Beberapa waktu lalu saat sedang hot-spotan di perpustakaan, saya didatangi seorang bocah anak SMP. Bukan mau minta sumbangan, ngajak tawuran, atau meminta pertanggungjawaban karena telah menghamili dia (the bocah is a boy >.<). Tapi dia sedang berusaha menjual anti virus!.
Setelah introduksi basa-basi, ia menginterupsi dan membuat saya terpaksa menutup situs yang enggak-enggak. Dia memaksa saya menyeluncur ke blognya. Nama bocah laknat ini Novan. Dan dia menawarkan sebuah anti virus premium. Sambil berpromosi, bahwa untuk mendapatkannya tidak murah. Tapi buat saya dia kasih harga khusus.
Berapa emang bos?
“Terserah masnya mau ngasih berapa”.
Walah, rupanya ni bocah belum tau siapa saya. Masa pembajak sawah ditawari software bajakan. Saya sudah tahu bahwa untuk mendapatkan account premium itu cukup mudah. Sudah ada crack-nya dan bisa diunduh secara gratis di forum-forum. Maklum, sekitar 100 Gigabyte software, games, music, dan film di laptop saya 100% hasil jadi kebo di sawah dunia maya. Belum mampu beli yang asli kakak...
Tapi saya salut dengan bocah ini. Baru kelas 2 SMP tapi sudah berani melakukan personal selling. Saya aja baru berani jual diri pas SMA, itu aja ga laku-laku. Novan berani menjual barang bajakan yang sebenarnya gratisan lagi!!! Bagi orang yang ga ngerti, mungkin tawaran Novan terdengar menggiurkan. Murah, harganya bisa suka-suka. Tapi justru itu, harga murah tidak menjamin barang itu laku.
Loh koq bisa? Bukannya murah itu meriah? Belum tentu.
Perceived Value
Harga akan membentuk persepsi yang ada. Karena ternyata keputusan pembelian kita cenderung tidak rasional. Lebih hebatnya lagi, pikiran bawah sadar kita mempersepsikan harga sebanding dengan nilai dan kualitas barang tersebut. Kita cenderung meremehkan barang dengan harga murah dan memiliki ekspektasi tinggi untuk barang dengan harga tinggi.
Penelitian yang dilakukan Universitas Stanford dan California institute of technology mampu membuktikan hal itu. Mereka mengumpulkan 20 sukarelawan, 10 orang pria dan 10 orang wanita. Lalu grub ini diberikan 2 botol anggur. Anggurnya sama, tapi yang satu diberi harga mahal, sedangkan yang satunya berharga murah. Mereka disuruh memilih.
Peneliti yang kurang kerjaan ini lalu merekam aktivitas otak sukarelawan selama proses pemilihan anggur tadi. Ternyata ada aliran darah yang membesar di medial orbitofrontal cortices, bagian untuk rasa senang didalam otak, ketika responden memilih anggur mahal.
Hal ini menunjukkan kesimpulan sederhana: semakin mahal harga sebuah produk, semakin besar pengorbanan untuk mendapatkannya, dan ketika kita berhasil membelinya, otak akan merespon dengan timbulnya hormon yang menimbulkan rasa senang dan puas.
Itulah mengapa Luis Vuitton, Armani, Gucci, Prada, Yves Saint Laurent, dan merek-merek terkenal sengaja memasang harga tinggi. Harga menunjukkan status social. Semakin mahal, semakin puas pemakainya.
Seorang teman yang memiliki usaha dompet kulit bercerita. Ia pernah menjual dompet dengan harga 25rb susahnya minta ampun. Ga laku-laku. Padahal itu kulit asli. Sedangkan adiknya menjual dengan harga 75rb dan justru laris bak kacang goreng!. Ternyata pembeli merasa ragu dengan harga kulit hanya 25rb karena dibenak mereka, harga barang-barang kulit sekitar 50rb-100rb.
Cheating Lesson: Keep your price reasonable!!!
Dalam teori-teori pricing model sederhana ada dua pendekatan yang umum digunakan. Cost basis dan skimming price strategy. Cost basis yang dasarnya biaya. Berapa biaya total ditambah margin keuntungan yang diharapkan, jadilah harga produk. Tapi jika menggunakan skimming price, maka tetapkanlah harga setinggi-tingginya. Biasanya untuk barang2 inovasi dan baru. Ketika baru memasuki fase introduction di pasar.
Ilmu marketing sebenarnya ilmu yang berusaha memainkan perceived value konsumen. Nilai yang dipersepsikan dibenak pembeli. Karena peperangan marketing yang sesungguhnya ada di benak konsumen kata Al Rise.
Sayangnya banyak penipu tidak sadar hal ini. Berjualan ayam tiren koq didiskon. Jangan! Juallah dengan harga pasar. Jangan menurunkan harga. Karena hanya menimbulkan kecurigaan. Jualan black market juga jangan nafsu banting harga. Semakin murah, semakin rendah perceived value, dan semakin besar keraguan terhadap kualitas barang.
Salesman Kecil
Kembali ke Novan, salesman antivirus tadi. Saat berpisah saya bertanya,
“Nanti mau buat perusahaan apa?”
Dia mengaku belum tahu. Juga ketika saya tanya mau kuliah di mana. Mengapa saya bertanya demikian? Karena saya merasa anak ini memiliki something. Sesuatu banget gitu. Baru kelas 2 SMP, dia mampu melihat peluang, mengubah barang bajakan menjadi komoditas, dan yang paling utama: mengeksekusi peluang itu. Action!.
Meski saya menolak tawarannya, sambil menepuk pundaknya saya lalu bercerita tentang penemu vs pemasar. Anda tahu, orang yang kaya terkadang bukan orang yang menemukan, tapi orang yang memasarkan. Kasus McDonald, Coca-cola, sampai permainan freesbee dapat menjadi bukti.
Penemu hanya menambah daftar paten di perpustakaan. Sedangkan pemasar mampu menjembatani kebutuhan pasar yang sesungguhnya dan menambah pundi-pundi kekayaan yang ia punya. Karena ia mampu membuat orang lain membayar untuk solusi yang ia tawarkan. Tidak gratis.
Bukankah tidak ada free lunch? Tapi koq masih ada free sex...
Zzzzzzzzzz…
Kunjungan pertama nih, salam kenal yah. Sebagai salah seorang yang kuliah di Fakultas yang menyangkut keuangan, rasanya blog ini bisa jadi rujukan
BalasHapus