Sabtu, 22 September 2012

CERITA TENTANG NAIK KELAS (Part 1)


By: Benjamin Ridwan Gunawan

Melanjutkan dari tulisan Mas Aul mengenai ‘Harga Barang dan Moral Manusia’, tapi tulisan ini bukan untuk meng-compare tulisan tersebut (ampun kakak) namun sebagai inspirasi saya untuk menulis tulisan ini. Tulisan ini menceritakan mengapa negara kita, Indonesia belum bisa bersaing secara optimal di kancah pasar globalisasi.

Ditambah inspirasi dari perkataan Hendri Sartiago, Chief Executive Oficcer (CEO) General Electric (GE) Indonesia dalam acara akademi berbagi yang saya kunjungi sebulan yang lalu. Beliau berbagi cerita mengenai keprihatinan dirinya atas lambatnya Indonesia dalam memaksimalkan potensi ekonominya. Cerita di mulai tentang harga (Naah, bagian ini saya mulai teringat tulisan mas Aul). Berdasarkan pengalaman profesional bung Hendri di GE, harga ditentukan dari tiga elemen; biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan produk hingga sampai ke tangan konsumen + Value + Kelangkaan.

Elemen pertama, mengenai cost, kita sudah tahu dalam memproduksi suatu produk barang ataupun jasa pasti memerlukan suatu biaya yang dikeluarkan hingga produk tersebut sampai di tangan konsumen. Dalam penentuan harga jual suatu produk, elemen cost ini yang paling utama untuk diperhitungkan sebagai dasar penentuan harga. Kemudian nilai nominal selisih dari harga jual dengan harga dasar dari cost tersebut yang biasa disebut margin. Besarnya margin dapat ditingkatkan berbanding-lurus dengan besarnya value yang dimiliki produk tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa harga teh kotak lebih mahal dari es teh spesial buatan bu Inem di warteg pertigaan.

Tulisan saya akan dibagi dan dijelaskan dalam 4 (empat) cerita sederhana mengenai value dan kelangkaan, selamat menikmati:


1. Cerita tentang pembuatan parfum
Di Institut Pertanian Bogor (IPB), mahasiswanya banyak yang membuat industri rumahan membuat ekstrak parfum. Dibuat dengan harga 75ribu per 8 (delapan) galon dengan cara menguapkan tanaman tertentu dan diambil ekstrak air bekas uapannya melalui pipa-pia kaca dan selang yang rumit. Hasil ekstrak parfum tersebut dibeli oleh singapura, disaring lagi 5 (lima) sampai 7 (tujuh) kali, dan dijual seharga 300ribu per galon ke Perancis. Di Perancis disaring sekali lagi, dan dikemas dengan apik, ditempeli brand Perancis dan dijual seharga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah per 50-100mili nya. Emangnya ada yang mau beli? Ironisnya, pembeli terbanyak parfum branded itu adalah kita, Indonesia (Hiks, saya terharu sekali).

Cerita di atas, khususnya pada bagian ekstrak parfum yang dibeli oleh Singapura dan disaring lagi, dijual lebih mahal dan dibeli kembali oleh Perancis, ditambahi label dan dijual (lagi-lagi) lebih mahal. That’s story tell about value. Pada titik inilah para produsen kreatif mengambil untung lebih besar. Dengan menambah proses kerjanya, ditangani oleh orang-orang ahli, packaging yang lebih elegan, ditambah cost nya. Dan menghasilkan value yang lebih bernilai. Value tersebutlah yang membuat harga produk parfum dari Singapura dan Perancis lebih mahal dari ekstrak parfum buatan Indonesia.

Nominal value tersebut memang belum ada takarannya. Konsumen sendirilah yang menakar nominal dari value, dengan cara membandingkan dengan produk lain. Apakah puas dengan value yang ditawarkan atau malah lebih puas dengan value yang ditawarkan oleh produk sejenis dari merk lainnya. Apakah puas dengan value yang diterima dengan membayar sekian harga (Saya kira di bagian ini tulisan mas Aul dapat menjelaskannya komplit).

2. Cerita Toko Jam Tangan di Swiss
Cerita tentang kelangkaan, ada sebuah toko jam tangan di Swiss yang pernah didatangi oleh bung Hendri. Ketika bung Hendri masuk ke dalam toko, dia bilang mau cari jam tangan yang bagus. Ditawarilah oleh penjaga toko, jam tangan-jam tangan keren yang memiliki banyak feature, fungsi yang keren-keren dan tampilan yang sangat menarik. Harganya berkisar  100-800 US dollar. Bung Hendri bilang, “This is not my level mister, give me the next level.”

Pejaga toko mengajak bung Hendri ke lantai dua, di mana di lantai ini lebih sepi pengunjung, dan desain lantainya lebih glamour. Penjaga toko memamerkan jam tangan-jam tangan paling branded di dunia. Bukan feature yang ditawarkan namun kelas. Sebuh tingkatan kelas elite yang hanya pantas mengenakan jam tangan ini. Harganya berkisar antara 900 – 5.000 US dollar. Namun bung Hendri masih mengatakan, “Noo sir, this is still not my class, I want the the best of the best.” (ngomongnya pake logat ala parlente yang mulutnya dimonyong-monyongin)

Setelah mendengar itu, penjaga toko langsung mengambil telpon dan memanggil seseorang dari seberang telpon. Setelah menutup telepon penjaga toko mengajak bung Hendri ke lantai bawah kembali, kemudian turun tangga lagi, dan menuju ruangan bawah tanah. Di sana sudah ada dua orang berjas eksklusif dan berkacamata hitam, menyambut bung Hendri dan mengajaknya masuk ke ruangan yang sangat rahasia. Di dalamnya sudah menunggu lagi orang berjas putih dan menyilahkan bung Hendri duduk di kursi. Pintu ruangan ditutup dari luar dijaga oleh dua penjaga tadi. Penjaga berjas putih mengambil koper besi dari brankas besi dan membukanya di hadapan bung Hendri, isi koper tersebut ada sebuah jam tangan tua antik.

Penjaga berjas putih mengatakan, jam ini hanya dibuat 4 (empat) buah saja di dunia ini oleh pembuat jam legendaris yang sudah meninggal dunia 50 tahun yang lalu. Yang memakai jam tangan ini yang pertama adalah raja Inggris, jam tangan yang kedua berakhir tenggelam di lautan Atlantik, yang ketiga terjatuh di kawah gunung merapi, dan jam tangan yang keempat, yang terakhir, yang paling berharga (bahasanya rada lebay) berada tepat di hadapan anda. Harga yang ditawarkan mencapai 250.000 US Dollar.

(Cerita ini semi-fiktif, fiktif tokonya namun riil teknik penjualannya)

That’s a Rare, Kelangkaan. Sama seperti lukisan. Mereka bukanlah barang inferior maupun superior. Atau mungkin barang giffen? (Silahkan kalau mau didiskusikan)

Kelangkaan inilah yang secara ajaib mampu menaikkan harga jual jauh di atas dari nilai cost nya, bagaikan langit dan bumi. Padahal bisa saja, cerita tentang jam tangan yang tinggal dua di atas cuma karangan dari si sales, biar jam tangannya bias dijual mahal, alias bohong.

Nah, sampai di sini dulu tulisannya, bersambung ke part 2 (dua) ya biar tidak jenuh bacanya. Semoga bermanfaat J

-To Be Continue-

Benjamin Ridwan Gunawan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...