Pendidikan. Pengangguran. Kemiskinan.
Solusinya bukanlah internet. Solusinya bukan pula ilmu pengetahuan. Solusinya juga bukan pemerintah.
Solusinya adalah: Anak Perempuan...
Artikel ini terinspirasi oleh kisah masa kecil Sang Penulis dengan teman sekelasnya, sebut saja namanya Siti, di sebuah desa kecil di pedalaman daerah Sragen sana. Tepat ketika Si Penulis dan Siti sama-sama lulus SD, tiba-tiba saja Siti tidak bisa meneruskan sekolahnya lagi. Kenapa? Hanya satu kata yang keluar dari mulut Siti: Aku akan menikah. Si Penulis waktu itu tidak sempat menghadiri pernikahan Siti karena jauhnya desa Siti. Sekian tahun berselang, Si Penulis akhirnya bertemu dengan Siti lagi. Dia hidup di rumah yang sangat sederhana, bersama dengan ketiga anaknya. Sehari-hari, dia hanya mengasuh anaknya dan mengurus sepetak tanah yang tak seberapa. Suaminya bekerja sebagai tukang kayu di desanya. Jelas, kehidupan mereka jauh dari kata sejahtera.
Lebih dari 600 juta anak perempuan tinggal di negara-negara berkembang (Population Reference Bureau Database, 2007). Di Indonesia sendiri, anak-anak perempuan berumur 10-24 tahun berjumlah sekitar 33 juta jiwa dan mereka yang berumur 15-19 tahun menempati jumlah tertinggi dari periode umur lima tahunan lainnya (Populasi Penduduk Indonesia BPS, 2011). Ketika kehidupan mereka menjadi lebih baik, bukan hanya 33 juta jiwa tersebut yang menjadi lebih baik, tetapi kehidupan semua orang di sekitarnya dan kehidupan generasi yang akan datang tentu bisa menjadi lebih baik.
Ah, Masa’ iya? Bo’ong kali...
Ketika seorang anak perempuan di negara berkembang mendapatkan pendidikan selama tujuh tahun atau lebih, dia akan menikah empat tahun kemudian dan memiliki anak 2,2 orang lebih sedikit. Ketika wanita dan anak-anak perempuan menerima pendapatan, mereka menginvestasikan 90 persennya pada keluarga mereka, dibandingkan dengan laki-laki yang hanya menginvestasikannya 30 hingga 40 persen (Fact Sheet dari Girleffect.org, 2011).
Itu adalah kenyataan yang terjadi di banyak negara-negara berkembang. Sedangkan di Indonesia sendiri, 32,6% perempuan menyatakan tidak pernah merasakan waktu luang karena harus terus bekerja. Dalam hal pendidikan, 49,4% perempuan usia sekolah yang keluar dari sekolahnya beralasan ketidakmampuannya dalam membayar biaya sekolah, sedangkan 26,8% lainnya keluar dari sekolah karena menikah (girlsdiscovered.org, 2011).
Jika dilihat-lihat, berapakah umur pembantu (bagi yang punya, atau bisa dicek lewat pembantu yang bekerja di rumah tetangga) yang ada saat ini? Aku tidak berniat memungkiri kalau baby sitter yang ada di rumah tante berumur 8 tahun lebih muda dariku. Ya, sebanyak 45,4% perempuan usia 15-19 tahun yang harus bekerja untuk mendapatkan uang. Tak jarang, mereka harus bekerja berpuluh atau beratus kilometer jauhnya dari rumah.
Di semua tingkat pendidikan, sebuah survei dilakukan pada pekerja yang mempergunakan alat transportasi komuter. Hasilnya, pekerja wanita mendapatkan upah lebih rendah daripada pekerja laki-laki hampir di semua tingkat pendidikan (mulai dari lulusan SD hingga lulusan universitas). Sedangkan secara keseluruhan untuk pekerja yang merantau, meskipun lebih banyak lulusan wanita dalam strata pendidikan yang sama, akan tetapi upah wanita tetap lebih rendah daripada laki-laki secara rata-rata. Kebanyakan dari para anak-anak perempuan dan wanita itupun bekerja di sektor informal (Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2011).
Aku bisa berinvestasi. Kamu juga! ^^
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para remaja wanita ini: ekonomi, pendidikan, perlindungan hukum, pembebasan mereka atas isolasi, pembebasan mereka dari paksaan kehendak orang di sekitarnya. Ketika seorang anak perempuan mulai beranjak remaja, mereka mulai dibebani oleh banyak hal, termasuk membantu mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagai ilustrasi (ini kisah nyata, loh!): ketika ada anak perempuan dan anak laki-laki yang harus bersekolah, sama-sama SD, tetapi biaya hanya cukup untuk satu orang saja, orang tua biasanya akan memilih meneruskan anak lak-lakinya untuk terus bersekolah meskipun anak perempuannya lebih hebat secara akademik.
Bagaimana cara berinvestasi? Sebagai salah satu sivitas akademika, aku juga akan berusaha memikirkan solusi dari segi pendidikan dan perbaikan perekonomian. Maklum, karena aku juga pemegang tagline: “Think Big, Do Small, Do Now!” maka solusi yang agak “gila” ini juga akan merambah pada apa yang bisa dilakukan saat ini untuk mengubah itu.
Salah satu cara untuk memberikan keterampilan dan pendidikan lanjut bisa dilakukan melalui cara Getok Tular (alias Tipping Point). Misalkan saja apa yang sudah aku coba lakukan pada baby sitter di rumah tante. Di tempat tante, aku dulu mengajari baby sitter di sana ntuk mengenal komputer. Secara basis fundamental yang ada, aku mengajarinya bagaimana cara menyalakan, mengetik, menghitung (Microsoft Word dan Excel), serta mengenalkannya pada internet. Setahun kemudian, dia pergi untuk menjadi TKW di Malaysia. Kni, dia tinggal di desanya. Sudah memiliki akun facebook, dan dia mengajari teman-temannya bagaimana cara mengetik di komputer melalui rental terdekat. Jika dia sudah memiliki modal yang cukup, dia berencana membuat rental sendiri (atau mungkin bahkan warnet).
Memulai usaha pun bisa dengan berbagai cara. Dalam Zag Model (Marty Numeier, 2007) memang ada beberapa cara jitu untuk memulai usaha. Melalui Focus, Difference, dan Trends disertai Communications, model enterpreneurship yang keberlangsungannya bisa terjaga pun bisa dilakukan. Misalnya saja, saat ini sedang banyak tren wanita yang mulai memakai jilbab dengan hiasan dan warna yang bermacam-macam. Maka, memanfaatkan tren tersebut, aku bisa mengajari baby sitter di rumah untuk menyulam dan nantinya hasilnya bisa dijual. Marketing, tentu saja sangat berperan di sini sehingga kelak, ketika dia sudah memiliki rumah sendiri, dia bisa membuka usahanya sendiri.
Ini ideku, apa idemu? ^^
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...