Senin, 28 November 2011

Researchpreneur

Oleh: Riza Rizky Pratama

Tulisan ini dibuat setelah saya mencermati akun twitter seorang motivator. Celotehan twitternya sangat khas: kalo si otak KIRI bla bla bla, kalo si otak KANAN bla bla bla (anda pasti mulai mengenalnya :P). Saya akui bahwa pemikiran beliau memang sesuai dengan fakta bahwa orang yang mengandalkan otak kiri biasanya berpikir analitis dan hal apapun cenderung diperhitungkan sebelum dilakukan. Sedangkan orang yang cenderung mengandalkan otak kanan pada umumnya berjiwa nekat dan berani ambil tindakan meskipun berisiko tinggi.

Oke, kedua hal itu memang fakta. Namun saya kembali teringat bahwa ada satu ketentuan Tuhan yang tidak terbantahkan bahkan oleh fakta tersebut: Bukankah otak manusia terdiri dari 2 belahan otak yaitu kiri dan kanan? Kenapa kita harus merasa bangga dengan hanya satu belahan otak dan cenderung meremehkan belahan otak yang lain? Sudah, sudah (logat Nunung OVJ :P), saya tidak ingin berdebat tentang otak kiri dan kanan. Saya hanya mencoba “mengakurkan” kedua belah otak tersebut melalui tulisan iseng yang insya Allah bermanfaat: Researchpreneur. Apa sichresearchpreneur? Just cekidot, yow!

Researcher & Enterpreneur: Dua Profesi, Satu Nasib
Apa sich reseacher itu? Lalu kenapa pula saya “kawinkan” profesi tersebut dengan enterpreneur? Yo wiss sebelum tambah ngawur, mari kita bahas pengertian dari kedua profesi tersebut. Definisiresearcher di dalam bahasa Indonesia biasa disebut sebagai peneliti. Researcher berasal dari kataresearch yang dalam bahasa Londo bermakna:

“Systematic inquiry into a subject in order to discover or check facts”

Menurut Keputusan SA-ITB No. 032/SK/K01-SA/2002 disebutkan bahwa penelitian atau riset adalah kegiatan eksplorasi untuk menggali ilmu dan pengetahuan baru yang dilakukan menurut kaidah dan metodologi yang absah untuk memperoleh informasi, teori, model melalui eksperimen, ekspedisi, proses penemuan (discovery and invention). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa peneliti adalah orang yang melakukan penyelidikan terhadap suatu subjek dalam rangka untuk menemukan sebuah fakta atau penemuan terbaru.

Dalam konteks terapan, penelitian juga biasa digunakan untuk menemukan solusi untuk masalah tertentu dalam bisnis, seperti menurunnya kinerja keuangan perusahaan, menurunnya laba perusahaan, dll. Menurut Gay dan Diehl (1992) tujuan penelitian terapan yakni:
  • Untuk mengevaluasi suatu keputusan atau kebijakan.
  • Untuk kegiatan penelitian berikutnya (penelitian dan pengembangan)
  • Untuk menemukan rencana tindakan, yang digunakan dalam pemecahan masalah.
Kemudian profesi enterpreneur berasal dari istilah enterpreneurship yang dalam bahasa Indonesia biasa akrab disebut kewirausahaan. Enterpreneur memiliki tiga peran fungsional yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran utama tentang enterpreneurship yaitu:
  • Risk seeking: Entrepreneur yang menganut paham Cantillon atau Knightian bersedia mengambil risiko terkait dengan adanya ketidakpastian.
  • Inovativeness: Entrepreneur yang menganut faham Schumpeter mengakselerasi terjadinya, penyebaran dan penerapan ide-ide inovatif.
  • Opportunity seeking: Entrepreneur yang menganut faham Kiznerian memahami dan memanfaatkan peluang mendapatkan profit.
Wennekers & Thurik (1999) berhasil mensintesiskan peran fungsional enterpreneur ke dalam sebuah definisi sebagai berikut:

“Kemampuan dan kemauan nyata seorang individu, yang berasal dari diri mereka sendiri, dalam tim di dalam maupun luar organisasi yang ada, untuk menemukan dan menciptakan peluang ekonomi baru (produk baru, metode produksi baru, skema organisasi baru dan kombinasi barang-pasar yang baru) serta untuk memperkenalkan ide-ide mereka kepada pasar, dalam menghadapi ketidakpastian dan rintangan lain, dengan membuat keputusan mengenai lokasi, bentuk dan kegunaan dari sumber daya dan institusi.”

