Oleh:
Adib*, 876 kata.
Belakangan, cukup marak masyarakat memperbincangkan investasi
dengan emas sebagai salah satu komoditinya. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya pemberitaan dan tulisan baik dari media cetak, koran, bahkan di
berbagai seminar yang memperbincangkan masalah investasi emas ini. Emas lebih
dipilih oleh para investor daripada komoditi investasi lainnya lantaran emas
tidak terpengaruh oleh inflasi (zero
inflation effect). Selain itu, harga emas yang terus membumbung naik dalam
10 tahun terakhir ini, hingga saat ini nilainya berada di atas 500.000 per
gram, membuat para investor tergiur untuk menginvestasikan modalnya pada logam
mulia ini.
Jika kita lihat grafik pergerakan harga emas, secara umum harganya
mengalami kenaikan, walaupun tidak dipungkiri, ada juga penurunannya, seperti
pada tahun 1980an, tahun 1998, karena adanya krisis moneter, maupun di tahun
2008 karena pengaruh krisis yang melanda Amerika Serikat waktu itu. Harga emas
melonjak drastis pada tahun 1980, namun kemudian harganya kembali turun, hingga
baru bisa menyamai harga awal pada tahun 2002, atau 26 tahun kemudian. Namun,
setelah itu harga emas secara umum melonjak cukup drastis.
Namun, jenis investasi yang cukup ramai diperbincangkan dan
dilakukan oleh masyarakat saat ini adalah investasi emas di perbankan syariah
maupun di pegadaian syariah, baik dalam bentuk istilah “berkebun emas’, cicilan
emas, maupun yang lainnya.
Secara umum, kita pasti sudah tahu apa yang namanya berkebun emas,
karena seringnya diperbincangkan di dalam berbagai diskusi. Dalam berkebun
emas, kita dapat berinvestasi emas hanya dengan modal sepertiga dari harga
emas. Caranya, yaitu dengan menggadaikan emas yang kita miliki, agar
mendapatkan dana dari pihak perbankan, lalu membeli lagi emas tersebut di
tempat lain, dari modal yang kita dapatkan, dan kiita gadaikan lagi, begitu
seterusnya, dilakukan secara berulang-ulang.
Keuntungan tersebut akan diperoleh, apabila setelah panen emas
atau setelah kita menebus semua emas yang kita gadaikan, dan asumsinya, dana
yang kita peroleh lebih besar dari modal yang kita keluarkan, tentunya setelah
dikurangi dengan biaya-biaya yang ada. Dalam melakukannya, masyarakat memilih
perbankan syariah, maupun pegadaian syariah yang sekiranya menawarkan biaya
titip yang paling murah, untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Namun,
bagaimanakah metode berkebun emas tersebut dalam pandangan islam?
Berbagai versi menyatakan pendapatnya masing-masing. Yang
menghalalkan berkebun emas ini, mereka mengambil dalil dalam hukum islam secara
umum, yaitu asas ibahah, dimana pada asasnya, segala sesuatu dalam hal
bermuamalat boleh dilakukan, sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya. Secara
umum, belum ada dalil yang mengharamkan metode berkebun emas ini. Apalagi,
dengan diperkuat dengan adanya fatwa MUI Nomor 25 tentang rahn, dan juga nomor 26 tentang rahn
emas, membuat pihak yang setuju dengan metode berkebun emas ini semakin
mantap. Dengan jelas, MUI telah menghalalkan tentang rahn emas, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Namun, tidak sedikit yang menyatakan bahwa metode berkebun emas
ini adalah haram, dan merupakan suatu penyimpangan dalam berbisnis yang islami.
Jika dilhat dari akadnya, maka hal ini sudah sesuai syariah, karena
mennggunakan akad beli dan gadai. Namun, dalam berkebun emas, permasalahannya
bukan dari akadnya. Boleh jadi, akad yang digunakan adalah beli gadai. Namun,
sistem yang dibangun secara keseluruhan di sini lebih menjurus ke investasi,
dengan menggunakan akad gadai sebagai modal utamanya.
Nah dengan memanfaatkan kenaikan harga sebagai tujuan untuk
mendapatkan keuntungan ini, apakah termasuk spekulasi? Setidaknya, motifasi
kita dalam membeli emas ada 3. Yaitu trading emas dengan maksud konsumsi,
seperti membeli emas sebagai salah satu perhiasan untuk kita pakai. Kedua
trading emas dengan maksud utuk lindung nilai (hedging). Dan yang ke tiga adalah trading emas dengan maksud untuk
spekulasi.
Jika tujuan investasi emas kita adalah untuk hedging, maka kita cukup membeli emas, lalu kita simpan emas
tersebut. Bisa di rumah, maupun di perbankan, agar lebih terjamin. Namun, dalam
berkebun emas ini motifnya lebih tertuju ke arah spekulasi, yakni dengan menggadaikannya
secara berulang-ulang, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Dalam teori
berkebun emas, seperti yang dikemukakan oleh Rully Kustandar misalnya, metode
berkebun emas ini cocok untuk investasi jangka panjang, dengan asumsi kenaikan
sekitar 30 persen per tahun. Namun, masyarakat lebih cenderung untuk menjual
emasnya apabila harga emas tiba-tiba meningkat tajam. Hal seperti ini
jelas-jelas adalah suatu spekulasi, dan haram hukumnya, terlepas dari banyaknya
pendapat yang mempertanyakan bahwa spekulasi seperti apakah yang dihalalkan.
Yang jelas, berkebun emas lebih menjurus ke arah maysir (gambling), yaitu memperoleh
sesuatu dengan sangat mudah tanpa bekerja keras/mendapatkan keuntungan tanpa
kerja. Spekulasi atas kenaikan harga emas termasuk maysir, karena tidak prokuktif, dan tidak meningkatkan pasokan
barang dan jasa. Hal ini jelas-jelas bahwa pelaku memperoleh suatu manfaat
tanpa adanya usaha yang nyata, dan tidak seseuai dengan semangat dan keunggulan
ekonomi Islam yang sangat menekankan tumbuhnya sektor riil secara wajar.
Kenaikan
yang sangat tajam dari harga suatu aset (emas) merupakan tanda-tanda bahwa
gelembung yang terjadi pada harga aset tersebut sudah mendekati titik jenuh.
Semakin tinggi pohon yang dinaiki, semakin sakit ketika terjatuh. Semakin
tinggi harga emas dan semakin banyak orang yang ikut membeli, maka akan semakin
banyak korban ketika harga emas jatuh dan semakin besar kemungkinan krisis
mengikuti.
Sehingga, Bank Indonesia berencana untuk membatasi investasi
dengan model berkebun emas ini, tidak hanya secara moral dengan menghimbau
perbankan syariah untuk membatasi produk gadai emasnya, tetapi, umungkin ke
depannya juga akan dilakukan pembatasan dalam melakukan gadai emas di perbankan
syariah, yakni maksimal hanya satu kali top up/ gadai saja untuk mencegah
terjadinya bubble (penggelembungan) emas.
Boleh saja kita berinvestasi emas, asalkan jangan ikut-ikutan
berperilaku spekulatif. Alangkah lebih baiknya jika kita menginvestasikan modal
kita dalam bentuk riil dan produktif, untuk meningkatkan perekonomian
kita.
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...