Oleh: Gigih Prihantono*, 1055 kata
Setiap kali mendengar pertanyaan perekonomian kita bagus yang
didasari data BPS serta Bank Indonesia
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% (2010) laju inflasi sebesar 7,0 (2010)
serta arus investasi masuk sebesar US$ 13,304 Miliar (2010) tapi mengapa bangsa ini tidak maju-maju? Saya
sebagai mahasiswa ilmu ekonomi selalu terteror. Rasa terteror tersebut semakin
meningkat mana kala pertanyaan tersebut selalu dilontarkan dari tahun ke tahun,
dari seminar ke seminar bahkan terakhir dari blog ini (ekonom gila). Setelah
saya buka beberapa literature lama dan coba untuk mencocok-cocok-kan jawaban
atas pertanyaan tersebut maka tidak ada kalimat pembuka yang pas selain kalimat
pembuka dari almarhum Ernest Gallner, satu dari seorang ahli yang mendalami
teorisasi nasionalisme:
“Nasionalisme merupakan sebuah
gejala ajaib dimana tidak sepenuhnya jelas penyebabnya mengapa gejala ini
terjadi. Mengapa manusia lama yang terikat pada sarang sempit primordialnya
diganti bukan oleh ajaran filsafat pencerahan tentang manusia universal,
melainkan oleh manusia khusus yang lolos dari ikatan lamanya, dan kemudian
menghidupi mobilitas dalam batas-batas yang kini ditetapkan secara formal,
yaitu sebuah kultur dalam lingkup negara-bangsa”.
Mengapa kalimat tersebut saya pilih sebagai pembuka? karena saya
yakin seyakin-yakinnya bahwa nasionalisme merupakan akar dari sebuah ekonomi
suatu bangsa (hal senada juga disampaikan oleh ekonom Joan Robinson).
Membicarakan masalah ekonomi yang umumnya dipahami sebagai urusan meningkatnya
pertumbuhan, memainkan tingkat suku-bunga, kemudahan keluar-masuk investor atau
juga ketakutan akan penurunan indeks saham, ekonomi mazhab nasionalisme pasti
merasa asing dengan sebutan diatas. Apa lagi ditambah data kenaikan penjualan
mobil yang berkisar antara 400-600 unit/hari menambah sederetan keterasingan
jika bicara tentang ekonomi mazhab
nasionalisme. Rasa asing terebut berubah menjadi sebuah hambatan yang akhirnya
menjadi sebuah apriori untuk memelajari ekonomi mazhab nasionalisme. Dan ketika
kita memperbincangkan ekonomi mazhab nasionalisme dibeturkan dengan masalah
globalisasi atau masyarakat ekonomi 2015 tentunya akhirnya turun ke pertanyaan
kemungkinan dan ketidakmungkinan, sehingga menimbulkan berlapis-lapis kesulitan
adalah satu kepastian.
Komunitas Konsumen
Kapital, tenaga kerja dan teknologi didalam ilmu ekonomi disebut
fungsi produksi cobb-douglass yang
menjadi alat analisis popular dalam studi serta penelitian ekonomi. Kaitan
ketiganya bersifat intrinsik, dalam arti hanya dengan kaitan mutual ketiganya
proses produksi terjadi. Pola itu berlaku pula untuk berbagai barang/jasa yang
kita konsumsi. Selanjutnya barang dan
jasa ditawarkan kepada pasar untuk kemudian produsen mendapatkan imbal hasil
berupa laba. Barang dan jasa yang telah dilempar ke pasaran tidak otomatis laku
seperti yang dikatakan oleh Hukum Say “production
creates its own demand”.
Namun pemikiran tersebut hendaknya perlu direvisi ulang.
Perkembangan pasar dunia modern telah menciptakan berbagai derivative berbagai macam iklan yang ditawarkan. Sehingga hukum say
yang ditolak dan dianggap tidak relevan kini mulai sedikit menemukan sebuah
kerelevanan di jaman modern. Beberapa tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2003,
Harry B Priono pernah menulis sebuah opini di harian kompas yang menceritakan
bahwa permintaan tidaklah bersifat alami. Permintaan dapat dibuat dengan
menggunakan kecanggian sebuah iklan dengan sasaran mempengaruhi tiga insting
manusia yaitu: nafsu kepemilikan, sifat privilese
dan memainkan daya tarik romantisme-sensualitas. Sama seperti sebuah negara
yang tidak serta muncul menjadi negara akibat mekanisme pasar tetapi hal
tersebut tercipta dari sebuah kesengajaan.