Ok deh, definisi keduanya sudah dibahas. Lantas dimana letak kesamaan nasib di antara keduanya? Mari kita bahas satu persatu. Dari sisi jumlah paper ilmiah, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Singapura (5781 paper), Thailand (2397 paper) dan Malaysia. Sementara jika dibandingkan negara-negara maju di Asia, jumlah paper ilmiah Indonesia jauh tertinggal dimana Jepang memiliki 83.484, Cina 57.740 paper, Korea 24.477 paper dan India 23.336 paper. Yang lebih memprihatinkan, jumlah paper ilmiah Indonesia juga hampir sama dengan paper ilmiah dari Vietnam yang memiliki 453 paper selama tahun 2004 tersebut.

Lalu, apa sebenarnya yang membuat hal tersebut terjadi? Berdasarkan fakta yang diungkap oleh Dahana (2009) bahwa di negara maju rasio biaya riset antara swasta dan pemerintah sekitar 80% berbanding 20% sedangkan di Indonesia keadaan tersebut justru berbalik. Dari sisi remunerasi, peneliti kita “dipaksa” kreatif untuk memenuhi pundi-pundi finansialnya. Seorang birokrat di Kementerian Kesejahteraan Rakyat (nama & jabatan dirahasiakan :p) di situs Kompas sekitar sebulan yang lalu menyatakan jika para peneliti kreatif, peneliti bisa memperoleh penghasilan Rp 15 juta sebulan. Beliau juga bilang bahwa profesor riset punya lima “amplop” pendapatan, yaitu gaji, tunjangan peneliti, intensif riset, hasil pendapatan negara bukan pajak dari kerjasama dengan industri dan hasil kerjasama riset dengan pihak asing.

Hal tersebut kemudian ditanggapi dingin (es kalee) oleh ilmuwan bidang kelautan LIPI, Aprilani Soegiarto. Menurutnya, peneliti seharusnya tidak disibukkan dengan mencari banyak “amplop” supaya aktivitasnya fokus untuk meneliti. FYI, pada periode 2006-2009 seorang peneliti Indonesia ditawari oleh Malaysia pendapatan 10 kali lipat dari pendapatannya di institusi tempat dia bekerja. Maka wajar saja jika profesi peneliti terlihat kurang menjanjikan di Indonesia. Pertanyaannya sekarang, pemerintah memang ingin menstimulus kreativitas para peneliti atau ingin lari dari tanggung jawab? Hanya Allah dan mereka (pemerintah-red) yang tahu.

Lalu, apa kabar dengan pengusaha Indonesia? Menurut beberapa survey, jumlah pengusaha di Indonesia relatif kecil yaitu 0,24 dari total penduduk yang ada. Salah satu begawan bisnis Indonesia, Helmy Yahya mengatakan suatu negara akan tumbuh dengan ekonomi yang baik apabila jumlah pengusahanya mencapai 2 persen dari total penduduk. Dia pun menambahkan jika pengusaha Indonesia mencapai 2 persen, pertumbuhan ekonomi nasional akan dapat mengalahkan China yang tumbuh di atas 10 persen. Dia berpendapat kecilnya jumlah pengusaha di Indonesia karena anak-anak kecil dari rumah ke sekolah hanya dididik untuk bisa menjadi dokter (cita-cita saya waktu bocah :P), polisi, tentara maupun pegawai negeri ditambah lagi kurikulum yang ada di sekolah tidak didesain untuk menjadi pengusaha. Pertanyaannya apakah orientasi karir kita yang sempit atau kurikulum yang salah yang membuat sebagian orang enggan menjadi pengusaha?

Researchpreneur: Tiga Kisah
Berdasarkan wangsit dari langit, saya terpikir untuk “mengawinkan” dua profesi beda otak tersebut menjadi sebuah tulisan: researchpreneur. Tidak selamanya orang “berotak kiri” hanya melakukan aktivitas di laboratorium atau perpustakaan kemudian melupakan aktivitas “otak kanan” yaitu pengembangan. Mereka adalah orang-orang “langka” yang mewakili peneliti yang terus mengembangkan ilmunya untuk kemanfaatan masyarakat. Berikut ini adalah tiga kisah researchpreneur Indonesia yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kita.

