Kamis, 05 Januari 2012

Standar Kebahagiaan

Menurut kamus, standar adalah kesepakatan-kesepakatan yang telah didokumentasikan yang di dalamnya terdiri antara lain mengenai spesifikasi-spesifikasi teknis atau kriteria-kriteria yang akurat yang digunakan sebagai peraturan, petunjuk, atau definisi-definisi tertentu untuk menjamin suatu barang, produk, proses, atau jasa sesuai dengan yang telah dinyatakan. Saat ini hampir semua hal telah terstandarisasi, dari sekolah, jembatan, jalan, rumah, hingga helm.

Seperti tertulis di atas, standar biasanya diatur dalam sebuah dokumen tertulis, tapi pada kenyataannya, banyak persepi-persepsi masyarakat yang berterima umum dan menjadi standar. Standar sukses misalnya, senang atau tidak, orang dikatakan sukses bila: Lulus tepat waktu, dengan IPK bagus, diterima jadi PNS atau karyawan BUMN, dapat pasangan cantik, nikah, punya anak,  kemudian pensiun (dan kemudian mati). Begitu pula dengan deskripsi standar sebuah kebahagiaan.

Apa saja sih "Standar" hidup bahagia saat ini? 

 Berdasarkan tulisan Yodhia Antariksa perhitungan yang didapat sebagai berikut :
  • Biaya Kebutuhan Hidup Sehari-hari, *dengan asumsi hidup di kota besar (Jakarta, Medan, dsb) Kebutuhan sehari-hari adalah untuk makan (diselingi sebulan sekali makan sekeluarga di mal); untuk membayar iuran keamanan, bayar listrik, air PAM, langganan koran, beli sabun, rinso, odol, dan juga jajan/uang saku anak-anak serta sumbangan kanan kiri. Estimasi saya, Anda mesti mengeluarkan uang sejumlah Rp 4 juta per bulan untuk kebutuhan ini.
  • Biaya Transportasi dan Komunikasi, Dengan asumsi Anda membawa mobil ke kantor, dan biaya bensin ndak ditanggung oleh kantor; maka kita bisa menghabiskan sekitar Rp 1,5 juta per bulan untuk bensin, tol dan biaya parkir. Ditambah pengeluaran pulsa telpon dan langganan internet speedy, kita akan spend sekitar Rp 2 juta untuk pos ini.
  • Biaya Kredit Mobil , Jika Anda membelinya dengan kredit (65 % masyarakat kita membeli mobil dengan kredit) serta dalam jangka 5 tahun; maka itu artinya kita mesti mengalokasikan dana sekitar Rp 4 juta per bulan untuk keperluan ini.
  • Biaya Kredit Rumah, sebuah rumah mungil ukuran 4 L (lu lagi lu lagi karena saking kecilnya ukuran rumah) untuk keluarga muda di area BSD (Bekasi Sono Dikit, maksudnya) sudah mencapai harga sekitar 400 juta-an. Dengan jangka waktu 10 tahun, dan dengan suku bunga yang alamak kok makin melangit, maka Anda harus mengeluarkan sekitar Rp 4 juta untuk kredit “istana peristirahatan”.
TOTAL : Rp 16 juta per bulan !! (dikutip dari "Berapa Besar Gaji yang Harus Anda Peroleh untuk Bisa Hidup dengan Layak?" oleh Yodhia Antariksa. http://strategimanajemen.net)



Dari artikel di atas dapat dilihat (walaupun secara implisit) bahwa standar sebuah kebahagiaan hanya diukur dari sisi eksternal. Istilah ekonominya disebut eksternalitas =D, yaitu kerugian atau keuntungan yang diderita oleh pelaku ekonomi akibat tindakan pelaku ekonomi lain. Berdasarkan teori ekonomi, eksternalitas, positif atau negatif akan membuat pasar tidak efisien, dan menurut saya ini berlaku juga untuk kebahagiaan. keterlibatan faktor eksternal dalam menentukan kebahagiaan seseorang akan akan membuat kebahagiaan itu sendiri tidak efisien. Keuntungan dan kerugian dalam teori tadi saya analogikan dengan kebahagiaan dan kesedihan seseorang. Orang akan bahagia jika dapat hadiah mobil, orang akan sedih bila mobil miliknya tertabrak, orang akan bahagia bila mendapat pujian dari orang lain, orang akan sedih bila mendapat hinaan dari orang lain. Hal ini membuat "pasar kebahagiaan" dalam diri kita menjadi labil karena faktor dari luarlah yang paling berperan menentukan bahagia atau tidaknya seseorang.