Sepanjang sejarah perekonomian modern Indonesia jarang sekali
mengalami underconsumption selalu
terjadi overconsumption. Sebagai
contoh, data historis dari BPS antara tahun 2007-2009 konsumsi masyarakat
Indonesia mengalami peningkatan berturut dari 5% , 5,3% dan 4,9% atas dasar harga konstan 2000. Maka benarlah
statemen wakil Menteri Keuangan dan wakil Menteri Perdagangan bahwa konsumsi
domestik yang tinggi merupakan penopang perekonomian dalam negeri. Namun dari
data makro yang dipaparkan, kita tidak tahu apakah konsumsi masyarakat yang
tinggi merupakan bagian dari normal
consumption atau merupakan Konsumerisme? Normal consumption merupakan pembelian barang dan jasa sesuai
dengan kebutuhan sedangkan konsumerisme merupakan sikap yang bermewah-mewahan
atau berlebih-lebihan bahkan masuk menjadi sebuah ideology baru emo ergo sum (saya shoping maka saya
ada). Nah, sifat konsumerisme inilah yang dibidik oleh perancang iklan dan
perusahaan-perusahaan dari Jepang, Cina dan India atau singkatnya multinational corporation (MNC).
Premis Ekonomi Mazhab Nasionalisme
Jantung pemikiran ekonomi mazhab nasionalisme adalah ekonomi
pertama-tama merupakan sebuah urusan matan pencaharian (livelihood). Mata pencarian adalah sebuah usaha (effort) untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Mungkin ini terdengar sederhana namun sering kita lupakan. Salah satu sebabnya
adalah mengartikan sebuah ekonomi dengan mekanisme pasar. Saya tidak menolak
adanya mekanisme pasar, tetapi mengartikan ekonomi sama dengan mekanisme pasar
adalah sebuah kesesatan yang sangat sesat. Sama dengan mengartikan pendidikan
dengan pembelajaran di lembaga formal yang mengeluarkan ijasah. Pemikiran
ekonomi mazhab nasionalisme Lantaran diartikan sebagai mekanisme pasar, ekonomi
tidal lagi diartikan berurusan dengan mata pencarian tetapi pada sebuah
akumulasi (value added). Itulah
mengapa istilah ekonomi selalu dikaitkan dengan bisnis sehingga terbentuk mainframe bagaimana mengubah 5 miliar,
menjadi 100 miliar kemudian menjadi 1500 miliar dengan atau tanpa mempedulikan
tumbuh atau tidaknya mata pencarian.
Salah satu contoh nyata dapat kita lihat pada buku saku dari A.
Prasetyanko, bahwa hari ini urusan pangan telah berubah dari urusan
moral-ekonomi menjadi sebuah bisnis murni. Hari ini petani lebih senang untuk
menanam jagung, kelapa sawit karena mempunyai prospek lebih menguntungkan dari
pada menanam padi. Maka tidak-lah kita tergaket-kaget bahwa kita selalu import
meskipun ada juga unsure kesengajaan diluar itu. Persoalan menjadi semakin
rumit apa bila yang dimaksud petani di buku tersebut bukan-lah petani secara
orang per-orang, tetapi industri pertanian yang amat besar seperti: Monsanto, DuPont, Dow Agriscinces dan Syngenta. Maka tidaklah mengherankan
untuk dapat melayani dan menjaga akumulasi tersebut tetap ada, maka diterbitkan
sebuah wacana-wacana didalam media-media untuk tetap memelihara kelupaan kita
tentang urusan mata pencarian tersebut.
Sungguh sebuah ilusi jika kesesatan tersebut merubah Negara ini
menjadi lebih baik. Dalam konteks tersebut, ilusi juga bermetamorfosis menjadi
sebuah ambisi. Seluruh ambisi tersebut tertuang dalam format rencana jangka panjang
pembangunan nasional 2011-2025 salah satunya dipersiapkan untuk menyongsong era
bonus demografi. Bahkan ilusi tersebut semakin menjadi dengan timbulnya wacana
bahwa jika mayoritas negara kita berhasil memperoleh skor Toefl sebesar 600
maka akan menjadi sebuah negara maju. Ilusi tersebut akan dengan sendirinya
memudar jika kita bandingkan persentase kemampuan berbahasa Inggris orang Cina,
Korsel, Rusia bahkan Jepang.
Di balik ilusi tersebut pemikiran mazhab nasionalisme bekerja
berdasarkan gagasan anti-naturalistik yang berjalan diantara ketegangan abadi
antara kehendak bebas individualitas dan keterjeratan sosialitas. Ketegangan
tersebut jangan serta merta dicabut dari akarnya yang tentu akan menciptakan
sebuah ilusi baru. Dalam kondisi saat ini, mungkin mungkin visi ekonomi mazhab
nasionalisme terlalu menyilaukan. Namun, ijinkan saya untuk menurunkan sinar
kemilaunya hanya pada tingkatan jika tulisan ini mampu menyentuh hati dan
pikiran saja pada para pembaca blog ekonom gila. Selebihnya saya mengucapkan
selamat ulang tahun dan saya berharap dapat berjumpa dengan para pendiri blog
ekonom gila dalam ruang dan waktu yang entah kapan bisa ditetapkan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...