keluarganya itu. Semua itu, sejak menyeruaknya bisnis emas ini, sudah tidak ada lagi. Pegadaian sekarang lebih seperti “produk investasi” yang ramah terhadap akal-akalan investor alias si kapitalis.

Kedua, kalau memang ini sebuah usaha, maka usaha ini sarat akan aset berbasis utang, dan bisnis yang sarat akan utang akan mudah digoyang dan punya dampak multiplier yang menyakitkan banyak orang. Coba baca lagi tulisan Munadi, maka disitu akan jelas terlihat posisi akhir neraca keuangan yang bersangkutan didominasi oleh utang. Dari yang aset normal 8 jt, menggelembung menjadi aset di atas kertas 20 juta (proses leverage-nya sebesar 12 juta, dan ini sebenarnya utang!). Dalam dunia keuangan terkadang utang memang sangat sakti dalam pencitraan laporan keuangan. Tapi di balik itu semua, aset itu seperti ditopang oleh pilar yang rapuh, yang kalau pilar itu runtuh maka hancur semua nilai-nilai di atasnya menjadi debu di muka bumi.

Apa yang membuat dia hancur? Aset 20 juta ini sebenarnya seperti stok barang dagangan yang siap dijual kembali. Rumus sederhana kebangkrutan adalah jika harga pokok (Kalau kata Pak Suwardjono, yang benar “Kos Barang Terjual”) lebih besar dari harga jual di pasar. Dan kapan itu terjadi? Ketika pengusaha salah mengestimasi atau ketika harga barang dagangan di pasar itu jatuh. Voila! Siap-siap aja tutup usaha. Dan ingat, barang dagangan itu dibiayai utang loh.

Ini dia titik krusialnya! Seni dari mata seorang yang belajar ekonomi bermzahab klasik nan konsveratif. Oke…banyak yang mengatakan,  “Harga emas kan selalu meningkat? Jadi bisnis emas ini pasti akan untung terus, mustahil rugi (red: rugi secara nominal), jadi ini bisnis yang prospektif”. Dan banyak lagi yang bersyukur karena ada produk pegadaian syariah yang ramah terhadap pemodal (karena tidak mengenal bunga). Konon, hanya Rp3000,- per gram emas gadaian sebagai ongkos titip (per gram bisa dapat dana cair Rp400ribu), jadi ongkos kirim sebenarnya equivalent dengan tingkat bunga 0.75% per bulan. Saya sampai mengulang-ulang menghitung rasio ini di kalkulator, apakah angka ini benar! Ya Allah benar cuma 0.75% per bulan yang kalau setahun sama dengan 9% (anggaplah ini cost of capital). Nah, dari bisnis kebun ini (berdasarkan tulisan mas Munadi) ROI nya bisa mencapai lebih dari 60% per tahun… Luar biasa bukan selisihnya? (cara mudah mencari rate keuntungan bisa didapat dari selisih ROI dan cost-capital).

Lalu pertanyaan selanjutnya, “Loh kan emang begitu adanya Ul! (nama panggilan akrab saya), salah siapa coba emas bisa naik harganya bisa 30% per tahun? Salah gue? Salah temen-temen gue? Udah nikmati saja!” Baik. Ini justru yang sebenarnya harus kita bedah lebih dalam. Mengapa emas bisa harganya melonjak hingga 30% per tahun? Selain itu, pengetahuan akan ini yang sebenarnya bisa menjadi landasan para “mujtahid” di masa akan datang bisa berijtihad soal masalah ekonomi. Hahahha sok Alimm ni gue.. :P…

Bagaimana Harga Terbentuk
....(bersambung)

InsyaAllah saya lanjutkan tulisannya kapan-kapan... capek nulisnya euy...
:P

Jumat, 21 Oktober 2011

Ambiguitas Penjualan BUMN

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Karena sedang pusing dengan tema apa yang harus saya tulis buat ekonom gila, akhirnya saya mencoba men-trace back beberapa pertanyaan lucu nan aneh yang pernah menyeruak dan muncul di jaman saya kuliah. Salah satunya adalah cerita soal penjualan BUMN.

Pada suatu hari, masyarakat mendemo pemerintah yang suka melakukan privatisasi BUMN. “Gimana sih ini, pemerintah kok sukanya jual-jual BUMN”. Jawabannya gampang sekali, “Ya karena BUMN nya tidak bisa kami kelola, merugi terus, kalau rugi pemerintah yang nalangin lewat APBN kan? Duit APBN kan dari kalian wahai rakyat? Kalau gitu apa kalian mau nalangin mereka terus dari bayar pajak?”. Nah, rakyat pasti diam seribu bahasa. “Bener juga kata pemerintah…”

Namun Anehnya suatu hari ada sebuah berita besar. BUMN XXX DIJUAL PEMERINTAH KE PENGUSAHA NEGARA YYY. Uniknya, BUMN itu terkenal sehat, membawa untung dan tidak merugi. Loh ada apa ini? Lalu rakyat kembali bertanya-tanya sama pemerintah.” Tah-tah..itu perusahaan yang XXX kinerja bagus kok kamu jual juga?”. Ternyata pemerintah tidak kehabisan akal dijawabnya dengan mudah “Kalau perusahaan sakit nan mau bangkrut, siapa swasta yang mau beli…???”. Rakyat kebingungan…

Ini adalah kisah nyata, dan kisah ini memang benar-benar terjadi di Negara Indonesia. Isu ini memang tidak seksi lagi (sekarang isu politik ekonomi di Indonesia lebih banyak beritain siBeye siih..), tapi setidaknya ini bisa menjadi pelajaran kita kelak di masa depan, kalau-kalau ada dari kalian yang menjadi Menteri BUMN, atau paling nggak salah satu Dirutnya.

Ambiguitas-ambiguitas di atas sebenarnya bersumber dari satu pertanyaan dasar: Apakah Pemerintah, yang sudah punya kekuasaan di bidang Politik dan Hukum, boleh dan bisa bermain sebagai pelaku ekonomi? Logika dasar orang-orang yang menolak adanya peran pemerintah di dunia usaha seperti ini: Jika pemerintah sebagai wasit, dan pemain adalah pengusaha-pengusaha, masyak wasit juga ikut bermain bola? Kan bisa jadi gak adil?

Tapi di sisi lain ada juga yang pro. Yaitu dengan berargumen “Terus bagaimana janji pemerintah yang katanya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan? Membangun tidak hanya jiwa tapi juga raga melalui kesejahteraan dan kesehatan? Itu janji! Dan kita telah sepakat, kontrak politik. Saya rakyatmu mengakui kamu sebagai pemerintah, kamu pemerintah harusnya mengayomi saya doooong!”

Ada juga yang akhirnya mengambil jalan tengah. Pemerintah akhirnya boleh bermain di dunia usaha. Untung boleh, tapi dikit-dikit aja. Yang penting sektornya bertujuan untuk memberikan janji-janji itu, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan (maka muncullah sekolah-sekolah negeri dan rumah sakit negeri).

