Oleh: Umi Gita
Sore itu, pada rapat bagian SDM kantorku, kepala bagian kami
mengeluh tentang sikap seorang pegawai. Memang sudah menjadi kebiasaan,
bila kami (bagian SDM) rapat rutin, pasti ada obrolan mengenai pegawai
yang ‘bermasalah’ atau mengadu atau butuh perhatian ekstra. Dari
masalah kedisiplinan, lari dari tanggung jawab, mengadu soal dokumen
kepegawaiannya (seperti surat ijin cuti, dokumen pensiun dan naik
pangkat dll) sampai soal keluarga, entah mau cerai atau kawin lagi.
Namun sore itu, keluhan kepala bagianku agak lain, karena sebenarnya
yang diproteskan oleh pegawai tersebut itu buka kebijakan dari bagian
SDM, melainkan dari bagian keuangan. Sebenarnya simpel saja, bagian
keuangan itu memberlakukan sistem baru yaitu mentransfer tunjangan
khusus pengelola keuangan negara (TKPKN) bagi pegawai kementerian
keuangan yang diperkerjakan di kantor kami, ke rekening gaji masing
masing pegawai tersebut.
“Lho, apa masalahnya sih Pak? Menurut saya itu hanya mengubah cara
pemberian uang tunjangan saja, dan bagian keuangan sah sah saja
memberlakukan sistem baru yang membuat kerja mereka lebih efisien.”
Tanyaku.
“Nah itulah, secara sistem dan kebijakan tidak salah. Tapi menimbulkan dampak psikologis.” Jawab kepala bagianku. Kami semua yang berada dalam rapat itu cukup mengeryit dahi.
“Maksudnya Pak?” Tanya rekan kerjaku.
“Jadi pegawai itu protes ke saya dengan cukup keras begini: UANG
TKPKN ITU UANG LAKI, TAU! KALO DITRANSFER KE REKENING GAJI, BINI GUE
JADI TAU!” Kami semua melongo dan sedikit tertawa.
“Jadi selama ini, istrinya gak tahu kalau ada uang tunjangan itu?!
Istrinya cuma tahu uang gaji aja?! Itu pegawai sudah bekerja dua puluh
tahun lebih, Pak. Kasihan sekali istrinya.” Ungkap salah satu kepala subbagian di bagian SDM yang notabene juga Ibu-Ibu.
“Ya begitulah, dan itu menimbulkan persoalan rumah tangga mereka.”
“Jadi kita harus bagaimana, Pak?” Tanya rekan kerjaku yang lain lagi.
“Ya, saya sampaikan ke kepala bagian keuangan, dan biarkan mereka
yang mengambil kebijakan. Bila memang potensi sosial lebih besar ya mau
gak mau mungkin harus kembali ke sistem yang semula, tapi kalau gak,
ya jalan saja terus.”
Aku terdiam. Sebegitu fatalnya kah dinamika psikologis yang timbul
dari kebijakan kecil di tempat kerja? Dan sebaliknya, sebegitu hebatnya
kah fenomena psikologis perseorangan untuk mengubah sistem tempat
kerja?
Sebetulnya hikmah yang kutangkap dari kisah ini adalah bagaimana
kita mengkomunikasikan pendapatan pada pasangan kita dalam satu rumah
tangga. Apakah sulit untuk mengungkapkan berapa pendapatan kita pada
suami atau istri kita?
Jangan jangan kesulitan itu terjadi karena sikap kita sendiri. Kita
berprasangka pasangan kita akan mengambil semua pendapatan kita bila
berterus terang mengenai seluruh pendapatan kita. Atau kita tidak
memahami kebutuhan dan rencana keuangan pasangan kita, sehingga sikap
kita itu membuat pasangan kita menyembunyikan sebagian pendapatannya.
Komunikasi dan saling memahami segala hal dalam kehidupan
perkawinan, termasuk soal uang. Simpel memang, tapi pada prakteknya
begitu sulit. Begitu banyak friksi friksi dalam rumah tangga yang
memaksa seorang laki laki dan perempuan harus belajar dan belajar tiada
henti untuk mencapai tiga suku kata: sakinah, mawaddah, warrahmah.
Toh saya yang secara de jure sudha lulus mata kuliah Konseling
Keluarga dan Perkawinan (KKP) saja masih dinilai E secara de facto
karena belum mengalami itu semua.
Jadi intinya tulisan ini apa sih?
Emmm…mungkin dapat disimpulkan kalau kegiatan ekonomi kita
bergantung pada sikap dan perilaku kita. Kalau sikap dan perilaku kita
baik, maka kegiatan ekonomi yang dihasilkan akan baik. Sikap dan
perilaku kita ditentukan oleh kepribadian kita, maka jadilah pribadi
yang baik.
saya memang belum menikah tapi menurut saya terbuka dengan pasangan itu perlu. keuangan sebaiknya dibicarakan dan diputuskan berdua. kalau sembunyi2 begini wah repot
BalasHapusbetul2,
BalasHapusmeskipun tidak semua penghasilan diserahkan buat keperluan rumah tangga, mustinya juga ada keterbukaan berapa penghasilan?
termasuk bagi istri2 yg berkarier, ada baiknya suami diberitahu berapa gaji, meskipun si suami bilang, "itu buat kamu saja".
kenapa perlu keterbukaan?
supaya tdk ada suudhon, dan memang harus diakui, tidak hanyalaki, perempuan pun butuh uang "cewek",
misal buat ke salon, ato hang out ama temen2nya,,,
nah kalo ada keernukaan, akan jelas kemana dan uat apa saja uang2 "kita" = suami dan istri, sehingga kalo ada masalah, bisa ditelusur dan diselesaikan dengan kepala dingin,,,
harapannya,,,:)