Beberapa saat yang lalu saya membeli sebuah buku terjemahan yang  sangat menarik. Judul buku dan penulis buku tersebut langsung membuat  saya tertarik untuk segera membelinya. Judul buku itu adalah Mengukur  Kesejahteraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesejahteraan  adalah keadaan sejahtera; keamanan; keselamatan; ketentraman. Jadi  kesejahteraan itu adalah sebuah hal yang dirasakan. Buku itu sebenarnya  merupakan terjemahan dari sebuah laporan yang diterbitkan oleh Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress  yang dibentuk oleh Presiden Perancis Nicholas Sarkozy (bukan Saykoji)  tahun 2008 yang lalu sebagai salah satu upaya untuk memikirkan ulang  ukuran kesejahteraan ekonomi yang paling pas selain ukuran-ukuran  konvensional yang sudah ada selama ini, PDB. Komisi tersebut diketuai  Joseph Stiglitz (Columbia University, USA), di”nasehati” oleh Amartya  Sen (Harvard University) dan dikoordinatori oleh Jean-Paul Fitoussi  (Institut d'Etudes Politiques de Paris, Prancis). Ketiganya adalah  professor ternama di bidangnya masing-masing, dua yang pertama adalah  peraih nobel bidang ekonomi.
Kita, khususnya mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi pasti sudah tidak  asing lagi dengan indikator “sakti” itu. Saya tidak akan bicara teknis  atau definitif apa itu PDB, silahkan baca bukunya Pak Boediono atau Pak  Gregory Mankiw untuk tahu apa itu PDB. Filosofinya adalah PDB mengukur  produksi barang dan jasa, bukan mengukur kemampuan konsumsi yang siap  dibelanjakan. Pak Habibie dalam presidential lecture-nya di GSP  beberapa waktu yang lalu juga mensitasi PDB walau dalam besaran  nominal, bukan riil. Lalu apa pentingnya Nicolas Sarkozy membuat komisi  itu, daripada misalnya membuat acara infotainment dengan merekrut  istrinya sebagai presenter?
Buku yang saya baca itu sebenarnya sangat teknis, porsi yang tidak  tepat untuk dikemukakan dalam forum “yang mulia” ini. Stiglitz adalah  mantan nahkoda utama Bank Dunia. Lembaga yang dia kritisi habis-habisan  dalam bukunya Globalization and Its Discontent, tentu saja  setelah dia lengser keprabon, mana ada orang mau mengkritisi lembaganya  sendiri sewaktu dia masih memimpinnya? Amartya Sen adalah entrepreneur dalam memberikan alternatif pengukuran kualitas pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dengan Indeks Pembangunan Manusia-nya (Human Development Index). Fitoussi, kurang saya ketahui sepak terjangnya, adalah seorang macroeconomist  tulen. Mereka bertiga dan anggota tim yang mumpuni ditugasi untuk  mempelajari, mensintesa dan kemudian memberikan rekomendasi yang  berbobot tentang penggunaan indikator-indikator kesejahteraan ekonomi  selain PDB.
Sarkozy menilai, dan diamini oleh tridente ekonom di atas, bahwa  penggunaan PDB sebagai salah satu tolak ukur kemajuan dan kesejahteraan  ekonomi seringkali telah digunakan (atau disalahgunakan) sebagai tolak  ukur yang terpenting tapi kurang mampu menjawab, apakah sebagian besar  masyarakat lebih sejahtera dengan kenaikan PDB itu? Apakah masyarakat  (khususnya yang paling rentan dengan economy meltdown) mampu  menjaga kapasitas konsumsinya? Kita mulai sangkut pautkan isu tersebut  dengan kondisi di negara ini. Beberapa hari yang lalu, ketika saya naik  kereta ekonomi Progo trayek Lempuyangan-Pasar Senen dengan harga  Rp30.000 (angkutan rakyat, bukan angkutan presiden atau menteri), saya  ngobrol dengan seorang janda dengan 3 orang anak. Beliau berkeluh kesah  tentang tingginya biaya pendidikan saat ini. SPP mungkin gratis, tapi ga  ada anak sekolah yang cuma bayar SPP tanpa beli buku, ikut ujian, atau  beli seragam sekolah. Perlu Anda ketahui, pendidikan adalah salah satu  aspek yang dimasukkan Sen dalam HDI-nya.
Kontras dengan perasaan ibu itu, dan juga para orang tua lainnya,  pemimpin negara ini membanggakan bahwa perekonomian kita adalah terbesar  ke-16 di dunia dengan PDB per 31 Desember 2010 sebesar US$700 milyar[1].  Sekali lagi, tanda bahwa PDB adalah alat ngeles paling mujarab  untuk meninabobokkan mereka yang tidak tahu esensi PDB itu. Beberapa  bulan yang lalu, di sebuah hotel di atas tebing Parangtritis, seorang  birokrat pemerintahan pusat dengan latar belakang sarjana hukum dan  bekerja di lembaga koordinator investasi, menggembar-gemborkan nilai PDB  Indonesia yang terus meningkat. Lagi, PDB menjadi gambar paling photogenic  dari perekonomian negeri kita. Birokrat itu aman-aman saja ngomongi di  depan pejabat daerah yang, maaf, kurang tahu esensi PDB. Coba saja dia  berhadapan dengan kita di forum yang mulia ini, pasti dia akan sakit  perut dan pusing kepala dengan pertanyaan gila kita. Stiglitz, Sen dan  Fitoussi ditugaskan untuk menjawab dan memberikan masukan konstruktif  atas kontradiksi-kontradiksi itu, atas hiperbola-hiperbola itu. PDB  adalah ukuran produksi pasar walaupun kerap diperlakukan sebagai ukuran  kesejahteraan ekonomi (Stiglitz, Sen dan Fitoussi, 2009). Tulisan saya  ini belum saya dukung dengan kondisi riil indikator-indikator itu dan  pendukungnya, baru sebatas mengaktualisasikan ide, membangun sebuah  kritisi a la politisi dan media.