Pasukan Nyamuk Mandul ala Papa Saya
Kisah ini saya awali dari rumah saya. Ya, papa saya (ternyata) adalah seorang peneliti. Jujur, saya baru benar-benar tahu beliau berprofesi sebagai peneliti ketika saya kuliah semester 3 (anak durhaka :p). Selama ini saya pikir papa hanya berprofesi sebagai PNS di institusi yang berurusan dengan nuklir. Namun setelah beliau pulang dari Austria, saya pun akhirnya tahu bahwa beliau sedang membuat “sesuatu”.

Apa sich “sesuatu” itu? Suatu ketika saya berkunjung ke kantor papa, saya melihat beberapa “kerangkeng” besar terpampang di ruang kerjanya. Bukan kucing, anjing atau monyet yang ada di situ melainkan nyamuk. Nyamuk? Ya, binatang kecil yang selalu bikin pusing anak kost di malam hari tapi bikin bahagia produsen obat dan lotion anti nyamuk. Saya pun bertanya padanya untuk apa “memelihara” binatang menganggu seperti itu di kantornya. Beliau bilang bahwa nyamuk-nyamuk itu “dipelihara” untuk keperluan penelitian pengurangan populasi nyamuk pembawa penyakit seperti Aedes agypti (demam berdarah) dan Anopheles (malaria).

Saya bertanya lagi, bagaimana cara membasminya? Nyamuk-nyamuk yang ada d kerangkeng itu bukan dibunuh satu persatu pakai obat nyamuk melainkan “dimandulkan” dengan teknik radiasi. Beliau memaparkan secara teknis bahwa nyamuk-nyamuk jantan yang ada di kerangkeng tadi “dimandulkan” dengan sejumlah teknik radiasi (saya begitu paham dengan istilahnya, maklum bukan anak teknik nuklir :p). Selanjutnya, “pasukan nyamuk mandul” tersebut dilepas secara periodik ke habitatnya dan bersaing dengan nyamuk alam untuk kawin dengan nyamuk betina sehingga terbentuk telur-telur steril. Singkat cerita, akhirnya terputuslah generasi nyamuk serta siklus penyakit tersebut.

Hasil percobaan pelepasan nyamuk jantan mandul Aedes agypti pada area terbatas di kawasan Pasar Jumat, Jakarta menunjukkan bahwa pelepasan pertama mampu menurunkan populasi nyamuk di alam sebesar 35 persen dan pelepasan kedua menurunkan populasi sebesar 60-80 persen. Lebih lengkapnya, silahkan baca disini. Dalam hati saya bingung penuh tanya, untuk apa sich buat teknologi seperti itu? Bukankah sudah ada cara yang lazim kita gunakan sehari-hari seperti fogging dsb? Karena penasaran, saya tanyakan saja kepada papa pada saat makan malam beberapa waktu yang lalu.

Beliau katakan bahwa nyamuk DBD sudah makin kebal dengan insekstisida dan plasmodium (parasit penyebab malaria) sudah makin kebal terhadap obat. Jadi, cara-cara pembasmian nyamuk berpenyakit secara konvensional saat ini sudah kurang efektif. Selain itu, Teknologi Serangga Mandul (TSM) ini memiliki keunggulan yaitu ramah lingkungan, murah, efektif dan menekan jumlah serangga pengganggu yang ditargetkan. Namun ada satu hal yang membuat saya semakin kagum dengan papa. Ketika itu di meja makan beliau berujar: ”Kalau teknologi ini berkembang, semakin banyak orang yang terhindar dari penyakit berbahaya yang disebabkan oleh nyamuk. Penduduk Indonesia bisa lebih sehat dan produktif. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi kita semakin baik.”

Sebuah paradigma jangka panjang yang membuat saya semakin malu. Malu karena belum bisa berbuat banyak seperti papa. Saya salut sekaligus khawatir karena teknologi yang beliau buat pasti akan berhadapan dengan raksasa ekonomi yang kuat, Industri obat anti nyamuk dan produk turunannya. Namun saya tidak cemas karena dengan doa dan kegigihannya dalam membuat teknologi ini ditambah lagi pergi ke kantor pada saat akhir pekan guna mengembangkan TSM tersebut, suatu saat keajaiban dari Allah pasti akan datang. Seperti yang dikatakan om Mario Teguh, keajaiban hanya datang kepada yang berani. Info seputar riset papa saya bisa disimak di sini dan bisa didengarkan juga di sini (Sekedar info, produk TSM buatan papa saya menjadi riset unggulan yang mewakili institusinya (BATAN) di Kementerian Riset dan Teknologi, we proud of you, dad! :))

