Sore tadi saya melihat dialog di Metro TV dengan tajuk "Petaka di
Balik Diskon." Dialog ini membahas pemberian diskon 50% kepada 1.000
pembeli pertama Bold 9790 yang berujung kepada jatuhnya 90 korban yang
cedera. Acara RIM ini diadakan pada hari Jumat lalu di Pacific Place.
Para calon pembeli, yang mencapai 3.000 orang, telah antre sejak Kamis
Malam dan Jumat dini hari.
Saya tidak ingin membahas
kejadian ini which definitely went wrong. Saya ingin membahas komentar
pembawa acara dialog Metro TV dan narasumbernya. Pembawa acara
menanyakan apakah kejadian ini disebabkan oleh meningkatnya
kesejahteraan masyarakat? Dia juga mengkaitkan kejadian ini dengan
perilaku konsumtif masyarakat. Narasumber menimpali dengan pernyataan
atau maksud yang serupa bahwa masyarakat rela mengikuti antrean panjang
untuk mengikuti tren.
Apakah pertanyaan dan pernyataan mereka justified? Would it, in any way, be biased?
Menurut
saya, antrean panjang tersebut tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan
masyarakat dan gaya hidup masyarakat. Untuk melihat hal tersebut, mari
kita analisis calon pembeli. Siapa yang antre?
Pemilik BB
di Indonesia tergolong unik. Di luar negeri, pemilik BB sebagian besar
adalah eksekutif karena jaringan yang dia offer. Di Indonesia,
distribusi pemakai rata dari kalangan menengah hingga ke atas. Namun
pertanyaannya, siapa dari kalangan pemakai BB ini yang rela antre?
Pegawai kantor.
Kalangan ini bisa jadi merupakan tebakan pertama karena mereka memiliki
purchasing power dan Kemungkinan pegawai kantor untuk membeli juga
sangat kecil karena mereka harus bekerja di hari Jumat. Mereka pun tahu,
dengan diskon sebesar itu, mereka harus mulai antre sejak Kamis malam
atau paling tidak Jumat dini hari. Given hari Kamis yang lelah dan
pekerjaan yang menanti di hari Jumat, rasanya sulit membayangkan mereka
akan berpikir untuk antre.
Mahasiswa. Kemungkinan
mahasiswa membeli relatif lebih besar given constraint waktu yang lebih
longgar. Namun, ada restriksi pembelian yaitu pembayaran dengan kartu
kredit. Oleh karena itu, kemungkinan mahasiswa memiliki kartu kredit kan
relatif kecil. Pun, jumlah mahasiswa yang memiliki kartu kredit relatif
kecil pula.
Ibu Rumah Tangga. Ibu rumah tangga
pun berpotensi membeli karena constraint waktu yang longgar. Namun
demikian, apakah betul mereka ingin merelakan waktu mereka untuk
mengantre dari pagi hari? It’s hard to think so.
Menurut saya, para calon pembeli tidak antre karena ingin mengikuti tren dengan cost yang lebih kecil namun karena expected profit dari reselling.
Paling tidak, mereka bisa mendapatkan profit Rp2 juta dengan menjual
kembali HP tersebut. Oleh karena itu, distribusi antrean justru para
pemilik counter HP karena mereka adalah agent yang paling rasional menjawab insentif dari acara ini. Agent
lain yang merespon hal ini adalah individu lain yang tidak memiliki
toko HP namun bertujuan untuk menjualnya di underground market seperti
Kaskus.
Sulit untuk membayangkan bahwa mereka yang antre
adalah kalangan atas dengan situasi antrean seperti itu. Namun demikian,
situasi tersebut justru menciptakan pasar baru, yaitu pasar untuk calo
pembeli. Calo akan mengantri dan sampai di dalam, pembeli yang akan
menggesek kartu kredit untuk pembayaran. Permintaan calo pembeli
meningkat untuk menjembatani mereka yang ingin membeli. Dengan biaya
calo Rp600.000, pembeli tetap mendapatkan harga BB yang lebih murah
hingga Rp1,5 juta. Hal ini juga memenuhi incentive compatibility pembeli
sehingga permintaan calo meningkat.
Pertanyaannya, berapa
banyak calo dari 3.000 orang tersebut? Saya kira relatif kecil, oleh
karena itu, sulit untuk membuktikan pernyataan bahwa fenomena antrean
adalah fenomena konsumtif masyarakat. Namun, fenomena tersebut adalah
simply response expected profit dari para pemilik counter HP. Untuk saya, it’s just another biased TV statement.
You might also want to read some similar comment:
http://www.detiknews.com/read/2011/11/26/054251/1776088/10/?991101mainnews
Cheers
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...