Dari argumen dasar tadi itu saja (apakah pemerintah layak ikut terjun dalam dunia usaha atau tidak) kita sudah bisa menemukan argumen-argumen yang terlihat sama benarnya dan sama shahihnya. Nah, maka kembali kasus BUMN dijual-jual tadi, sebenarnya mana sih yang benar dengan kasus penjualan BUMN itu?? Dijual karena bangkrut? Atau Dijual karena sehat?
Setelah saya pikir-pikir ya…harusnya kita memulai dulu untuk mengelompokkan pendirian BUMN itu tujuan apa? Pelayan sosial atas pemenuhan janji-janji Indonesia, ataukah sebagai pundi-pundi pemasukan untuk BUMN Negara? Jadi kalau gitu kita bagi dua nih:

1)      BUMN yang dibentuk untuk tujuan kebutuhan masyarakat yang merupakan janji-janji negara terhadap rakyat.
2)      BUMN yang dibentuk untuk tujuan menjadi pundi-pundi pemasukan bagi pemerintah.

Kalau saya melihat yang no.1 itu adalah kewajiban, sedangkan yang no.2 adalah sunah. No 2 sunah kenapa? Karena sebenarnya, idealnya pemasukan yang dominan kepada negara adalah dari sektor penerimaan pajak.

Nah, lalu kapan BUMN dijual kapan ditahan. Kalau pemerintah ingin menjual BUMN yang merugi dan bangkrut terus, harus dilihat dia BUMN dalam kategori apa? Kalau dia BUMN yang bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat, maka ya memang sudah sewajarnya dia “merugi” karena BUMN semacam itu tujuan profitnya hanya sebagai pelengkap saja, yang paling penting adalah masyarakat bahagia dan sejahtera.  Kalau untung yang syukur alhamdulillah, kalau nggak untung ya gak apa-apa.

Tapi kalau di BUMN yang dari awal digadang-gadang sebagai salah satu sumber pemasukan kas negara, tapi pada kenyataan tidak berhasil, kemungkinan ada yang salah di manajemen yang dikelola pemerintah. Maka jual saja! Berikan pengelolaannya pada swasta. Tapi kalau dia menguntungkan kenapa harus dijual? Perhatikan Matriks BUMN ala Aulia (2011) ini dia…



Lalu kenapa ada BUMN yang bukan bertujuan sosial alias bertujuan profit murni, dan untung besar, lalu dijual sama pemerintah? Ada dua kemungkinan 1) Kemungkinan dia tidak lebih pintar dari Aulia Rachman (setidaknya sama bodohnya laaaah..) atau 2) Dia ada “main mata sama pembeli”, BUMN harga pasarnya 5 triliun, dijual sama konconya 4 triliun saja. Sama pembelinya yang konconya itu, dia kasih fee sebesar Rp500miliar. Si broker untung Rp500miliar, si pembeli untung Rp500miliar (karena hanya mengeluarkan Rp4,5 triliun, harga pembelian + biaya fee, yang dari seharusnya Rp5 triliun). Itu sebabnya ada yang masih kekeh, kalau pemerintah jalanin BUMN, maka bisa abuse of power, dan tidak diberi penalti, wong dia wasitnya..!!

Nah…kalian mendukung yang mana?  

Kamis, 08 September 2011

Jika Sesama Ekonom Menikah


Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Oke, karena berkali-kali saya melihat teman saya yang satu kuliah di jurusan Ilmu Ekonomi menikah dengan sesama jenisnya (maksudnya sesama jurusan Ilmu Ekonomi, hehehe), saya jadi tertarik membuat sebuah tulisan non-ilmiah (emangnya selama ini Ilmiah ya?) yang bertajuk “Jika Sesama Ekonom Menikah”.

Awal Mula Bertemu
Saya pesimis jika sesama ekonom kali pertama bertemu pasangan yang telah dinikahinya adalah cinta pertamanya. Maksudnya, seperti halnya teori prilaku konsumen, seorang ekonom biasanya memulai dengan kegiatan memilah dan memilih “kombinasi-kombinasi” terbaik. Kombinasi-kombinasi terbaik mana yang terbaik atau bahasa teknisnya “memberikan utilitas yang optimal”. Tentu saja dengan melihat kondisi internal yang dimiliki dalam diri ekonom tersebut.

Mana yang dipilih, si A cantik dengan nilai 90, tapi pintarnya Cuma 65. Di sisi lain si B, cantiknya 70 tapi pintarnya 90. Nah, ekonom tentunya milih-milih nih, mana yang paling ‘click’ di hatinya. Jadi jangan percaya sama ekonom gombal yang bilang “You’re the first and the only one”. Gombal! (kecuali saya, bolehlah kalian percaya :P). Otak rasional ekonom selalu lebih menonjol.

Masalahnya adalah bagaimana kasusnya jika sesama ekonom saling menikah? Mungkin anekdot yang paling dekat dengan kasus ini adalah anekdot yang ada dalam kuliah Game Theory, di mana di teori tersebut disebutkan bahwa “si A berasumsi bahwa si B berasumsi si A berasumsi si B itu bersikap rasional”. Jadi, mereka sesama ekonom ketika akhirnya memilih pasangan ekonomnya, sudah benar-benar sadar bahwa mereka telah melalui proses “teori-teori ekonomi yang kompleks”.

Resepsi Menikah
Idealnya, ketika memutuskan menikah dan melakukan resepsi, sesama ekonom akan mengkonstrusikan bahwa acara resepsi perenikahan adalah bagian dari investasi jangka panjang keluarganya. Biasanya akan dihitung-hitung berapa nih biaya yang keluar dan pendapatan yang masuk dari acara resepsi pernikahan baik berupa uang tunai atau barang. Mereka akan menghitung, jika biaya resepsi Rp50 juta, maka at least pemasukan dari acara baik berupa amplop (uang) atau hadiah barang nilai sama dengan lebih dari Rp50juta. Hehehehehe…

Tapi jika sesama ekonom yang menikah sudah memiliki budget yang besar, maka mereka akan kembali memfokuskan pada “optimalisasi utilitas” terutama dari sisi yang tidak terlihat (intangible). Seperti kepuasan batin, membahagiakan orang tua, dan membahagiakan segenap keluarga dan teman-temannya dalam semua momentum yang tidak terlupakan: pernikahan (terus gue kapan dong nikah! :P).


Memulai Rumah Tangga
Biasanya hal paling krusial yang mereka akan bahas adalah apakah mereka berdua sama-sama masuk ke dalam pasar tenaga kerja, ataukah mereka melakukan pembagian tugas, sang Ayah bekerja dan sang Ibu di rumah sebagai Ibu rumah tangga, atau mungkin sebaliknya.

Sebagai seorang ekonom, idealnya mereka tidak akan merasa “hina” jika dikatakan bekerja di rumah. Ini yang mungkin dikenal dengan underground economic. Menyapu, mengepel, membersihkan rumah, memasak dan menyediakan makanan di rumah juga memiliki nilai ekonomi. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak tercatat di dalam GDP, begitu kata dosen-dosen di ruang kuliah. Jadi pasti ada kos yang keluar dalam setiap kegiatan di rumah. Mungkin proxy-nya adalah dengan melihat besarnya upah pembantu rumah tangga (PRT). Jika biaya kegiatan di rumah Rp1juta sedangkan bekerja di pasar tenaga kerja bisa mendapatkan Rp5jt, jadi surplusnya adalah Rp4jt.