Tomografi: Teknologi Pemindai Objek 4D “Mata Superman” ala Dr Warsito
Lain papa saya, lain pula cerita Dr. Warsito. Siapakah Dr. Warsito? Lahir dengan nama lengkap Warsito P. Taruno, pria kelahiran Karanganyar, 16 Mei 1967 menghabiskan masa kecilnya di sawah membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai petani. Sebagai anak desa lereng Gunung Lawu, ia habiskan hidupnya dengan penuh kesederhanaan di tengah pergumulannya dengan sawah dan ternak. Meski anak petani, beliau sangat hobi membaca buku walau harus pinjam milik orang lain. Pak Warsito biasa membaca buku di sawah, ladang dan sungai (sambil berenang kali ye hehe). Intinya, hidup beliau tiada hari tanpa buku. Adapun prinsip yang beliau pegang kala itu “Kambing saya kenyang makan tanaman orang, saya kenyang baca buku.” Aktivitas tersebut dijalaninya hingga lepas masa SMA.

Sebagai siswa berotak encer, Warsito lalu hijrah ke Yogyakarta setelah namanya tertera sebagai mahasiswa Teknik Kimia UGM. Namun sangat disayangkan karena terbentur masalah biaya, Warsito gagal kuliah di kampusnya pak Boediono, Wakil Presiden RI (UGM pasti nyesel berat nich, piss :p). Beruntung, ketika Warsito merantau ke Jakarta, ia mendapat beasiswa di Universitas Shizuoka, Jepang pada tahun 1987. Beasiswa mengantarnya meraih gelar tertinggi akademik (S3), 1997.

Kemudian temuan apa yang membuat Warsito menjadi istimewa? Beliau adalah peneliti Indonesia dan satu-satunya di dunia yang berhasil mengembangkan teknologi tomografi. Apa pula itu tomografi? Teman mainnya si Tommy Soeharto-kah? Well, tomografi adalah teknologi memindai berbagai obyek, dari luar hingga kondisi bagian dalam, tanpa harus merusak penampangnya. Teknologi ini terdiri dari rangkaian sistem sensor, elektronika dan komputer.

Dengan teknologi ini, pemindaian bisa dilakukan dari luar, tanpa menyentuh obyek. Contoh gampangnya adalah mesin CT Scan dan MRI yang biasa digunakan di bidang kedokteran. Bedanya, kedua alat tersebut sekedar menghasilkan citra dua dimensi (2D), dengan obyek tidak bergerak. Sedangkan tomografi ciptaan Warsito mampu memindai 3D atau volumetrik dengan obyek bergerak berkecepatan tinggi. Bahkan dia menambahkan bahwa teknologi ini sudah bisa menampilkan 4D yakni tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Aplikasi dari teknologi ini pun sangat luas, mulai dari reaktor yang dipakai di pabrik-pabrik, tubuh manusia, obyek-obyek skala nano, hingga perut bumi.

Temuan Warsito segera menjadi incaran sejumlah perusahaan terkemuka di dunia. Teknologi pemindai 4D pertama di dunia itu kemudian dipatenkan di Amerika Serikat dan lembaga paten international PTO/WO pada 2006. Tak tanggung-tanggung, NASA menjadi lembaga luar yang pertama kali mengakui teknologi ini dan kemudian dipakai walaupun masih dalam taraf riset (pemerintah kita dimana yaaa? :P). Kalau saya ceritakan semua bisa habis puluhan halaman jadi silahkan simak selengkapnya di sini.

Terlepas dari semua hal membanggakan yang Warsito buat, ada satu hal yang membuat saya memasukan beliau ke dalam kategori researchpreneur. Meski ia sudah memiliki prestasi berskala internasional dan mendapat tawaran kerjasama dengan berbagai institusi elit di dunia, ia memilih untuk kembali ke Indonesia guna membesarkan Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs) di sebuah ruko mungil di kawasan Tangerang. Dan cita-cita mulia beliau yang membuat saya merinding: ”Cita-cita saya ingin membangun institusi riset yang tidak kalah dengan insitusi riset mana pun di dunia, dan itu di Indonesia.” Pak Warsito, Indonesia sangat bangga punya ilmuwan hebat seperti anda.