Saya ingin memasukkan unsur Pancasila di sini. Pasal 5 Pancasila  berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ayat ini bisa  ditafsirkan sangat luas. Saya ingin mempersempit saja batasan keadilan  itu dari sudut pandang ekonomi. Pernahkah anda mendengar Indeks Gini?  Indeks ini dapat menjadi alat deteksi atau semacam proxy  kemerataan/ketimpangan distribusi pendapatan sebuah masyarakat. Nilainya  selalu positif dan tidak akan lebih besar dari 1. Makin mendekati satu,  makin tidak merata distribusi pendapatan yang terjadi. FYI, salah satu  daerah yang berbangga dengan status keistimewaannya memiliki indeks Gini  tertinggi daripada provinsi lain di Jawa (I let you googling the data), walaupun trennya terus menurun (distribusi pendapatan semakin merata).
Pertumbuhan ekonomi yang sering dilambangkan dengan pertumbuhan PDB seringkali dijadikan proxy  bahwa ekonomi kita semakin membaik. Tapi siapa sebenarnya yang menerima  balas jasa terbesar dari pertumbuhan PDB itu? Apakah para PNS penerima  remunerasi, atau PNS biasa, ataukah bakul jamu gendong, ataukah investor  minyak asing, atau karyawan BUMN atau para pemain saham? Sulit  menelusur siapa yang paling diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi itu.  Hal yang selama ini kurang mampu menjawab sila kelima Pancasila di atas.
Untuk mempermudah jawaban, kita akan lihat secara kasat mata a la  ekonom gila, tentang pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi sudah  menjawab rasa keadilan sosial? Anda masukkan angka-angka ini ke program  excel anda. Pertumbuhan PDB riil Indonesia dari tahun 2002-2010  berturut-turut (%) adalah 4.5; 4.8; 5.0; 5.7; 5.5; 6.3; 6.1; 4.5; 6.1.  Indeks Gini Indonesia pada periode yang sama adalah 0.33; 0.32; 0.32;  0.36; 0.33; 0.36; 0.35; 0.37; dan 0.38. Jadikan kedua series tersebut  dalam dua sumbu Y yang berbeda, kiri dan kanan. Anda lihat, apakah ada  kesamaan tren? Sekilas tren pertumbuhan PDB meningkat diikuti dengan  tren indeks Gini yang juga meningkat. Namun, kita tidak bisa serta merta  mengkausalitaskan bahwa pertumbuhan ekonomi menyebabkan semakin  tingginya ketimpangan distribusi pendapatan. Mungkin tidak terlalu  relevan juga dengan menyimpulkan bahwa ada korelasi di antara kedua  ukuran tersebut. Korelasi diantara keduanya mungkin ada dalam jangka  pendek, tapi mungkin tidak dalam jangka panjang. Pada tahap awal  pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa (bisa diperdebatkan kapan awal  pertumbuhan ekonomi), mungkin hanya segelintir pemilik faktor produksi  yang akan menikmati kue perekonomian, tapi seiring dengan majunya  perekonomian dan adilnya akses menuju kegiatan-kegiatan ekonomi  produktif, akan semakin banyak orang yang akan menikmati kue  perekonomian sehingga distribusi pendapatan semakin merata.
Kembali kepada apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam kurun  waktu 9 tahun terakhir ini sudah benar-benar mencerminkan rasa keadilan?  Apakah pertumbuhan PDB hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang kaya?  Kalau itu yang terjadi, pertanyaannya bukan apakah pemerintah tidak bisa  melaksanakan sila kelima Pancasila (destructive question), tapi bagaimana pemerintah dan kita menyikapi fakta yang ada guna semakin memeratakan pembagian kue ekonomi (constructive question)?
Adil bukan berarti sama rasa sama rata. Namun, semakin tinggi  ketimpangan distribusi pendapatan juga bukan pertanda yang terlalu baik  untuk membangga-banggakan prestasi ekonomi di sisi lainnya. Seperti yang  direkomendasikan Stiglitz, Sen dan Fituoussi, perlu diinformasikan pula  bagaimana indikator ekonomi lainnya secara berimbang seperti distribusi  pendapatan, konsumsi dan kekayaan sehingga masyarakat pun tahu kondisi  mereka secara komprehensif. Selama ini pidato presiden dan para menteri  hanya ditujukan secara langsung kepada para pejabat, pengusaha kaya,  investor asing, tapi tidak berani menjelaskan secara langsung dan  gamblang kepada tukang becak, pedagang asongan, pelajar dan mahasiswa.  Mereka lupa bahwa bangsa ini, publik adalah seluruh elemen masyarakat.  Informasi adalah barang publik, semakin banyak informasi yang kita dapat  tentang apa yang terjadi di masyarakat, semakin baik pula demokrasi  kita berfungsi. Sekali lagi, ukuran kesejahteraan adalah barang penting  untuk melihat secara gamblang dan objektif tentang perkembangannya.  Namun, subjektifitas publik tentang indikator tersebut juga harus  dijadikan start awal tentang apakah substansi peningkatan kesejahteraan  (yang diukur dengan berbagai indikator itu) sudah benar-benar tercapai?  Sekian.
*) Alumnus Jurusan Ilmu Ekonomi UGM
[1]http://bisnis.vivanews.com/news/read/212525-sby-15-tahun-lagi--pdb-indonesia-us-4-triliun
[1]http://bisnis.vivanews.com/news/read/212525-sby-15-tahun-lagi--pdb-indonesia-us-4-triliun

 

0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...