Masalahnya sekarang apakah nilai Rp4jt ini adalah lebih memuaskan ketimbang nilai kepuasan jika salah satu istri atau suaminya ada di rumah. Menjaga rumah, menyambut ketika pulang, melayani kepuasan lahir dan batin di waktu malam (jangan mikir jorok ya! :P) bisa jadi lebih bernilai dari Rp4jt. Nah, di sinilah seninya, jika sesama ekonom yang menikah, mereka akan benar-benar menghitung mana tingkat kepuasan yang paling optimal buat mereka berdua. Keputusan akan berkembang sampai mereka memiliki anak. Apakah anak mereka dirawat oleh Ibu atau Ayah? Atau mereka mempercayakan pada baby sister? Atau di rawat oleh kakek-nenek mereka? Sesama ekonom akan tetap menghitung-hitung mana yang paling optimal bagi kehidupan mereka.

Pembicaraan dalam Rumah Tangga
Mungkin saja terjadi dalam satu rumah tangga sesama ekonom mereka memiliki “kepercayaan” atas mahzab yang berbeda-beda. Misalnya yang satu klasik, yang satunya lagi Keynesian atau bahkan marxis. Hehehehe. Ini akan berpengaruh pada filosofi-filosofi pengambilan kebijakan rumah tangga. Misalkan, apakah pilihan anak harus diarahkan? Ataukah membebaskan anak memilih jalan hidupnya? Seorang Keynesian yang percaya pentingnya intervensi pemerintah, mungkin lebih suka jika anaknya di arahkan. Yang gawat jika pasangannya adalah seorang neo-klasik sejati, yang percaya bahwa peran pemerintah itu terbatas bagi sebuah negara, apalagi perekonomiannya. Maka, alih-alih membicarakan masa depan anaknya, mungkin mereka akan berdebat teoretis, empiris dan filosofis mana mahzab yang paling mendekati kebenaran dan kasus keluarganya. Terus si anak akan bengong jadi obat nyamuk dong?

Ini juga berpengaruh pada gaya mereka dalam mengatur keuangan rumah tangga. Seberapa besar defisit rumah tangga? Seorang Keynesian atau fiskalis mungkin lebih mencintai defisit anggaran yang tinggi agar perekonomian rumah tangga bisa berjalan dengan kencang. Seorang mahzab klasik atau monetaris lebih suka defisit anggaran yang rendah atau kalau bisa tidak ada sama sekali. Mereka lebih suka saving yang dipercaya sebagai faktor kunci pertumbuhan perekonomian rumah tangga dalam jangka panjang. Bisa dibayangkan di malam hari sebelum tidur, mereka akan berdiskusi masalah rumah tangga layaknya membicarakan perekonomian sebuah negara. “Mah kita harus banyak nabung..karena menurut teori pertumbuhan jangka panjang dari Sollow.. bla bla bla”. Kata si Pria. “Nggak Pah, menurut Keynes dalam kondisi perekonomian seperti ini kita harus memperbanyak konsumsi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi…”. Capek deh.. terus kapan dong senang-senanganya :P

Jika Mereka Akhirnya Menjadi Pejabat Ekonomi
Ini yang paling gawat. Bayangkan jika si Ayah adalah Gubernur BI dan si Ibu adalah Menteri Keuangan. Si Ayah di kantor berpikir keras bagaimana caranya agar harga stabil, kurs stabil dan inflasi stabil dengan kebijakan-kebijakan yang kontraksi, seperti menjaga jumlah uang beredar dan lain sebagainya. Si Ibu di kantor sedang merancang bagaimana anggaran dialirkan sempurna sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat dan secara keseluruhan meningkatkan pertumbuhan sebuah negara. Pokoknya segala kebijakan yang ekspansif.

Nah, sang ayah ingin kebijakan kontraktif, sedangkan si Ibu menginginkan kebijakan ekspansif. Maka pertengkaran di rumah adalah pertengkaran negara. Pertengkaran antara bank sentral dan pemerintah juga harus terjadi di atas ranjang. Mungkinkah itu akan terjadi?

Nothing Personal, It’s Just a Good Business  
Setiap rumah tangga, pasti akan mengalami prahara. Baik bersumber dari masalah ekonomi rumah tangga maupun pertengkaran kecil yang tidak penting. Dari sekian banyak penjelasan di atas yang seolah-olah “menyudutkan” pasangan sesama ekonom, mungkin bright side-nya adalah kebanyakan pertengkaran mereka mungkin saja pertengkaran “profesional”. Nothing Personal, It’s Just a Good Business. Hehehehe.

Setelah mereka bertengkar, mereka akan lebih cepat saling sayang-menyayangi kembali. Jadi kemungkinan pertengkaran sesama ekonom akan lebih cepat mereda karena mereka terbiasa berbeda pendapat sejak mereka sama-sama masih kuliah. Jadi, kemungkinan lagi, hubungan sesama ekonom akan lebih langgeng dan memiliki nilai kepuasan pernikahan yang lebih bertahan lama. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, “mereka sesama ekonom ketika akhirnya memilih pasangan ekonomnya, sudah benar-benar sadar bahwa mereka telah melalui proses ‘teori-teori ekonomi yang kompleks’, maka mereka akan sangat yakin dengan pilihan hidup mereka adalah pilihan hidup yang baik dan paling optimal dalam hidup mereka.

Nah, sudah tahu kan kalau menikah dengan ekonom itu banyak untungnya? Wkwkwkkwkw

8 September 2011
Tulisan spesial untuk Syarif dan Kiki. Bagaimanapun tulisan ini sedikit dilebay-lebaykan :P.

Jumat, 05 Agustus 2011

Buang Sampah Sembarangan Juga Korupsi (mungkin)

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Oke, tulisan ini sebenarnya tulisan  sangat lama dan sedikit dimodifikasi. Intinya ada soal kekesalan saya kalau melihat orang membuang sampah sembarangan. Nah buat kamu semua yang selama ini katanya sangat anti sama korupsi, hati-hati dengan membuang sampah sembarangan. Baiklah, apa hubungnya? Mari simak artikel ini.

Suatu kali saya sempat berjalan kaki, ada anak SD sedang mengendarai sepedanya sambil menghabiskan minumannya dalam sebuah plastik. Dengan seenaknya ia membuang sampah minumannya ke jalan dengan melepaskannya begitu saja, dan sampah itu pun tergeletak di jalan.

Saya shock!, dalam hati saya berpikir dan bertanya-tanya, kenapa sih sampah itu tidak dipegang sebentar sampai ada tempat sampah di dekatnya. Sebuah tindakan yang tidak susah untuk  dilakukan dan 100% bisa. Ternyata  sikap ini tidak hanya dilakukan oleh anak SD itu saja. Ketika aku berjalan-jalan (tentunya dengan kaki) hal-hal serupa sering terjadi. Bahkan sampah yang dibuang bukan hanya sampah industri tapi sampah dari tubuh manusia, mohon maaf, misalnya kencing di sembarang tempat.

Saya jadi berpikir, betap mahalnya biaya pemerintah agar bisa membersihkan semua kotoran itu. Mulai dari upah pegawai Dinas Kebersihan Pemerintah (DKP) sampai sosialisasi anti buang sampah dengan papan reklame yang besar-besar. Sebuah pengeluaran yang tidak semestinya dikeluarkan jika semua masyarakat sadar akan kebersihan. Lagi-lagi kita dihadapkan kenyatan bahwa kebersihan adalah barang publik di mana pemerintah lagi-lagi harus membiayai itu semua, mau tidak mau, suka tidak suka.

