Sabtu, 26 Mei 2012

Pinter Milan


Oleh: Yoga PS

Kemarin saya berkesempatan menonton Inter Milan melawan Indonesia Selection. Alhamdulilah, dapet tiket gratisan dari kantor. Hehehe. Disuruh bayar sendiri? Ogah!!! Mana mungkin saya rela membayar 3,5 juta hanya untuk melihat pemain lapis kedua Inter mengajari pemain kita cara bermain bola.

Dan seperti sudah tertulis di kitab lauhul mahfuz, Inter KW 1 mengorak-arik (emangnya telor?!?) pertahanan Indonesia selection yang sempat menekan di awal-awal babak pertama. Skornya cukup 3-0. Hasil giringan Longo di babak pertama (eh beneran digiring doank ke dalam gawang kan!), tendangan Pazzini plus tusukan Luca Tremolda.

Terlepas dari permainan tak berimbang setengah lapangan (apalagi di akhir babak II), Andik yang udah empot-empotan lari tapi tetep kesusahan menjebol gawang Inter, Maicon yang lupa daratan karena ga pernah menghuni posisi bek kanan, dan kiper Inter Rafaelle Di Gennaro yang saking nganggurnya lebih sering ngopi-ngopi daripada menjaga gawangnya sendiri, ada dua pelajaran yang bisa kita ambil.

Kelas Menengah
Segi positif pertamanya, saya bisa tahu tampang pemain yang selama ini hanya menghuni reserve team di game football manager yang biasa saya mainkan. Hehehe becanda. Yang pertama tentu saja soal kebangkitan kelas menengah Indonesia.

Kedatangan tim sekelas Inter hanyalah puncak gunung es fenomena hausnya masyarakat Indonesia (Jakarta lebih tepatnya) akan hiburan kelas dunia. Karena itulah artis luar negeri dari yang brondong kaya Suju (kalo saya suka Suju syukur :p), bangkotan sekelas NKOTB, dan kontroversial seperti Lady Gagal (uda pasti ga jadi kan?) laku keras di negeri ini.

Banyak interisti yang berbondong-bondong datang dari luar kota. Teman saya dari Cirebon rela cuti 3 hari demi Inter. Interisti bahkan sudah stand by menyambut pemain di bandara Soetta. Lalu di spanduk stadion terpampang jelas spanduk Interisti dari seluruh penjuru tanah air. Ada yang dari Tomohon, Tegal, sampai.. KEDIRISTI… saya sampe ngakak waktu pertama kali baca.

Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri, tumbuhnya kelompok masyarakat dengan buying power yang semakin kuat membuat mereka membutuhkan entertainment yang berkualitas. Lebih tepatnya, mereka haus akan ritual konsumsi untuk menegakkan eksistensi. Mengutip Yuswohady dalam Consumer 3000, jika kita menggunakan standar Asian Development Bank (ADB), maka kelas menengah adalah masyarakat dengan pengeluaran perhari sebesar USD2-20. Dan saat ini jumlah mereka telah mencapai sekitar 135 juta atau hampir 60% masyarakat kita. Kelas ini tumbuh pesat sekitar 8-9 juta orang pertahunnya. Tapi masih tetap termasuk kelas mamalia koq. Hehehe.

Kelas menengah ini datang ke stadion bukan hanya untuk menonton 22 orang rebutan satu bola. Mereka juga tidak sekedar mendukung kesebelasan favoritnya. Lebih dari itu, mereka butuh pengakuan dan sarana mengekspresikan diri. Maka jangan heran, jika sebelum mereka datang ke stadion, wall dan timeline mereka penuh dengan screenshot ticket pertandingan.

“Otw ke GBK nih..”

“Zanetti.. tunggu gw ya…”

Begitu kira-kira bunyi tweet atau status mereka. Lalu seperti ritual beribadah, mereka datang dengan kostum “peribadatan” hitam biru. Menyanyikan “pujian” berupa lagu-lagu dukungan dan tak lupa memasang “bendera kebangsaan” Inter. Saya melihat interisti di tribun utara yang paling fanatik. Mereka juga yang memulai Mexican wave di stadion.

Penonton kelas menengah ini sungguh modis. Menonton dengan aksesoris sporty, gadget terbaru, dan foto narsist di stadion. Setelah pertandingan, mereka tak lupa untuk ganti profpic BBM biar gaul. Bahkan penonton wanita cukup banyak. Ada yang lengkap dengan hot pants dan tank top biru hitam. Pakaian yang bisa membuat mereka kehilangan kehormatan jika dipakai untuk nonton Liga Indonesia di tribun ekonomi (lebayyy :p).

Penonton memberikan dukungan dengan tertib. Karena memang ini hanyalah laga eksebisi untuk hiburan. Tidak ada tekanan. Tidak ada lemparan air kencing dalam air botol plastik yang pernah saya saksikan waktu nonton final Liga Super Indonesia (untung ga kecipratan). Tidak perlu juga pakai helm ke stadion. Dan tidak perlu menghubungi agen asuransi kendaraan ketika pulang. Hehehe.

Potensi
Pelajaran kedua yang bisa diambil: betapa potensialnya dunia persepakbolaan kita. Lengkap dengan suporter yang fanatic, pasar yang gemuk ditunjang daya beli semakin kuat, dan berlimpahnya talenta pesepakbola dari Sabang sampai Merauke. Sepakbola Indonesia memiliki potensi untuk menjadi industry yang menjanjikan, jika dikekola secara professional.

Hal itu bisa terwujud kalau PSSI udah bosan gontok-gontokan dan sadar jika sepakbola itu cabang olahraga, bukan cabang politik, apalagi cabang korupsi!.

Sebagai pecinta sepakbola (sampai skripsi saya tahun lalu bertema sepakbola), keinginan kami sederhana: ada kompetisi berjenjang yang jelas dari usia dini hingga tingkat klub professional. Dan kami rela membayar lebih mahal untuk pertandingan berkualitas. Jangan dikira semua pecinta sepakbola itu ga modal, masuk ke stadion ga mau bayar tiket, dan bisanya hanya ngerusak kalau timnya kalah.

Kita tidak butuh dua kompetisi dan dua pengurus PSSI (terkadang malah saya berpikir jika kita tidak butuh PSSI sama sekali :p). Kita hanya perlu mengembalikan sepakbola ke ruh sepakbola itu sendiri. Sebuah cabang olahraga yang menjunjung sportifitas dan kolektifitas.

Jika tidak, kita selamanya hanya akan menjadi bangsa penonton. Bermimpi ikut Piala Dunia sambil hanya bisa menonton tim kesayangannya berlaga di layar kaca seminggu sekali, dan sekali-kali membayar mahal sekali untuk melihat tim kesayangannya “berlatih” di negerinya sendiri. Kita hanya dipandang sebagai Negara dengan konsumen sepakbola besar, bukan sebagai Negara dengan prestasi sepakbola yang besar.

Siapa yang diuntungkan dari pertandingan ini? Tentu saja promotor dan Inter Milan sendiri. Promotor untung karena dapet duit dari tiket dan sponsor. Sedangkan Inter untung karena sambil liburan ke Asia dapat bayaran mahal, perluasan ekspansi bisnis, bisa membuka sekolah sepakbola, hingga menambah jaringan talent scout (nama Andik masuk website resmi Inter).

Well, Inter memang pinter.

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 Komentar:

  1. iya gan.
    setiap pribadi yang memiliki talenta, udah pasti banyak fans nya. dan tiap detiknya jadi bernilai..


    thanks gan, have a nice day

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...