Oleh: M.Syarif Hidayatullah
Ada fenomena menarik dalam pemilihan Gubernur Jakarta kali ini, yaitu
munculnya tiga orang “incumbent” yang diusung oleh tiga koalisi yang
berbeda. Incumbent pertama tentunya adalah Fauzi Bowo yang merupakan
Gubernur Jakarta saat ini, yang dimajukan oleh koalisi Partai Demokrat
dan Partai Amanat Nasional. Kedua adalah Joko Widodo, Walikota Kota
Surakarta saat ini, yang dimajukan oleh PDI-P dan Partai Gerindra.
Ketiga adalah Alex Noerdin yang dimajukan oleh Partai Golkar, PPP, dan
PDS.
Secara definitif, Joko Widodo dan Alex Noerdin
tentunya bukan seorang incumbent, karena mereka bukan merupakan pejabat
politik (gubernur) di daerah tempat pemilihan (Jakarta). Akan tetapi,
sebagai Walikota Kota Surakarta dan Gubernur Sumatera Selatan, Joko
Widodo dan Alex Noerdin memiliki keuntungan sebagaimana umum nya seorang
Incumbent.
Dalam Ranah Ekonomi-Politik, keuntungan
seorang incumbent sudah lama dikaji. Laver (2009), Prat (2009), dan
Ashwort (2006) sepakat bahwa voters (pemilih) lebih memilih incumbent
daripada calon alternatif. Menurut Ansolabeherre (2009), lebih
populernya incumbent disebabkan popularitas yang mereka dapatkan karena
kebijakan yang sudah mereka lakukan untuk konstituen. Hal tesebut
dimungkinkan karena incumbent memiliki kemampuan untuk menggunakan
kebijakan sebagai alat untuk menyenangkan pemilih mereka (Franzese, dkk,
2009).
Penulis menyebut Joko Widodo dan Alex Noerdin
sebagai incumbent karena saat ini mereka memiliki keuntungan selayaknya
seorang incumbent. Joko Widodo dapat membuktikan kapasitasnya dan
mempromosikan dirinya melalui kebijakan yang dilakukan di Kota
Surakarta. Sedangkan Alex Noerdin cukup menarik perhatian dengan
kesuksesannya menyelenggarakan Sea Games tahun lalu. Dengan begitu
banyaknya saluran informasi saat ini, berbagai kebijakan Joko Widodo
dan Alex Noerdin dapat dengan mudah terpantau oleh pemilih yang berada
di Jakarta.
Menilai Langkah para incumbent
Di
Indonesia, “pesona” incumbent dalam Pilkada sangatlah besar. Hingga
tahun 2008, dari 211 Pilkada yang diikuti incumbent, sebanyak 124 (60%)
berhasil dimenangkan incumbent (Romli, 2008). Besarnya persentasi ini
menunjukkan bahwa incumbent memiliki posisi tawar yang kuat dalam
Pilkada.
Secara teoritik, pemilih (voters) akan memberikan
hadiah (reward) berupa suara kepada incumbent apabila memberikan
kebijakan yang baik, dan memberikan hukuman (punishment) berupa tidak
memberikan suara apabila memberikan kebijakan yang buruk (Ansolabeherre,
2009).
Keunggulan incumbent ini sebenarnya dapat
dimanfaatkan oleh Fauzi Bowo untuk memenangkan Pilkada Jakarta. Fauzi
Bowo dapat memanfaatkan posisinya sebagai pejabat publik untuk membuat
kebijakan populis dan menyenangkan pemilih. Akan tetapi, patut
disayangkan, justru keunggulan ini tidak dimanfaatkan secara maksimalkan
oleh Fauzi Bowo.
Carut marutnya kehidupan Jakarta,
sepertin kemacetan dan banjir, tentunya mencoreng muka sang Gubernur dan
akan menghambat langkahnya untuk terpilih kembali. Media Survey
Nasional (MSN) merilis sebanyak 86,4 % warga DKI menganggap buruk
kinerja Gubernur Fauzi Bowo dalam menangani kemacetan. Survei yang
dilakukan pada September 2011 itu juga menyebutkan, 84 % warga menilai
kinerja Fauzi Bowo buruk dalam mengatasi banjir.
Waktu
yang dimiliki oleh Fauzi Bowo untuk membuktikan kompetensinya melalui
kebijakan publik tentunya sudah habis. Keunggulan yang masih dapat
dimaksimalkan oleh Fauzi Bowo adalah kenyataan bahwa dia sudah sangat
dikenal publik. Menurut Stokes (1963), pemilih cenderung memberikan
suara kepada seseorang yang lebih mereka kenal dan dianggap berkompeten
di posisinya. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa elektabilitas dan
popularitas Fauzi Bowo masih sangat tinggi. Menurut survey MSN,
elektabilitas Fauzi Bowo mencapai 30,7%, jauh di atas
pesaing-pesaingnya.
Langkah Ekonomi-Politik yang diambil
oleh Joko Widodo dan Alex Noerdin tampak lebih maju satu langkah
dibandingkan Fauzi Bowo. Sebagai Walikota yang dicap sukses oleh banyak
pihak, kehadiran Joko Widodo dalam Pilkada Jakarta tentu nya memberikan
alternatif baru. Selain itu, keterlibatan Joko Widodo dalam proyek mobil
Esemka, kurang lebih mendongkrak nama nya di level nasional. Sedangkan
prestasi Alex Noerdin dalam penyelenggaraan Sea Games akan mampu menjadi
poin plus untuknya.
Joko Widodo dan Alex Noerdin
merupakan contoh “incumbent” yang mampu memaksimalkan posisi publiknya.
Performa mereka selama menjabat akan menjadi magnet bagi pemilih untuk
memilihnya dalam Pilkada DKI Jakarta. Kemunculan Joko Widodo dan Alex
Noerdin perlu diperhitungkan. Karena, walaupun bertarung bukan di daerah
asalnya, Joko Widodo dan Alex Noerdin memiliki popularitas yang cukup
tinggi. Menurut hasil survey Cyrus Network, elektabilitas dari Joko
Widodo pada bulan Januari sudah mencapai 17,3%. Sedangkan Alex Noerdin
diklaim memiliki elektabilitas yang tinggi. Hal ini tentunya
memperlihatkan bahwa kinerja dan popularitas Joko Widodo dan Alex
Noerdin mulai dilirik oleh pemilih di Jakarta.
Kelemahan
terbesar yang dimiliki oleh dua incumbent ini (Joko widodo dan Alex
Noerdin) adalah masih dipertanyakan kapasitas mereka dalam memimpin
Provinsi sebesar dan sekompleks Jakarta. Joko Widodo memang dicap sukses
dalam memimpin daerahnya, tapi perlu diingat wilayah yang dipimpin Joko
Widodo adalah Daerah Tingkat II, yang scope nya tidak begitu luas.
Sedangkan, Jakarta merupakan metropolitan terbesar di negara ini dan
memiliki setumpuk permasalahan yang sedemikian kompleks.
Pertarungan
tiga incumbent ini tentunya sangat menarik untuk ditunggu. Tanpa
mengeliminasi calon gubernur (cagub) yang lain, harus diakui bahwa
posisi sebagai incumbent merupakan keuntungan politis yang sangat besar.
Ketiga Cagub tersebut memiliki keuntungan tersebut, tinggal bagaimana
mereka dapat memaksimalkannya. Dengan adanya tiga orang incumbent,
tentunya perhelatan politik terakbar di DKI Jakarta ini sangat menarik
untuk disaksikan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...