Logika sederhannya: semakin banyak kita buang sampah sembarangan, semakin banyak uang pemerintah yang harus dikeluarkan untuk membersihkan. Jika kita benturkan logika ini pada beberapa definisi korupsi. Maka semakin jelas bahwa tindakan membuang sampah sembarangan adalah korupsi, mari kita simak definisi korupsi yang saya cuplik dari website Masyrakat Transparansi Indonesia

Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.
Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak lagi pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten. Untuk pembahasan dalam situs MTI ini, pengertian "korupsi" lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Kenapa membuang sampah mungkin saja bisa golongkan dalam tindakan korupsi? Pertama, membuang sampah adalah perbuatan yang merugikan kepentingan publik, mulai dari aspek yang tangible yang dapat dimoneterkan hingga aspek yang intangible yang tidak bisa dimoneterkan. Contoh kerugian yang tangible seperti yang saya jelaskan sebelumnya, biaya yang keluar dari APBN/APBD pemerintah. Padahal biaya tersebut bisa saja ditekan bahkan dihindari jika kita tidak membuang sampah sembarangan. Mari kita asumsikan biaya pemerintah untuk membersihkan kotoran akibat tindakan membuang sampah sembarangan adalah Rp100juta, seandainya biaya itu bisa dihindari, bayangkan berapa pedagang kecil di pasar yang dapat melanjutkan usahanya karena mendapat subsidi pemerintah dari uang Rp100juta tersebut. Di sisi lain. contoh kerugian dari aspek intangible adalah terganggunya “kenyamanan” dan “keindahan” yang seharusnya menjadi hak bagi setiap orang.

Faktor kedua yang menjadi alasan mengapa membuang sampah sembarang adalah tindakan korupsi adalah karena tindakan tersebut didasarkan pada kepentingan pribadi, padahal memiliki kekuatan untuk menghidari hal itu. Korupsi adalah abuse of public power or position for personal advantage (ADB's definition).  Iya! pertama kita sebenarnya memilik power untuk mebuang sampah itu sendiri, akan tetapi demi kepentingan pribadi lalu menganggap dunia ini adalah “tempat sampah“ terbesar sehingga dengan gampangnya membuang sampah di manapun ia berada. Orang-orang merasa malas untuk hanya sekedar mencari tempat sampah, “agh buang di sini aja, kan entar ada yang bersihin”, mereka hanya melandaskan pernyataan mereka pada kepentingan pribadi saja, sekali lagi, padahal mereka mampu!

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita harus sadar bahwa membuang sampah sembarangan mungkin saja adalah bagian dari tindakan korupsi. Jangan sampai kita hanya demo sana-sini menentang korupsi tapi sehabis demo kita meninggalkan sampah di mana-mana. Tanpa terasa kita menelan ludah kita sendiri, tanpa sadar ternyata kita sendiri melakukan tindakan korupsi. Maka tidak heran jika dalam sebuah hadist menyatakan, “kebersihan adalah sebagian dari iman”, karena memang benar, para koruptor adalah orang-orang yang imannya patut dipertanyakan (nyambung gak ya? :P).

Oke, terakhir buat para pembaca ekonom gila, yuk mari kita melihat diri kita sendiri, sudahkan kita membuang sampah pada tempatnya. Bahkan untuk sampah-sampah yang terlihat sepele sekalipun. Misalnya bungkus sedotan aqua, tisu, sampai sobekan pembungkus permen yang sangat kecil. Kalau sampah itu sifatnya anorganik, sekecil apapun akan tetap sangat mengganggu.

Minggu, 19 Juni 2011

Strategi Aneh Botol Saus

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Ini benar-benar tulisan spontan, baru kepikiran setelah saya makan malam. Pun, ini bukan tulisan ilmu ekonomi seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya. Tulisan ini malah cerita soal strategi consumer service di warung makan atau restoran. Jadi cerita berawal dari teman saya (salah satu penulis di blog ini juga) yang tanpa hujan tanpa angin badai mentraktir saya di salah restoran fast food Pizza terkenal di Indonesia (udah pada tahulah maksudnya apa kan? :P) yang kebetulan berposisi hanya satu blok dari rumah kontrakan kami (keren kan kontrakan saya? Tertarik gabung? Klik di sini, sekalian promosi :P).

Cerita bermula dari kasus di mana saya kesulitan menuangkan saus di atas piring saya. Saya membuat botol saus itu vertikal tegak lurus dengan piring saya dan memukul-mukul “pantat” botol dari atas. Aneh! Sausnya kok nggak turun-turun. Saya sempat berpikir apa saya yang terlalu ndeso makan di tempat “semewah” ini sampe-sampe botol saus aja nggak bisa memakainya? Setelah berpikir-pikir, ah nggak juga tuh, saya sudah beberapa kali ke restoran pizza ini, baik di Jogja maupun di Jakarta atau delivery, botol sausnya aja kali yang aneh! Hahahahahaha.

Namun kesulitan saya tidak berlangsung lama. Sejurus kemudian ada mbak-mbak cantik datang menawarkan bantuan kepada saya. “Sini saya bantu mas…” Eits, kok bisa?! Ada cewek cantik yang datang membantu saya, dengan ikhlas dan tulus. Apa karena saya yang terlihat ganteng di matanya? (pasti pembaca yang budiman akan protes keras akan dugaan saya ini!). Atau.. jangan-jangan di restoran itu saya sudah terkenal? Karena ternyata selama ini saya anak pemilik restoran yang terbuang tapi karena alasan khusus, hingga hari ini status saya dirahasiakan dari saya sendiri (menghayal ala sinteron)? Apa jangan-jangan mbak itu secret admirer saya selama ini?

Oh, ternyata mbak itu adalah pelayan di restoran itu, pantes saja dia mau membantu saya (duh, tulisan paragraf sebelumnya nggak penting banget!). Dengan cekatan dia mampu mengeluarkan saus itu dari botol. Sedikit goyangan dari tangannya yang konstan, saus itu keluar dari botol dengan lancar. Saya dan teman saya melihat dengan takjub. “Waaah… hebat”. Mbak itu pergi ke pos pantaunya. Beberapa saat kemudian, di meja lain saya melihat ada ibu-ibu yang sedang kesulitan dengan hal yang sama, lagi-lagi mbak itu datang dan membantu dengan lemah gemulai. Tiba-tiba teman saya (yang berjiwa peneliti ini), akhirnya malah membuat “penelitian dadakan” yang berjudul: Optimalisasi Cara Mengeluarkan Saus dari Botol pada Restoran Pizza X. Dengan kesimpulan: Miringkan botol 45 derajat, guncangkan dengan pelan, maka output saus dari botol akan keluar secara optimal relatif terhadap input tenaga yang kita butuhkan untuk mengeluarkannya. Belakangan di akhir makan, ada pelayan restoran lain yang mengakat piring-sendok kami, lalu bertanya, “Kira-kira ada masukkan apa mas buat kami?”. Saya bilang, “Botol sausnya mas…”. Sang pelayan restoran bingung. Kami berdua tertawa terus saya tutup, “Enggak kok mas, bercanda”.

