Oleh: Haris Amanatillah*, 763 kata.
Adalah
sebuah omong kosong jika kita membicarakan kemajuan sebuah negara tanpa
dilandasi kemajuan ekonomi. Adalah sebuah omong kosong jika kita membicarakan
kemajuan ekonomi tanpa dilandasi kemajuan teknologi. Adalah sebuah omong kosong
jika kita membicarakan kemajuan teknologi tanpa dilandasi kemajuan pendidikan
yang mampu menghasilkan pribadi maju.
Potret
Pendidikan Indonesia
Manusia
terdidik mutlak diperlukan untuk membangun sebuah negara maju dan beradab. Di
negeri ini, pendidikan sangat mahal harganya. Umumnya, kita akan menghargai
sesuatu yang sulit didapat, dimana untuk memperolehnya, dibutuhkan perjuangan
yang teramat sangat. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, “apakah sudah
terlalu banyak orang kaya di negeri ini?” Pertanyaan tersebut berangkat dari
kenyataan dimana banyak sekali pelajar kita yang tidak menghargai pendidikan,
padahal harga pendidikan itu tinggi sekali. Atau mungkin harga pendidikan saat
ini masih kurang tinggi, sehingga masih harus dinaikkan lagi agar terasa
menjadi beban kini dan nanti, sehingga para orang tua akan menyiapkan pecut
untuk memaksa anaknya belajar hingga dini hari?
Di
kebanyakan ruang-ruang kuliah di Amerika, mahasiswa Indonesia tidak masuk
hitungan oleh “kompetitor” utamanya, yaitu mahasiswa Amerika sendiri. Lain
halnya kalau di dalam kelas tersebut ada mahasiswa Jepang, Korea, dan Taiwan,
mahasiswa Amerika mulai ancang-ancang harus bekerja lebih keras. Bukan karena
mahasiswa dari negara-negara tersebut lebih pintar, tetapi motivasi belajar
mereka lebih menggelora, sehingga belajar sampai pagi dengan serius hampir
menjadi pekerjaan rutin mereka, bukan hanya saat menjelang ujian. (Burhanudin
Abdullah : 2006)
Hal
yang demikian tidak berbeda jauh dengan kondisi mayoritas pelajar Indonesia di
negeri sendiri, dimana belajar hanyalah sekedar “ritual” penyambut ujian
belaka. Orientasi hasil mayoritas dari kita adalah nilai, bukan pada pengetahuan
atau kemampuan khusus. Proses pencapaian instan menjadi trend kekinian, sementara
proses berjenjang yang membutuhkan waktu panjang mulai ditinggalkan dan
dibiarkan menjadi usang.
Potret
kelam pendidikan Indonesia turut diperparah dengan hengkangnya tenaga-tenaga
ahli serta pemikir unggul negeri ini ke negara lain. Banyak dari mereka yang
merasa bahwasannya pengetahuan dan kemampuan mereka tidak dihargai. Upah mereka
minim. Penelitian mereka terkendala dana. Blablabla… yang pada akhirnya akan
merujuk pada sebuah konklusi bahwasannya mereka merasa bahwa hidup mereka tidak
bahagia dan sejahtera di negeri tercinta ini.
Kelirumologi
Teknologi
Sudah
kodratnya bahwa keberadaan teknologi diperuntukan untuk mempermudah kehidupan
kita. Hal yang paling mencolok dari perkembangan teknologi adalah terciptanya
berbagai macam gadget yang biasa kita kantongi dan gunakan pada saat ini.
Teknologi
maju dibangun dan ditumbuhkan oleh sikap maju. Dari berbagai macam teori atau
mungkin ulasan yang ada, paling tidak, dapat ditarik satu benang merah,
bahwasannya perbedaan antara manusia maju dengan manusia kurang maju atau
bahkan terbelakang adalah hasrat keingintahuan dan kehausannya untuk terus
belajar dan belajar.
Kelirumologi
adalah istilah humoris untuk merujuk kepada beberapa kekeliruan logika dalam
pembentukan frase dan kata yang sudah terlalu sering dipakai pengguna Bahasa
Indonesia sehingga dianggap benar. Hal ini berhubungan langsung dengan keliru
(Wikipedia).
Berdasarkan
definisi di atas, penulis beranggapan bahwasaanya kelirumologi teknologi merupakan
sebuah fenomena pemanfaatan teknologi yang salah kaprah dan dianggap “benar”
oleh masyarakat pada umumnya. Fenomena ini mudah sekali dijumpai dalam
masyarakat kita, dimana gadget hanya menjadi lambang gengsi semata, sebuah
perangkat sebagai sarana gaya-bergaya, jauh menyimpang dari esensi tujuan
penciptaannya. Dimana internet hanya menjadi media berjejaring semata,
sedangkan fungsi krusial seperti pendidikan dan bisnis ternoda oleh maraknya
aksi plagiarisme dan pembajakan serta penipuan program “cepat kaya” yang
merebak dimana-mana. Hal yang demikian cukup menggambarkan bahwasannya pribadi dan
sikap bangsa kita belumlah maju, bahkan cenderung bikin malu.
Lantas,
Beranikah?
SADARLAH!
Penulis
pribadi menganggap petuah “Don’t Ask What Your Country Can Do for You,
But What You Can Do for Your Country” ala JFK hanya sebagai pepesan
kosong belaka, bahkan sampah. Mengapa? Karena penulis pribadi telah banyak
dibuat kecewa oleh negara.
Tapi
jika kita runut lagi, negara hanyalah sekelumit kata dalam sebuah bahasa. Dalam
konteks demokrasi, esensi makna di balik kata “negara” lah yang sangat penting
adanya. Negara adalah rakyat! Negara adalah kita, bukan para pejabat yang
bernaung dalam jejaring birokrat (maaf) bangsat yang kerap kali berlaku laknat
laksana seorang penjahat penyengsara rakyat!
Anggap
saja pemerintah telah binasa, sebab menggantungkan nasib kita pada mereka hanya
menjadikan kita tak lebih dari sekedar manusia-manusia perengek dan penggerutu!
Lantas, beranikah kita mempersalahkan diri kita yang malas belajar?
Mempersalahkan diri kita yang enggan berbagi? Mempersalahkan diri kita yang
acuh tak peduli pada apa yang terjadi di sana-sini? Mempersalahkan diri kita
yang terlalu banyak menuntut tanpa pernah tau berkontribusi?
Jika
Cina memiliki peti mati untuk pejabat korup, Indonesia hanya perlu kresek
sampah untuk membungkus busuk mayat sang pejabat korup! Namun, beranikah kita
menyediakan dan secara sukarela siap mengisi peti mati kita sendiri jika kita
gagal dan tak mampu membawa perubahan positif di negeri ini? Beranikah kita
menerapkan asas demokrasi dalam pembangunan negeri ini, yakni dari, oleh dan
untuk kita sendiri?
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...