Dr. Cindy Priadi: Ahli Sungai Muda dari Bandung
Peneliti biasanya identik dengan usia matang (dibaca tua :P), ubanan, hanya sibuk di lab dan lain sebagainya. Tapi hal itu tidak terdapat pada sosok Cindy Priadi. Gadis kelahiran Bandung, 30 Januari 1984 ini merupakan doktor muda Indonesia yang berhasil menamatkan studi doktoralnya pada usia 26 tahun di Universitas Paris-Sud 11, Perancis. Sejak muda, ia memang sudah tertarik dengan kebudayaan Eropa dan isu-isu lingkungan. Berkat ketertarikan itu dan kemahiran dalam berbahasa Perancis, di tahun 2005 ia berkesempatan melanjutkan studi pascasrjana di Universite Paris-Sud 11, setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Perancis melalui Pusat Kebudayaan Perancis di Indonesia.

Singkat cerita, pada studi S2nya, Cindy mengambil program studi mengambil program studi ilmu lingkungan dengan tesis berjudul “Caracterisation des Phases Porteuses: Metaux Particulaires en Seine” (bang Aul pasti paham dah :P) dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2007. Dikisahkan bahwa tesisnya adalah sebuah penelitian mengenai logam berat yang terkandung di sungai Seine, Perancis. Secara mendalam, ia meneliti perilaku logam yang terkandung dalam aliran sungai tersebut untuk kemudian mencari tahu interaksi dan dampaknya.

Bagai mendapat durian runtuh, pemerintah Perancis dan sebuah lembaga penelitian di Perancis kemudian tertarik untuk membiayai keberlanjutan penelitiannya di jenjang S-3. Secara resmi, tesis S2 Cindy dijadikan proyek resmi oleh sebuah badan penelitian di Perancis sehingga ia mendapat pendanaan penelitian selama tiga tahun. Adapun lembaga yang membiayai riset Cindy adalah pengelola sungai Seine atau semacam Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia. Mereka tertarik dengan penelitian Cindy karena mereka ingin mengetahui kadar air di sungai tersebut serta untuk keperluan membuat instalasi dan pengelolaan air sungai dalam jangka panjang (woiii PDAM Indonesia, heloww?!!).

Satu hal yang membanggakan dari sosok Cindy yaitu pada saat dirinya disebut sebagai doktor termuda di Indonesia, dia menolaknya. Menurutnya, semua orang pasti bisa meraih seperti apa yang didapatkannya asal memiliki kemauan dan kemampuan menetapkan prioritas, apakah melanjutkan studi atau mencari pekerjaan. Saya masih ingat ketika Cindy diwawancara oleh wartawan sebuah televisi swasta, dia berharap ilmu yang dia pelajari saat ini suatu saat akan mampu membuat sungai-sungai yang ada di Indonesia menjadi cantik dan bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya. Cindy Priadi, sosok yang ingin berhasil semuda mungkin.

Well, tiga sosok yang saya ceritakan tadi hanya sebagian kecil dari sekian banyak peneliti hebat yang ada di Indonesia ataupun yang sedang berkarir di luar negeri. Kegigihan dan kerja keras yang mereka perlihatkan membuat saya terinspirasi untuk menjadikannya sebuah cerita penggugah. Ya, penggugah bangsa agar penduduk Indonesia tahu bahwa masih ada warganya yang memiliki asa dan karsa. Terlepas dari persoalan remunerasi dan apresiasi setengah hati yang justru dilakukan oleh bangsa sendiri, para researchpreneur tadi tetap berkarya sepenuh hati melalui inovasi tiada henti. Saya bermimpi suatu saat nanti orang-orang seperti mereka, para pengusaha kreatif atau bahkan kita mampu mengubah wajah negeri ini menjadi lebih disegani di hadapan bangsa lain yang telah mandiri. Semua itu sangat mungkin terjadi jika nasehat om Mario Teguh senantiasa terpatri di hati: “Keberhasilan hanya ada di alam tindakan bukan di alam pikiran”. Dengan tegas, nasehat itu kemudian dikuatkan oleh Dahlan Iskan, sang menteri melalui mantra sakti: “Bekerja! Bekerja! Bekerja! Sekian dan terima kasih.

-SemangatInovasi,SemangatMuharam1433H-


rizapratama

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...