Apa Nama Strategi Ini?
Sampai rumah, saya masih berpikir. “Ada Apa dengan Botol”. Kenapa susah sekali mengeluarkan sausnya? Kenapa sudah tahu beberapa kali ada orang yang merasakan kesulitan, tidak ada perubahan? Masak mereka nggak melakukan riset? Ada beberapa kemungkinan yang bisa saya simpulkan. Pertama, atas dasar estetika, saus botol itu memang dibuat terlihat baru, belum dipakai oleh siapa-siapa. Jadi, kemungkinan karena baru dipakai itu, sausnya agak susah dikeluarkan. Tapi botol saus dengan keadaan baru bisa saja dimanipulasi. Setelah makan botol sausnya diambil ditukar dengan yang baru, dan yang lama diisi ulang sedikit. Loh jadi seolah-olah membuat  konsumen sengaja kesulitan menuangkan sausnya ke piring dong? Kok tega membuat konsumen kesusahan, bukannya ini berlawanan dengan prinsip “konsumen adalah raja”.

Hipotesis kedua saya adalah, konsumen sengaja dibuat susah. Ya! Lalu sengaja sang pemilik restoran menaruh pegawainya yang cantik-cantik di beberapa pos untuk datang menolong dengan sigap. Jadi, seolah-olah berprinsip, “Buat konsumenmu kesusahan dan datanglah menolongnya”. Pastinya, konsumen awal seperti saya akan terkagum-kagum dengan pelayanannya. Ohya! Meskipun berjarak hanya satu blog dari rumah kontrakan saya, ini kali pertama saya makan di sana. Hehehehe (dasar ndeso!). Mungkin untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya saya tidak perlu ditolong lagi oleh mbak-mbak cantik itu. Mungkin mbak-mbak cantik itu mencari “mangsa” barunya yang lain dan bukan saya lagi (kecuali jika saya pura-pura bodoh nggak bisa mengeluarkan saus dalam botol itu lagi :P).

Baiklah, inilah ide dari tulisan saya kali ini yang sebenarnya sebuah pertanyaan. Apakah strategi membuat konsumen kesusahan lalu datang bak malaikat penolong ada teori dalam manajemen? Apa nama teorinya? Apakah ada dari pembaca budiman yang tahu? Karena menurut saya ini unik. Saya teringat cerita dari Starbuck yang konon sangat melayani konsumennya dengan sepenuh hati. Ada cerita, ketika salah satu pelanggannya mengalami bocor ban (atau sejenisnya) dan harus mengganti dengan ban serep, sang pelayan Starbuck datang menolong orang itu. Dibantunya si konsumen mengganti ban serep dan diberinya kopi gratis sebagai bentuk pertolongan. Waw, keren sekali.

Namun saya dengan kasus botol saus ini jadi berpikir nakal. Bagaimana jika kita sengaja membuat ban mobil konsumen kita bocor, di saat dia kesulitan, kita datang dan menolong. Tentu saja hati konsumen akan tersentuh bukan? Jadi dalam kasus saus di restoran tadi, sebenarnya itu adalah trik. Botol saus itu memang sengaja dibuat susah dan sudah disiapkan para “penolong” agar merebut hati konsumennya. Apakah praduga saya ini benar-benar nyata?

19 Juni 2011

Selasa, 07 Juni 2011

Ku Tidak Bisa Melupakan Masa Lalu (part 1)


Oleh: Aulia Rachman

Manusia tidak akan pernah lepas dari fase hidup yang nelangsa. Kisah-kisah hidup yang menyedihkan merupakan salah satu bagian yang akan mereka lalui. Benar-benar hal yang menyakitkan jika kita berhadapan pada sebuah situasi bermasalah yang sulit untuk kita selesaikan. Membuat kita terkadang jatuh, lemah, berhenti, terkubur, dan tidak berdaya. Sebanyak apapun teori kebangkitan yang kita miliki, tetap saja kita tidak bisa bangkit dan berlari lagi seperti biasa. Rasa sakit itu pasti akan ada.

Utamanya, masalah manusia adalah masalah CINTA! Ya, sebuah kata yang terdiri dari 5 huruf itu bisa begitu dasyhatnya mengubah hidup kita, jalan kita, dan arah hidup kita (Ohya, maksud cinta di sini antar sesama manusia lawan jenis aja ya, tidak melebar ke mana-mana). Ya, memang cinta bisa menjadi energi besar kita untuk hidup dan bergerak, tapi terkadang ia bisa membuat kita kebingungan, sakit, perih seolah-olah terkadang kita berharap bahwa kita seandainya saja tidak usah mengenal apa itu cinta, atau lebih baik kita segera mati saja. Daripada menanggung kepedihan cinta yang kita lalui.

Mengapa manusia begitu “bodohnya” untuk terbuai dalam cinta? Saya juga tidak tahu, yang jelas satu, ketika ia sudah masuk dalam hidup kita, maka dia adalah bagian dari sejarah hidup kita. Sebuah sejarah yang akan memberikan pengaruh pada perspektif hidup kita di masa akan datang. Bagaimanapun besarnya usaha kita meminimalisasi “sejarah” itu, ia akan tetap hadir memengaruhi kehidupan kita di masa akan datang. Bahkan semakin waktu terus berjalan dan bergulir, sejarah kecil itu akan terus membuat hari-hari kita terombang-ambing, tidak jelas, dan penuh dengan disorientasi-disorientasi…

STOP! Ini Bicara Apa Sih!?
Para pembaca mungkin ada yang sudah protes seperti ini, “Loh salah satu penulis blog Ekonom Gila kok malah curcol (curhat colongan) sih! Kok malah ngomongin cinta dan prahara hidupnya. Bukannya ini blog Ekonomi?”

Para pembaca budiman, mungkin boleh saja sekarang kalian memvonis saya sebagai penggalau, ababil, dan lain sebagainya. Tapi jujur saja ini lah sebuah tulisan paling berat (setidaknya hingga hari ini) yang saya coba ingin carikan penyederhanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ya, sebentar lagi kepala kalian akan pusing dengan penjelasan ekonom(etr)i(ka) yang akan saya sampaikan. Selamat berpusing ria!

Apa yang sedang saya bicarakan adalah sebuah model ekonometrika yang paling melankolik yang pernah saya dengar seumur hidup. Dia adalah Random Walk Model (RWM).  Baiklah, harus saya akui sekarang, para pembaca jika ingin mengerti artikel ini adalah pembaca yang melek ilmu ekonomi, lulus ekonometrika 1, nggak ngantukan waktu kuliah ekonometrika 2 dan tahu apa itu “cabang” dunia Time Series di jagad raya pembicaraan ekonometrika (Ya ya ya, mungkin ada juga dari kalian yang baru denger kata “ekonometrika”, yang sabar yaa…). Ini serius, dan saya tidak bercanda lagi seperti artikel-artikel saya sebelumnya. Jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, saya tidak jamin anda bisa mengerti! (Sekali-kali saya sadis sedikit sama pembaca, saya lagi kesal dengan “dunia cinta” hahahahaha).

Baiklah, lalu mengapa RWM adalah model paling melankolik yang pernah saya dengar? Model dasar dari RWM adalah sebagai berikut:

Di mana,
Y   : variabel utamanya…(misalnya adalah siapa saya sekarang
t     : periode
u   : “shock” atau guncangan, bahasa kerennya error term, bahasanya ndesonya “kejadian-kejadian sehari-hari”.

