By: Benjamin Ridwan Gunawan
Melanjutkan
dari tulisan Mas Aul mengenai ‘Harga Barang dan Moral Manusia’, tapi tulisan
ini bukan untuk meng-compare tulisan tersebut
(ampun kakak) namun sebagai inspirasi saya untuk menulis tulisan ini. Tulisan
ini menceritakan mengapa negara kita, Indonesia belum bisa bersaing secara
optimal di kancah pasar globalisasi.
Ditambah
inspirasi dari perkataan Hendri Sartiago, Chief
Executive Oficcer (CEO) General
Electric (GE) Indonesia dalam acara akademi berbagi yang saya kunjungi
sebulan yang lalu. Beliau berbagi cerita mengenai keprihatinan dirinya atas
lambatnya Indonesia dalam memaksimalkan potensi ekonominya. Cerita di mulai
tentang harga (Naah, bagian ini saya mulai teringat tulisan mas Aul).
Berdasarkan pengalaman profesional bung Hendri di GE, harga ditentukan dari
tiga elemen; biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan produk hingga sampai ke
tangan konsumen + Value + Kelangkaan.
Elemen
pertama, mengenai cost, kita sudah
tahu dalam memproduksi suatu produk barang ataupun jasa pasti memerlukan suatu
biaya yang dikeluarkan hingga produk tersebut sampai di tangan konsumen. Dalam penentuan
harga jual suatu produk, elemen cost
ini yang paling utama untuk diperhitungkan sebagai dasar penentuan harga. Kemudian
nilai nominal selisih dari harga jual dengan harga dasar dari cost tersebut yang biasa disebut margin. Besarnya margin dapat ditingkatkan berbanding-lurus dengan besarnya value yang dimiliki produk tersebut. Hal
ini menjelaskan mengapa harga teh kotak lebih mahal dari es teh spesial buatan
bu Inem di warteg pertigaan.
Tulisan
saya akan dibagi dan dijelaskan dalam 4 (empat) cerita sederhana mengenai value dan kelangkaan, selamat menikmati:
1. Cerita tentang pembuatan parfum
Di
Institut Pertanian Bogor (IPB), mahasiswanya banyak yang membuat industri
rumahan membuat ekstrak parfum. Dibuat dengan harga 75ribu per 8 (delapan) galon
dengan cara menguapkan tanaman tertentu dan diambil ekstrak air bekas uapannya
melalui pipa-pia kaca dan selang yang rumit. Hasil ekstrak parfum tersebut dibeli
oleh singapura, disaring lagi 5 (lima) sampai 7 (tujuh) kali, dan dijual seharga
300ribu per galon ke Perancis. Di Perancis disaring sekali lagi, dan dikemas
dengan apik, ditempeli brand Perancis
dan dijual seharga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah per 50-100mili nya.
Emangnya ada yang mau beli? Ironisnya, pembeli terbanyak parfum branded itu adalah kita, Indonesia
(Hiks, saya terharu sekali).
Cerita
di atas, khususnya pada bagian ekstrak parfum yang dibeli oleh Singapura dan
disaring lagi, dijual lebih mahal dan dibeli kembali oleh Perancis, ditambahi
label dan dijual (lagi-lagi) lebih mahal. That’s
story tell about value. Pada titik inilah para produsen kreatif mengambil
untung lebih besar. Dengan menambah proses kerjanya, ditangani oleh orang-orang
ahli, packaging yang lebih elegan, ditambah
cost nya. Dan menghasilkan value yang lebih bernilai. Value tersebutlah yang membuat harga
produk parfum dari Singapura dan Perancis lebih mahal dari ekstrak parfum
buatan Indonesia.
Nominal
value tersebut memang belum ada
takarannya. Konsumen sendirilah yang menakar nominal dari value, dengan cara membandingkan dengan produk lain. Apakah puas
dengan value yang ditawarkan atau malah
lebih puas dengan value yang
ditawarkan oleh produk sejenis dari merk lainnya. Apakah puas dengan value yang diterima dengan membayar
sekian harga (Saya kira di bagian ini tulisan mas Aul dapat menjelaskannya
komplit).
2. Cerita Toko Jam Tangan di Swiss
Cerita
tentang kelangkaan, ada sebuah toko jam tangan di Swiss yang pernah didatangi
oleh bung Hendri. Ketika bung Hendri masuk ke dalam toko, dia bilang mau cari
jam tangan yang bagus. Ditawarilah oleh penjaga toko, jam tangan-jam tangan keren
yang memiliki banyak feature, fungsi
yang keren-keren dan tampilan yang sangat menarik. Harganya berkisar 100-800 US dollar. Bung Hendri bilang, “This is not my level mister, give me the
next level.”
Pejaga
toko mengajak bung Hendri ke lantai dua, di mana di lantai ini lebih sepi
pengunjung, dan desain lantainya lebih glamour.
Penjaga toko memamerkan jam tangan-jam tangan paling branded di dunia. Bukan feature
yang ditawarkan namun kelas. Sebuh tingkatan kelas elite yang hanya pantas
mengenakan jam tangan ini. Harganya berkisar antara 900 – 5.000 US dollar. Namun
bung Hendri masih mengatakan, “Noo sir,
this is still not my class, I want the the best of the best.” (ngomongnya
pake logat ala parlente yang mulutnya dimonyong-monyongin)
Setelah
mendengar itu, penjaga toko langsung mengambil telpon dan memanggil seseorang
dari seberang telpon. Setelah menutup telepon penjaga toko mengajak bung Hendri
ke lantai bawah kembali, kemudian turun tangga lagi, dan menuju ruangan bawah
tanah. Di sana sudah ada dua orang berjas eksklusif dan berkacamata hitam,
menyambut bung Hendri dan mengajaknya masuk ke ruangan yang sangat rahasia. Di
dalamnya sudah menunggu lagi orang berjas putih dan menyilahkan bung Hendri
duduk di kursi. Pintu ruangan ditutup dari luar dijaga oleh dua penjaga tadi.
Penjaga berjas putih mengambil koper besi dari brankas besi dan membukanya di
hadapan bung Hendri, isi koper tersebut ada sebuah jam tangan tua antik.
Penjaga
berjas putih mengatakan, jam ini hanya dibuat 4 (empat) buah saja di dunia ini
oleh pembuat jam legendaris yang sudah meninggal dunia 50 tahun yang lalu. Yang
memakai jam tangan ini yang pertama adalah raja Inggris, jam tangan yang kedua berakhir
tenggelam di lautan Atlantik, yang ketiga terjatuh di kawah gunung merapi, dan jam
tangan yang keempat, yang terakhir, yang paling berharga (bahasanya rada lebay)
berada tepat di hadapan anda. Harga yang ditawarkan mencapai 250.000 US Dollar.
(Cerita
ini semi-fiktif, fiktif tokonya namun riil teknik penjualannya)
That’s a Rare, Kelangkaan. Sama seperti lukisan.
Mereka bukanlah barang inferior maupun superior. Atau mungkin barang giffen?
(Silahkan kalau mau didiskusikan)
Kelangkaan
inilah yang secara ajaib mampu menaikkan harga jual jauh di atas dari nilai cost nya, bagaikan langit dan bumi.
Padahal bisa saja, cerita tentang jam tangan yang tinggal dua di atas cuma karangan
dari si sales, biar jam tangannya bias dijual mahal, alias bohong.
Nah, sampai
di sini dulu tulisannya, bersambung ke part 2 (dua) ya biar tidak jenuh bacanya.
Semoga bermanfaat J
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...