Lalu apa Solusinya?

Dalam perekonomian, eksternalitas dapat dikontrol, misalnya dengan lindung nilai, asuransi, dsb. Begitu pula dengan kebahagiaan, untuk mendapat kebahagiaan sejati seseorang harus mampu mengontrol dirinya agar tidak terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal tadi.
Selain itu kebanyakan dari kita merasa tidak bahagia bukan karena tidak bahagia, tapi kita tak merasa pantas untuk bahagia. Contohnya adalah kita tidak merasa pantas untuk bahagia karena mendapat nilai A- dan bukan A+, kita merasa tidak pantas bahagia karena hanya memiliki mobil bekas, kita tak merasa tak pantas bahagia  karena punya istri cantik, baik, setia namun agak gendut dsb. Yah kebanyakan dari kita punya kesempatan yang sangat banyak untuk merasa bahagia, namun tidak kita amini. Bernafas, makan, minum, berjalan, berlari, hidup!


Bagaimana caranya?

Untuk lebih mudahnya, saya akan bercerita terlebih dahulu. Ini adalah kisah tentang "Mata air para Sufi" , kisah ini saya retelling dari buku karangan Tere Liye dengan beberapa perubahan. Alkisah ada seseorang yang ingin mencari hakikat dari kebahagiaan, ia lalu pergi ke desa Sufi. Ia bertanya pada semua Sufi disana namun tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Seorang  Sufi lalu menyuruhnya untuk menghadap "guru" para Sufi, orang yang paling bijaksana diantara mereka. Oran tersebut lalu pergi menemuinya. Ia lalu bertanya kepada Sang guru, "Wahai orang bijak, bagaimana saya bisa mendapatkan kebahagiaan yang sejati?" Sang guru pun menjawab, " Buatlah sebuah danau yang jernih hingga aku bisa melihat dasarnya." Orang tersebut kemudian mulai  membendung aliran sungai lalu mengalirkannya kesebuah cekungan, ia membendung beberapa aliran sungai hingga cekungan tersebut mulai berubah menjadi danau. Awalnya danau tersebut kotor, lalu lama kelamaan kotoran tersebut mengendap dan menjadi jernih. Dipanggilah Sang guru untuk melihat danau buatannya. Saat Sang guru datang, turunlah hujan. Air sungai yang mengalir ke danau menjadi kotor, dan kotorlah danau tersebut. "Sayang sekali, sepertinya kamu belum berhasil", kata Sang guru. Tak putus asa, orang tersebut lalu membangun saringan disetiap pintu masuk aliran air, walaupun hujan deras, aliran ke danau tersebut tetap jernih. Dipanggilah kembali Sang guru. Sang guru melihat danau dan kemudian ia mengambil sebuah tongkat lalu ia tusuk-tusukkan ke dasar danau. Maka keruhlah kembali danau tersebut. Orang tersebut memang pantang menyerah, ia lalu menggali danau tersebut. Siang malam ia menggali danau tersebut hingga sangat dalam. Sampai pada titik tertentu, tersembulah air dari dasar danau. Sekarang danau tersebut memiliki mata air sendiri. Datanglah Sang guru, ia lalu kembali menusuk-nusukkan batang kayu ke dasar danau, dan ternyata airnya tetap jernih. "Nah, itulah sumber kebahagiaan yang kamu cari, kebahagiaan sesungguhnya berasal dari dirimu sendiri. Kebahagiaan yang timbul dari diri sendiri tak akan rusak oleh perlakuan buruk orang lain, hinaan, dan musibah, seperti danau yang kau buat. Namun untuk dapat memperolehnya dibutuhkan perjuangan yang keras, kau harus siap menerima penderitaan, hidup jauh dari kenyamanan, kau harus melatih hatimu seperti yang kau lakukan ketika berjuang membuat danau tersebut."


Yah singkatnya, make your own happiness !, jangan terlalu terpengaruh pendapat orang lain, consult to the expert, but follow your heart (anonimous). Maaf kalau artikelnya terlalu filosofis, saya hanya berusaha menjadi seorang barista yang meramu berbagai kopi pengetahuan. Tentang rasa hasilnya saya serahkan ke pembaca =)

Oleh Thontowi A.S

sumber :
Ayahku (bukan pembohong), Tere Liye
http://strategimanajemen.net
lakefountains.com
larahatisunyi.blogspot.com

Thontowi A. Suhada

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...