Jadi bahasa mudahnya begini, “Saya yang hari ini, adalah saya yang hari kemarin ditambah kejadian-kejadian yang terjadi di hari ini” (kurang lebih lah). Unsur sejarah ada di variabel Yt-1 . Di sana lah sejarah tertulis dalam kehidupan kita. Lalu, bagaimana pun juga analog dengan ungkapan, “Hari esok kita, dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada kita pada hari ini”. Kalau dibuat contoh model sedikit "konkritnya" adalah seperti ini… (mari bertambah bingung). Misal ada 6 periode dalam hidup kita...

Periode kesatu
Periode kedua
 
Periode ketiga
Periode keempat
Periode kelima
Periode keenam
 
Nah sekarang perhatikan model yang di sisi kanan yang tersusun di sisi kanan, membentuk sebuah pola bukan?
Lihat u nya yang terus bertambah dari waktu ke waktu, dan itu teruuusssss terjadi dari waktu ke waktu (t). Nah, jika Y adalah apa yang terjadi pada diri kita, maka, postulatnya adalah “Apa yang terjadi pada kita hari ini adalah sebuah akumulasi yang terjadi pada kita di hari-hari yang lampau”, yang kalau disingkat menjadi:

Lalu seorang ekonom pakar ekonometrika bernama Kerry Patterseon berkata dengan sangat romantisnya, random walk remember the shock forever”. Oh betapa melankoliknya. Itulah mengapa hingga hari ini saya jatuh cinta dengan RWM. RWM adalah model yang sangat romantis! Karena model ini menggambarkan dan mencerminkan kehidupan kita sehari-hari. Seenggaknya, karena RWM saya bisa memiliki sedikit passion dalam belajar ekonometrika yang terkenal “hantu” di kuliah Ilmu Ekonomi.

Lalu apa pesan moral dari artikel ini? Apa faedahnya artikel ini? Sabar ya, tunggu part 2 yang beberapa waktu ke depan akan saya tulis. Untuk sementara pahami dulu artikel ini, endapkan, renungkan dan cari pencerahan di dalamnya. Ha ha ha ha... Lagi pula, nampaknya artikel di part 2 akan lebih memusingkan para pembaca yang budiman. Jadi istirahat dulu (bersambung).

7 Juni 2011

NB: episode selanjutnya adalah bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah hidup kita yang diterpa prahara cinta...(tentu saja dengan cara-cara ekonometrika).

Sabtu, 21 Mei 2011

Romansa Cinta yang Paling Tinggi bagi Seorang Ekonom (Gila)

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Oke, silakan kalian mengolok-olok saya lagi galau atau lagi ababil (ABG Labil, walau sudah gak ABG lagi). Tapi jujur saja, dari sekian lama perenungan saya soal cinta dan ekonomi, menurut saya hal inilah yang menurut saya paling menggambarkan apa itu cinta (meskipun sampai hari ini saya tetap tidak tahu cinta itu apa, ouch!). Tidak ada pendekatan ekonomi yang lain yang lebih menyerupai dan menjelaskan tentang evolusi cinta umat manusia. Setelah melakukan perenungan dan kontemplasi tingkat tinggi. Meresapi dan menghayati cinta yang selama ini tertanam di dada saya. Melalui jutaan cobaan, rintangan, duri, dan luka. Akhirnya… Saya temukan postulat-postulat cinta dari pandangan seorang ekonom gila kali ini (lebay abisss!).

Baiklah, ternyata evolusi dan tingkatan cinta saya temukan di evolusi uang. Mungkin bagi sebagian orang ada yang bilang kalau sekarang terjadi dekandensi cinta dan saya lihat ini mirip dengan dekandensi nilai uang pada perjalanan evolusinya. Layaknya cinta yang akhir-akhir ini seperti seolah mudah dimunculkan (kalau jaman dulu ada reality show “katakan cinta”, ada juga realty show 12 cewek merebutkan satu cowok, dsb), demikian dengan uang yang juga muncul dari ketiadaan. Sebelum melangkah ke cerita soal cinta, saya akan mulai cerita dahulu bagaimana evolusi uang dan di akhir bagaimana evolusi uang ini beranalog dengan evolusi cinta (tentu saja, ketika berbicara masalah cinta banyak ruang perdebatan di sana, tapi ikuti dulu ya alur dari saya). Saya banyak menggunakan inspirasi dari buku Rothbard untuk menjelaskan evolusi uang ini.

Kemunculan Uang itu Karena pada Hakikatnya Kita Saling Membutuhkan

Tahap pertama - Oke, awalnya kenapa muncul uang adalah tidak lebih dari sebuah kodrati manusia yang diciptakan berbeda-beda, layaknya laki-laki dan perempuan yang memiliki fungsi biologis yang berbeda sehingga mau tidak mau mereka harus bersatu (bagi yang mau dan dapet! hahahaha), manusia yang berbeda-beda ini pada akhirnya sadar bahwa mereka adalah makhluk sosial dan saling membutuhkan. Ya adanya perbedaan dan keanekaragaman ini, membuat diri kita berujung pada sebuah kegiatan yang dikenal dengan sebutan “transaksi”.

Pada awalnya, manusia bertransaksi dengan sebuah mekanisme yang disebut dengan barter. Seorang petani jeruk membutuhkan baju untuk dipakai, seorang penjahit membutuhkan jeruk agar tidak sariawan dan tidak mudah sakit. Entah bagaimana caranya, pokoknya (ya benar-benar pokoknya!) mereka ditakdirkan oleh Tuhan untuk saling bertemu dan juga bisa sama-sama memiliki keinginan yang saling melengkapi, ini dikenal dengan double coincidence of need. Dalam bahasa ndesonya mungkin seperti ini: kebetulan ganda atas kebutuhan. Bagi saya ini seperti sebuah keajaiban, karena benar-benar syaratnya sangat sulit untuk terjadinya sebuah barter yang hakiki (barter yang benar-benar optimal, atas dasar sama-sama suka dan sama-sama mau!).

Bayangkan si A kebetulan bisa membuat dan atau memiliki X sejumlah minimal sebesar H dan kebetulan juga sedang membutuhkan Y sejumlah I. Di sisi lain si B kebetulan bisa membuat dan atau memiliki Y minimal sebanyak I dan kebetulan juga sedang membutuhkan X sebanyak H (pusing kan bacanya!). Atas takdir Tuhan lagi-lagi kebetulan mereka, A dan B, bertemu dan melakukan barter! Voila, bisa dilihat berapa kata “kebetulan” yang saya pakai untuk menjelaskan barter ini? Satu saja syarat/kondisi itu tidak ada, maka barter tidak akan pernah ada.

Konsekuensinya apa? Kegiatan ekonomi baik barang dan jasa akan sangat terbatas. Kegiatan ekonomi hanya diperuntukan bagi mereka yang benar-benar beruntung dan mendapatkan anugerah dari Tuhan atas kenikmatan bertransaksi ini. Seorang dosen, yang sedang ingin jeruk, akan sangat sulit mencari tukang jeruk yang mau menukarkan jeruknya kepada dosen dengan sebuah kuliah 3 SKS. Dosen tidak akan pernah menemukan kebutuhan hidupnya dengan barter, maka wajar dahulu tidak ada dosen karena dosen tidak akan mendapatkan kenikmatan bertransaksi ini dari Tuhan.

Tahap kedua - Oke kali ini entah mengapa manusia berinovasi untuk mengatasi masalah barter ini, dan hal inilah cikal bakal alat yang nantinya dikenal dengan sebutan uang. Jika barter tadi saya gambarkan secara utopis dan “sakral” maka dengan akal manusia, mereka mampu memanipulasi ini dengan sebuah transaksi “tidak langsung”. Anggaplah tadi, tukang jeruk membutuhkan baju, tapi si tukang jahit bukan membutuhkan jeruk, dia lebih membutuhkan beras (sebuah komoditas yang memiliki daya jual yang lebih tinggi karena lebih dibutuhkan). Apakah ini berarti si tukang jeruk tidak bisa mendapatkan baju dari tukang jahit? Tidak, dengan sedikit usaha, dia menemukan petani beras, yang sedang membutuhkan jeruk (yap! Lagi-lagi ini juga masih sebuah kebetulan). Dia tukar jeruk dengan beras, lalu dengan beras yang dia punya dia menukarkan dengan baju. Nah, di sini tukang jeruk bagaimanapun pada akhirnya bisa memuaskan hasrat kebutuhannya tanpa harus memiliki persis sama apa yang dinginkan oleh tukang jahit.

Bagaimana dengan kisah si dosen? Hahahaha mungkin juga tetap bisa, tapi dia butuh usaha lebih keras, dengan mencari tahu apa yang dinginkan tukang jeruk, lalu mencari orang yang memiliki apa yang diinginkan tukang jeruk yang sedang membutuhkan kuliah 3 SKS. Proses barter tidak langsung ini bisa melibatkan lebih dari tiga pelaku dan bisa menjadi kompleks, tapi dari kompleksitas itu akan muncul sebuah solusi.

Sekilas ini memang terlihat seperti barter biasa saja, hanya lebih bertingkat, tapi tanpa sadar sebenarnya manusia memasuki pada sebuah pengetahuan baru bahwa sebenarnya ada sebuah komoditas yang memiliki daya jual tinggi, berterima umum, sehingga bertransaksi  tidak harus melewati kondisi double coincidence of need. Seiring perjalanan waktu, manusia mencari komoditas yang mudah ditukarkan dan memiliki daya jual tinggi ini. Nah, pada akhirnya komoditas berevolusi menjadi sebuah komoditas yang berspesialisasi sebagai alat tukar.

Sejarah menunjukan contoh-contoh anehnya, misalnya tembakau di Virginia ketika masa kolonialisasi, gula di India Barat, garam di Abyssinia, ternak di Yunani Kuno, paku di Skotlandia, tembaga di Mesir Kuno, dan lain sebagainya di beberapa belahan benua lainnya, seperti gandum, manik-manik, teh, cangkang dan bahkan mata kail! (Rothbard, 1963). Apa yang menjadi ciri umum dari komoditas-komoditas ini? Salah satunya adalah adanya sifat divisible alias mudah dipecah belah. Logis, barang yang mudah diatur satuannya ini akan lebih mudah dipilah-pilah tepat sesuai dengan keinginan transaksi. (bayangkan lagi si dosen, apakah barangnya berupa “3 SKS kuliah” termasuk barang yang divisible?).

Nah, barang-barang yang punya daya jual tinggi (termasuk di dalamnya adalah tidak mudah rusak, dinginkan orang banyak, dsb) dan punya sifat divisible yang tinggi adalah yang akan menjadi juara komoditas alat tukar. Siapa juaranya? Sepanjang sejarah tercatat dua komoditas handal, emas dan perak. Inilah yang secara alamiah pada akhirnya membuat manusia menggunakan emas dan perak sebagai sebuah benda yang dikenal dengan “uang” untuk bertransaksi. Selamat tinggal ritual sakral barter, sekarang kita memiliki sebuah “representasi” baru yaitu uang emas dan perak. Bayangkan lagi si dosen yang ingin jeruk dari awal cerita, akhirnya dia sekarang dengan mudah mencari orang yang punya emas dan perak dan mau ditukarkan dengan “3 SKS”nya. “Berikan saja saya emas, nanti dengan emas saya beli jeruk dari petani”. Menjadi dosen adalah hal yang mungkin saat ini, selama dia memiliki uang, dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan (jeruk!).

Tahap Ketiga – Ini adalah fase yang saya kenal dengan “kepercayaan di atas kertas”, inilah yang pada akhirnya akan menciptakan kertas bahkan kartu kredit, sudah dijelaskan oleh Yoga P.S di artikel Credo. Namun simpelnya seperti ini, pada mulanya emas yang ternyata kalau sudah banyak berat dan tidak praktis di bawa ke mana-mana, akhirnya di simpan di tempat penyimpanan emas. Nah tempat penyimpanan emas ini akan mengeluarkan nota, kepemilikan emas di atas sehelai kertas. Kertas ini lama-kelamaan berevolusi menjadi sebuah “uang” pula dan ini lah yang menjadi cikal bakal uang kertas. Uang kertas berbasis emas, inilah yang terjadi bahkan hingga masa Depresi Besar Tahun 1930 yang melahirkan sistem Bretton Wood (menggunakan dolar sebagai uang tautan bersama dan dollar dijamin dengan sejumlah emas).

Namun demikian pada praktiknya, gudang penyimpanan emas tadi berevolusi menjadi Bank (bisa baca artikel menarik di sini dengan cerita yang lebih detail). Dengan cadangan emas yang ada di gudangnya, pelan-pelan dia mengeluarkan “nota bukti penyimpanan emas” a.k.a uang tanpa ada sandaran emas lagi. Bank mengatakan pada masyarakat, “pakai saja ini, toh kami benar-benar ada emas di gudang kami”. Masyarakat toh tetap percaya atas apa yang ada di atas kertas, tidak masalah. Nah, inilah yang saya sebut dengan era uang berbasis “kepercayaan di atas kertas”.

Akhirnya semua berujung pada semua jenis uang berbasis kepercayaan di atas kertas. Uang yang sekarang ada di dompet Anda adalah bentuk kepercayaan Anda terhadap pemerintah, bank yang dulu gudang emas tidak lagi menggunakan emas untuk menyimpan dan memberikan pinjaman, cukup uang kertas. Ya semua adalah atas dasar kepercayaan! Belakangan yang trendy akhir-akhir ini adalah kartu kredit.  Sadar atau tidak, itu juga uang! Atas kepercayaan bank terhadap nasabah melalui slip gaji, atas kepercayaan merchant terhadap bank, maka kartu kredit sebagai bentuk turunan dari turunan uang ini muncul. Jika dihayati lebih dalam, sebenarnya uang-uang ini adalah utang manusia terhadap alam nyata (utang dalam dunia finansial terhadap sektor riil, waduh bahasa saya njelimet ini).          

Tahap ketiga evolusi transaksi inilah yang paling menimbulkan masalah, mulai dari yang paling ringan, yaitu inflasi hingga yang paling buruk yaitu depresi ekonomi.  Karena ketika kepercayaan tidak dijalankan dengan amanah, maka muncullah ketidakseimbangan dalam perekonomian. Maka muncullah self-adjustment alam perekonomian berupa koreksi-koreksi yang terkadang menyakitkan. Ekonomi dengan turunan-turunan ini bisa meroket dengan kencang, tapi juga dengan risiko yang besar.

Lalu Apa hubungannya dengan Cinta?
Oke cukuplah sudah dengan “kuliah” moneter yang saya tulis di atas, yang di sana akan banyak sekali pembahasan bercabang-cabang dan merumitkan (yang pastinya membuat Anda semua tidak mengerti, dan cuma saya yang mengerti, hahahaha). Mari kita masuk ke dunia kegilaan saya soal cinta. Dimulai dari tingkat kecintaan yang paling “rendah” hingga yang paling “haikiki”.

Pertama, Cinta kartu kredit. Kartu kredit kalau bisa dikatakan sebuah nilai uang yang muncul paling dekat dengan sebuah wilayah kehampaan, ketiadaan, tidak ada fundamentalnya. Kartu kredit adalah bentuk uang yang belakangan muncul. Hanya bermodalkan apa-apa yang di atas kertas (selip gaji) dan sebuah kartu plastik, orang sudah percaya bahwa ia memang berdaya dan memiliki uang. Akhirnya punya hak untuk beli motor dan mobil walau pun sebenarnya duitnya belum ada. Semua, serba beres dengan kepercayaan atas informasi yang ada di atas kertas.

Bagi saya ini seperti halnya fenomena cinta yang ada di abad 21. Cinta yang timbul karena kita melihat foto profil seseorang di facebook. Wah cakep! Jatuh cinta saya. Bisa juga hubungan cinta yang ada di situs-situs perjodohan. Ya! Hanya sebuah informasi di depan layar yang terlihat kredibel, kita bisa jatuh cinta. Tanpa kita peduli apa itu cinta, kita hanya jatuh cinta pada apa yang ada di atas kertas (ingat dengan “fase kepercayaan di atas kertas”?).

Jika di ekonomi fase kepercayaan di atas kertas adalah yang paling bermasalah dan berisiko, pun di dunia percintaan. Mengapa? Karena ternyata jika ada sebuah pemalsuan atas kepercayaan ini, maka hancurlah sudah cinta itu. Kalau mau bukti nyata, oke ada! Beberapa waktu yang lalu seorang bisa salah menikahi istrinya yang ternyata juga seorang laki-laki (WT F***!). Tahu kenapa? Karena mereka berkenalan dari Facebook! Ya, dunia maya dan jejaring sosial memang membuat dunia percintaan manusia menjadi “tumbuh” dan dinamis laiknya perekonomian modern. Seseorang mampu menemukan jodohnya di belahan bumi yang jauh sekalipun belum pernah bertemu. Tapi, tanggung sendiri resikonya.

Kedua, Cinta Representatif, untuk menemukan cinta terkadang pada satu titik seseorang sudah tidak lagi membutuhkan yang namanya emosi dan perasan cinta dari lawan “transaksinya”. Bahasa mudahnya “cukup dengan dirimu memiliki sebuah hal yang memiliki nilai tawar tinggi dan berterima umum di peradaban, maka akan kuberikan cintaku padamu”. Apa itu sekarang? Uang! Atau lebih tepatnya di power of money, maka tidak heran jika ada argumen muncul bahwa woman loves money, karena dengan money, transaksi cinta dengan pujaannya bisa sedemikian rupa diakomodasi walau sang pasangan belum tentu memberikan dia juga cinta. Karena mungkin saja uang dengan kekuatannya yang luar biasa, ditangkap dan dikonversikan seseorang menjadi rasa sayang dan cinta. Hingga muncul pantun jenaka, “Ada uang abang kusayang, gak ada uang Abang kutendang!”. Hahahahahahaha! Akhirnya cinta hanyalah representatif dari uang.

Mungkin itu hanya salah satu contoh saja dari transaksi cinta di kehidupan manusia ini. Contoh lain bagi pria, representasinya adalah “kecantikan”. Tidak peduli apakah wanita memberikan cintanya atau tidak, yang penting cantik dulu lah. Nah, kecantikan dan uang ini terkadang menjadi sebuah kombinasi tidak langsung, akan bersatunya cinta itu sendiri. Masih ingat dengan transaksi barter tidak langsung? Kurang lebih demikianlah cinta pada fase ini. "Saya butuh cinta dan saya punya uang, akan akan kubeli cintamu dengan uangku”, kata seorang dosen yang baru mendapat uang hasil mengajar “3 SKS”nya. (Namun demikian, bagi wanita masa lampau, mungkin bukan mencari pria yang punya uang tapi punya kekuatan sehingga bisa dilindungi dari serangan musuh).

Ketiga, Cinta Sejati Ekonom (gila), sampai juga akhirnya kita pada cinta sejati pada tulisan kali ini. Apa itu para pembaca yang budiman! Ya Cinta yang beranalog dengan fase barter di jaman lampau umat manusia. Mungkin bisa juga disebut dengan Cinta double coincidence of need. Saya membutuhkan sesuatu yang saya sebut dengan X dan saya memiliki Y, sebaliknya, Dia memiliki X dan membutuhkan Y. Kami bertemu dan kami saling jatuh cinta! Cinta yang manis dan indah! Mungkin bahasa gaulnya sekarang adalah “antara kami berdua ada sebuah click” yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, yang keindahannya hanya bisa dijelaskan oleh dua orang yang sedang jatuh cinta ini. Ini lah pengertian cinta yang hakiki menurut saya sebagai seorang penulis blog Ekonom Gila. Hahahaha...

Namun demikian, laiknya dunia di saat era perekonomian barter, tidak semua orang bisa merasakan cinta ini. Adalah sebuah kebetulan dari kebetulan yang langka. Apalagi terkadang kita walaupun tahu membutuhkan X dan memiliki Y, tapi kita tidak pernah bisa mengidentifikasi apa itu sebenarnya X dan Y secara jelas. Kita hanya bisa merasakan tanpa tahu apa itu. Hal tersebut benar-benar abstrak. Maka tidak heran, jika mungkin hanya sedikit orang yang bisa merasakan cinta yang paling unik ini di era modern sekarang. Toh, meskipun kondisi-kondisi “barter” sudah terpenuhi, kalau ternyata Tuhan menakdirkan bahwa kedua insan ini tidak bertemu, maka tidak akan terjadi “transaksi” atau “perjodohan”. Belum lagi masalah-masalah lain yang bisa menghambat cinta “barter” kedua insan ini.  

Ah, akhirnya saya sadar mengapa selama ini, Adam Smith, Bapak Ekonomi Modern, tidak pernah menikah. Mungkin baginya cinta itu seperti barter, ketika gagal dengan idaman hati, dia tidak pernah menemukan penggantinya yang tepat, dan Tuhan pun menakdirkan dia tidak bertemu dengan pasangan barter hingga akhir hayatnya. Mungkinkah Adam Smith juga terkena penyakit Cinta “barter” ini? Sungguh sebuah romansa cinta yang paling tinggi bagi seorang ekonom gila.

21 Mei 2011
NB: Mungkin dalam arti luas kepada Allah SWT dan kaitannya dengan Manusia masih belum bisa aku jelaskan dalam ilmu ekonomi. Hal itu lebih kompleks, mungkin Fisika Quantum bisa menjawabnya, hehehehhe